Koran Sulindo – Anak-anakku sekalian. Aku hendak memberi kursus yang penting, kursus tentang hal, yah, apa yang buat pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi penting. Ialah pertama aku hendak memberi kursus tentang revolusi, tentang cita-cita dan lain-lain sebagainya, terutama sekali tentang cita-cita yang hendak kutanamkan di dalam kalbumu sedalam-dalamnya. Sebab pemuda harus bercita-cita. Pemuda yang tidak bercita-cita bukan pemuda, tetapi pemuda yang sudah mati sebelum mati.
Maka oleh karena itu, permintaanku kepada saudara-saudara, anak-anak sekalian, ialah supaya tetap bergelora di dalam cita-cita. Tetapi ketahuilah pula tiada gunanya kamu bercita-cita saja jikalau tidak pula berikhtiar mati-matian, bekerja mati-matian, berusaha mati-matian, membanting tulang mengeluarkan tenaga, memeras kita punya keringat, agar supaya cita-cita menjadi kenyataan, menjadi realiteit.
Kita sekarang berada di tengah-tengah revolusi. Revolusi adalah satu kejadian gegap gempita. Tadi malam ketika aku berpidato di hadapan pemimpin-pemimpin, kukatakan kepada pemimpin-pemimpin itu supaya mereka belajar berpikir secara historis.
Berpikir secara historis berarti supaya mengerti jalannya sejarah, jangan berpikir secara kecil dengan ukurannya hari atau jam atau minggu, tetapi berpikirlah dengan ukuran sejarah, sejarah yang sebagai saudara-saudara dan anak-anak telah mengetahui, telah berusia ribuan tahun.
Bagi manusia satu tahun itu sudah lama, tetapi bagi sejarah sama sekali tidak ada artinya. Kadang-kadang satu kejadian di dalam sejarah itu memakan tempo puluhan, ratusan tahun.
Revolusi adalah satu kejadian gegap-gempita. Revolusi kadang-kadang memakan waktu pula puluhan tahun. Kita baru tiga tahun di dalam revolusi. Tetapi kalau kita hitung revolusi kita mulai 1908, yaitu pada saat kita mengadakan gerakan nasional, itu sudah 40 tahun. Tetapi sekarang pun sudah ternyata bahwa revolusi kita belum selesai, cita-cita nasional kita belum tercapai, cita-cita sosial kita belum tercapai. Jadi revolusi kita ternyata masih belum selesai, dan akan memakan waktu bertahun-tahun, dan oleh karena itu maka pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi harus sadar dan insaf bahwa terutama sekali di atas pundak pemuda dan pemudilah letaknya beban meneruskan revolusi ini.
Orang tua dengan kaki yang satu sudah di dalam kubur. Malah kukatakan, jikalau aku memandang wajahnya orang tua yang sudah 78 tahun, 80 tahun, saya tidak melihat lagi wajahnya manusia, tetapi aku melihat kuburan. Tetapi pemuda-pemuda, kamu pemuda-pemuda yang nanti hidup di dalam alam baru yang sekarang disusun, kamulah Pembina daripada alam baru itu, kamulah pembangun, pembuat, daripada alam baru itu.
Maka oleh karena itu aku tadi berkata kepada pemuda dan pemudi, supaya bercita-cita, supaya jiwa pemuda dipenuhi dengan cita-cita. Jangan menjadi pemuda yang tidak bercita-cita. Aku tadi telah berkata, pemuda yang tidak bercita-cita bukan pemuda. Pemuda dan pemudi yang tidak bercita-cita, sudah mati sebelum mati. Kukatakan, bercita-citalah!
Adalah seorang pujangga besar namanya R.W. Emerson, menulis satu kitab special buat pemuda-pemuda. Adalah satu karangan dari kitabnya itu berbunyi: “wangt uw idealen aan de sterren. Als u ze daar niet hangt, dan hangen ze te laag”. Pasangkan engkau punya cita-cita setinggi bintang di langit, kalau tidak, maka cita-citamu itu terlalu rendah.
Maka oleh karena itu aku minta kepada saudara-saudara, hai pemuda dan pemudi: pasang engkau punya cita-cita setinggi bintang dilangit. Jangan bercita-cita yang kecil-kecil, yang rendah-rendah, yang kurang besar. Tercapai atau tidaknya cita-cita itu tergantung daripada: pertama daripada ikhtiar, peras tenaga untuk mencapai cita-cita itu, kedua, sudah barang tentu tergantung pada Allah Subhanahu Wata’ala, dikabulkan atau tidak. Tetapi bercita-citalah.
