Beban yang terletak pada anggota-anggota delegasi dalam Konferensi ini tidaklah ringan, karena saya tahu bahwa masalah-masalah ini — ialah masalah-masalah hidup atau matinya umat manusia sendiri — pasti memenuhi pikiran dan hati Tuan-tuan, seperti juga ia memenuhi pikiran dan hati saya. Dan bangsa-bangsa Asia dan Afrika tidaklah dapat, walaupun andainya mereka menghendakinya, menghindari bagian mereka dalam hal mendapatkan pemecahan masalah-masalah yang sulit itu.
Karena itu merupakan bagian daripada kewajiban-kewajiban yang terbawa oleh kemerdekaan sendiri. Masalah-masalah itu adalah bagian daripada harga yang dengan rela kita bayarkan untuk menebus kemerdekaan kita. Turun-temurun sampai beberapa turunan bangsa-bangsa kita menjadi bangsa yang tak bersuara di dunia. Kita di masa lampau itu adalah bangsa-bangsa yang tak terpandang di mata orang, adalah bangsa-bangsa, tentang siapa orang lain, yang kepentingannya maha-besar, memutuskan segala sesuatu, adalah bangsa yang hidup dalam lembah kemiskinan dan kehinapapaan. Lalu bangsa-bangsa kita minta, tidak, berjuang untuk kemerdekaan, dan memperoleh kemerdekaan, dan dengan kemerdekaan itu datanglah tanggung jawab. Kita mempunyai tanggung jawab yang berat terhadap diri sendiri, terhadap dunia dan terhadap angkatan yang akan lahir. Tetapi kita tidak menyesal karenanya.
Pada tahun 1945, tahun pertama daripada revolusi nasional kami, kami dari Indonesia menghadapi pertanyaan, apa yang hendak kami perbuat dengan kemerdekaan kami, kalau kemerdekaan itu pada akhirnya tercapai dan telah menjadi tegak-teguh, — tak pernah kami sangsikan bahwa ia akan tercapai dan menjadi tegak-teguh. Kami tahu bagaimana kami harus melawan dan menggempur. Kemudian segera kami berhadapan dengan keharusan memberi isi dan arti kepada kemerdekaan kami. Bukan hanya isi dan arti materiil, melainkan julga isi etis dan moril, sebab kemerdekaan tanpa etika dan moral adalah semata-mata imitasi, tiruan yang hampa, daripada apa yang kita cita-citakan. Tanggung jawab dan beban, hak-hak dan kewajiban-kewajiban serta hak istimewa dari kemerdekaan harus dipandang sebagai bagian dari isi etis dan moril kemerdekaan.
Bahwa sesungguhnyalah kita terima dengan segala senang bati perubahan yang meletakkan beban berat pada kita itu, dan kita berhati teguh untuk menggunakan segenap kekuatan dan keberanian buat menanggung beban itu.
Saudara-saudara, betapa amat dinamisnya zaman kita ini!
Saya ingat, bahwa beberapa tahun yang lalu, saya mendapat kesempatan membuat analisa di muka umum tentang kolonialisme, dan bahwa saya di waktu itu minta perhatian pada apa yang saya namakan “Garis hidup imperialisme”. Garis itu terbentang mulai dari Selat Gibraltar, melalui Lautan Tengah, Terusan Suez, Lautan Merah, Lautan Hindia, Lautan Tiongkok Selatan sampai ke Lautan Jepang.
Daratan-daratan sebelah-menyebelah garis hidup yang panjang sekali itu sebagian besar adalah tanah jajahan, rakyatnya tidak mcrdcka, hari depannya tergadaikan kepada sistem asing.
Sepanjang garis hidup itu, sepanjang urat-nadi imperialisme itu, dipompakan darah kehidupan kolonialisme.