Coba lihat pada peta dunia sebagai yang telah kukatakan dalam pidato waktu melahirkan Pancasila. Lihat peta dunia, lihat bagaimana Allah SWT meletakan kepulauan Indonesia itu, kepulauan Indonesia yang bukan satu, dua, tetapi puluhan bahkan ratusan, bahkan ribuan, dengan ribuan selat-selatnya pula, dan ribuan teluk-teluknya pula, kepulauan Indonesia yang laksana menjadi satu oleh satu tangan, Maha Tangan, yaitu tangan Allah SWT, dan di letakan pula disatu tempat yang penting.
Kepulauan Indonesia yang indah dan permai ini, yang selalu engkau puja-puja, yang keindahannya termasyhur di seluruh dunia, yang dikatakan the Garden of the East, yang dikatakan Multatuli: de insulinde die zich om de evenaar heen slingert, als een gordel van een smaragd.
Indonesia yang indah ini diletakan oleh Alllah SWT menjadi satu, tidak daerah Sumatera dekat Amerika, tidak daerah Jawa dekat Afrika, tidak daerah Kalimantan dekat Kutub Utara, tidak daerah Sulawesi dekat Kutub Selatan, tidak daerah Kepulauan Sunda Kecil tersebar di Lautan Teduh atau Lautan Atlantik, tidak. Ribuan pulau ini sebagai telah dikatakan tadi ditumpukan oleh Allah menjadi satu kesatuan dan ditaruh oleh Allah di satu tempat yang penting maha penting, persis antara dua benua yang besar, Benua Asia dan Benua Australia, antara dua Samudera yang besar pula dan penting pula, lautan Teduh dan lautan Hindia.
Lautan Teduh, lautan yang penting sekali, bahkan menjadi lebih penting di dalam sejarah, yaitu lautan yang akan menentukan nasibnya dunia. Persis antara Lautan Teduh dan Lautan Hindia, antara Benua Asia dan Benua Australia ini, persis di persimpangan jalan itu, persis di perempatan jalan itu, ditaruh oleh Allah SWT kita punya Kepulauan Indonesia.
Ini adalah kedudukan penting, yang di dalam ilmu geopolitik dinamakan kedudukan kruis-positie, kedudukan palang, antara dua jalan yang hebat.
Satu bangsa yang hidup di persimpangan jalan demikian itu, yang berkedudukan kruis-positie, jika dia kuat dia menjadi penjaga perempatan jalan. Jika dia kuat, oleh karena memang tempatnya adalah tempat yang penting.
Lihat, tatkala di Eropa belum ada kultur, tatkala orang di Eropa masih hidup di dalam rimba raya, tatkala bangsa Germaan masih hidup di bawah pohon-pohonan, tatkala, tatkala bangsa Germaan belum memakai baju tetapi masih memakai kulit binatang, tatkala itu ribuan tahun yang lalu di Indonesia telah ada kultur, telah ada kebudayaan, telah kita mempunyai negara seperti Mataram dan Sriwijaya.
Jadi jikalau kita tidak kuat, kruis-positie membawa bahaya. Tetapi sebaliknya jikalau kita kuat, jikalau kita bersatu-padu sebagai yang telah kuceritakan tadi malam dan di rapat umum tadi, jikalau bangsa Indonesia yang 70 milyun ini bersatu-padu, menyusun tenaga sekuat-kuatnya, jikalau bangsa Indoensia demikian, dia menduduki satu tempat yang tidak ubahnya daripada kedudukannya seorang polisi di persimpangan perempatan jalan.
Tidakkah seorang polisi itu berkuasa di persimpangan jalan? Dia berdiri di persimpangan 4 jalan itu, dari utara, dari selatan, dari timur, dari barat, perlu dia punya izin bagi segala lalu lintas. Tidak ada satu motor boleh lewat di situ zonder izin sang polisi Negara. Tidak boleh seekor kuda lewat di situ zonder izin sang polisi Negara. Tidak boleh seekor kerbau lewat di situ zonder izin sang polisi Negara. Tidak boleh seekor semut lewat di situ zonder izin sang polisi Negara.
Contoh ini baik untuk mengertikan pada kita bahwa kedudukan kruis-positie adalah kedudukan yang hebat. Maka oleh karena itu aku katakan, jikalau engkau pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi tidak sadar akan hal ini, alangkah bodohnya engkau.
Jikalau kita pemuda-pemudi tidak mengucapkan syukur kepada Allah SWT dan tidak berterima kasih bahwa ini adalah satu rakhmat yang tinggi daripada Allah kepada kita dan tidak berjuang untuk kemerdekaan dan kebesaran kepulauan ini, kita sebenarnya berdosa kepada Alllah SWT. Ini insafkan di dalam engkau punya kalbu, tanam sedalam-dalamnya di dalam engkau punya hati, laksana memasuki tiap-tiap tulang dan tiap-tiap sumsum, memasuki tiap-tiap urat syarafmu, memasuki tiap-tiap atom daripada badanmu. Tanamkan sedalam-dalamnya.
Jikalau engkau bertanya kepada Bung Karno: Ya Bung Karno, apakah cita-cita Bung Karno? Aku menjawab: Insya Allah SWT. Republik kita kali ini agak kecil daripada dahulu, tetapi Republik ini dapat menjadi modal kita berjuang, Republik ini tetap menjadi pelopor kita, tetap menjadi obor perjuangan segenap bangsa Indonesia, Republik ini juga yang hendaknya menjadi lebih besar, insya Alllah terjadilah satu negara nasional.
Kalau negara nasional ini selamat terpelihara oleh ketabahan hati kita, 25 tahun lagi insya Alllah SWT jika kalender menyatakan tahun 1975, aku bercita-cita, jika diberi oleh Tuhan, diberkati oleh Tuhan perjuangan kita ini, di dalam tahun 1975 di dalam tiap-tiap rumah Indonesia, walaupun rumah di puncak gunung pun menyala lampu listrik. Inilah cita-cita, saudara-saudara.
Aku bercita-cita yang jalan kereta api bersimpang siur memenuhi Sumatera, memenuhi Jawa, memenuhi Kalimantan, Sulawesi dll. Aku bercita-cita supaya tiap-tiap rumah tangga mempunyai radio. Aku bercita-cita supaya tiap-tiap kampung, tiap-tiap desa yang kecilpun mempunyai radio umum, agar supaya tiap-tiap manusia Indonesia dapat mendengar kabar dunia yang penting, kabar tanah air Indonesia, dan pada waktunya dapat juga mendengar lagu-lagunya Miss Sumarti yang merdu-merdu.
Satu pergaulan hidup yang tiap-tiap manusia Indonesia dapat sejahtera. Aku bercita-cita pergaulan hidup modern, tetapi bukan modern kapitalisme, tetapi yang modern kolektivis, gotong-royong, satu sama lain sama-sama mengadakan, mendirikan, membina, membangun, satu pergaulan hidup yang makmur, kekal dan abadi.
Aku bercita-cita supaya nanti kelak kemudian hari di waktu yang dekat ini, jika anak-anakku dari Kutaraja, dari Sigli, dari Bireuen, dari manapun, dari kampungnya yang kecilpun, dia walaupun tidak memiliki uang banyak untuk membayar, supaya tiap-tiap manusia Aceh, manusia Indonesia ini dapat terbang dari Kutaraja sampai ke New York, dari Kutaraja ke Surabaya, dari Surabaya sampai ke London, terus demikian saudara-saudara.
Maka oleh karena itu saya minta pemuda-pemuda sekalian menjadi air minded. Semuanya pemuda-pemudi haus air minded. Maka oleh karena itu cita AURI, ikhtiar AURI, supaya kita bangsa Indonesia lekas mempunyai angkatan udara yang besar. Angkatan Udara Militer dan Angkatan Udara Sipil. Supaya kita bangsa Indonesia terutama sekali yang di Sumatera ini, yang satu tempat terpisah dari lain tempat oleh rimba yang lebat, yang susah disitu di adakan jalan, apalagi jalan kereta api, agar supaya perhubungan antara kota dan kota di Sumatera, dengan kota-kota di lain pulau dapat berjalan lancer, agar supaya kita lekas mempunyai di Aceh sedikit-dikitnya 5 kapal udara, Sumatera Timur 5 kapal udara, Riau dua, tiga kapal udara, Jambi dua, tiga kapal udara, Minangkabau 5 kapal udara, Palembang 5 kapal udara, Lampung 6 kapal udara, tiap-tiap keresidenan di Tanah Jawa 5 kapal udara.