Dan pada hari ini di dalam gedung ini berkumpullah pemimpin-pemimpin bangsa-bangsa yang tadi itu! Mereka bukan lagi menjadi mangsa kolonialisme. Mereka bukan lagi menjadi alat perkakas orang lain dan bukan lagi alat permainan kekuasaan-kekuasaan yang tak dapat mereka pengaruhinya. Pada hari ini Tuan-tuan menjadi wakil bangsa-bangsa yang merdeka, bangsa-bangsa yang mempunyai tokoh dan martabat lain di dunia ini.
Ya, memang pernah ada “Sturm uber Asien“, dan juga di atas Afrika. Dalam dua tahun yang tcrakhir ini terjadi perubahan-perubahan yang hebat. Bangsa-bangsa, Negara-negara telah bangun dari tidurnya yang berabad-abad. Bangsa-bangsa yang bersikap pasif telah lenyap, sikap yang pada lahirnya tampak tenang berubah menjadi perjuangan dan aksi. Kekuasaan-kekuasaan yang tidak dapat ditahan-tahan telah menyapu kedua benua. Permukaan mental, spiritual dan politis dari seluruh dunia berganti wujud, dan proses itu masih herjalan terus. Di dunia kini terdapat syarat-syarat baru, konsepsi-konsepsi baru, masalah-masalah baru, cita-cita baru. Taufn kebangunan nasional dan kebangunan-kembali mengamuk di atas seluruh bumi, mengguncang-guncangnya, merombaknya, merombaknya untuk menjadi lebih baik.
Abad keduapuluh ini adalah masa dinamisme yang mahadahsyat. Kiranya dalam limapuluh tahun terakhir ini telah terjadi perkembangan dan kemajuan material lebih banyak daripada dalam lima ratus tahun yang lalu. Manusia telah mampu mengekang bahaya-bahaya yang pernah mengancamnya. Ia telah mampu meniadakan jarak. Ia telah mampu menjelmakan suara dan gambar dirinya melewati samudera-samudera dan benua-benua. Ia telah menyelami dalam-dalam rahasia-rahasia alam dan mampu membuat padang pasir menjadi berbunga dan mampu memperlipatgandakan hasil tanaman-tanaman di atas bumi ini. Ia telah belajar melepaskan kekuatan-kekuatan hebat yang tersimpan dalam bagian zat yang terlembut.
Akan tetapi, apakah kecakapan politik manusia berbaris berbimbing tangan membarengi kepandaian teknis dan ilmiahnya? Manusia dapat mengekang petir, — dapatkah ia menguasai masyarakat tempat ia hidup? Jawabnya: Tidak! Kepandaian politik manusia jauh terbelakang daripada kepandaian teknisnya, dan apa yang dibuatnya tak tentu ia dapat menguasainya.
Hasil daripada itu adalah ketakutan. Dan manusia megap-megap mencari udara keamanan dan kesusilaan.
Mungkin sekarang ini, lebih dari saat-saat sejaruh dunia yang lampau, hidup kemasyarakatan, pemerintahan dan ketatanegaraan perlu didasarkan pada kode moraliteit dan etika, yang tertinggi. Dan mengenai politik, apakah kode moralitas yang tertinggi? Kode moralitas tertinggi ialah subordinasi, ketundukan segala sesuatu kepada keselamatan umat manusia. Tetapi sekarang ini kita mengbadapi situasi, di mana keselamatan umat manusia tidak selalu mendapat perhatian utama. Banyak orang yang berada di tempat kekuasaan yang tinggi malah lebih memikirkan tentang hal menguasai dunia.
Ya, kita hidup dalam dunia yang penuh ketakutan, Kehidupan manusia sekarang digerogoti dan dijadikan pahit getir oleh rasa ketakutan. Ketakutan akan hari depan, ketakutan akan bom hidrogen, ketakutan akan ideologi-ideologi. Mungkin rasa takut itu pada hakekatnya merupakan bahaya yang lebih besar daripada bahaya itu sendiri, sebab rasa takutlah yang mendorong orang berbuat tolol, berbuat tanpa berpikir, berbuat hal yang membahayakan.