Jika kita telah mempunyai Angkatan Udara yang demikian alangkah gampangnya perhubungan kita antara bangsa Indonesia dengan bangsa Indonesia.
Cita-cita sosial kita tinggi, setinggi bintang dilangit dan aku minta cita-cita politik dan cita-cita sosial itu berkobar-kobar di dalam engkau punya dada.
Kita mempunyai pemimpin-pemimpin besar seperti Mohammad Hatta. Tetapi ketahuilah, lebih besar daripada manusia ialah cita-cita yang bergelora di dalam dadanya. Hatta adalah orang besar, tetapi lebih besar daripada Hatta, ialah cita-citanya, demikian pula Pandit Jawaharlal Nehru adalah orang besar tetapi lebih besar daripada Nehru ialah cita-cita yang hidup, berkobar-kobar, menyala-nyala di dalam dadanya Pandit Nehru ini.
Cita-cita tidak dapat dikurung. Cita-cita selalu berjalan, selalu hidup. Manusia bisa dimasukan kedalam penjara, bisa dimasukan kurungan, Gandhi bisa dimasukan dalam penjara, Nehru bisa dimasukan dalam penjara, Hatta bisa dimasukan dalam penjara, tetapi cita-cita tidak dapat dikurung dalam penjara.
Maka oleh karena itu, jika engkau punya kalbu penuh, berkobar-kobar, menyala-nyala dengan cita-cita, badanmu bisa hancur-lebur, badanmu bisa menjadi debu hilang dari dunia ini, tetapi cita-cita it uterus hidup, terus menerus dia berjalan sampai akhirnya tercapai kita punya cita-cita.
Tidakkah telah kukatakan didalam tahun 1928, dua puluh tahun yang lalu telah kukatakan, negara tak lain tak bukan ialah alat, alat untuk menyelenggarakan barang sesuatu. Negara bukan “doel”, bukan tujuan, negara adalah “middle”, negara adalah jembatan.
Negara adalah jembatan emas, kukatakan, jembatan emas untuk datang di dalam satu masyarakat yang adil dan makmur. Dengan melalui jembatan emas ini, dengan mempergunakan alat ini, kita mengadakan satu pergaulan hidup yang memenuhi kita punya cita-cita sosial.
Pemuda-pemuda adalah harapan bangsa. Tetapi pemuda yang tidak konstruktif, dan destruktif, pemuda yang demikian itu tidak menjalankan tugasnya secara historis. Pemuda adalah harapan bangsa, pemuda adalah bunga bangsa.
Tetapi ingat, bunga dan bunga adalah dua. Ada bunga yang segar dan harum dan cantik. Ada bunga yang layu dan berbau busuk. Bunga yang segar dan harum dan cantik dipakai untuk menghiasi kondenya gadis-gadis manis. Tetapi bunga yang layu, bunga yang tidak segar, bunga yang berbau busuk, jangankan gadis, lalatpun tidak mau mendekati bunga yang demikian itu.
Pemuda-pemuda, selalu aku besar-besarkan hatiku, kutunjukan kecintaanku kepada pemuda, aku laksana hendak merantai segenap pemuda di Indonesia ini. Tenagamu, jiwamu, semangatmu, kesediaanmu berkorban, laksana hendak kumasukan ke dalam badanku ini, agar supaya aku sendiri mendapat kekuatan berjuang untuk melaksanakan kita punya cita-cita politik dan sosial.
Pemuda, selalu kukatakan; berikan kepadaku 1.000 orang tua, 10.000 orang tua, 100.000 orang tua, 1 milyun orang tua, aku dapat memindahkan Pulau Weh sampai daerah Tanah Jawa. Tetapi berikan kepadaku, 1.000 pemuda, 10 pemuda, tetapi yang hatinya betul-betul berkobar dengan api kemerdekaan, dengan 10 pemuda itu aku menggemparkan seluruh dunia.
——-
Pidato diselenggarakan di Bioskop Kotaraja (kini Banda Aceh), pada 16 Juni 1948, pukul 21.00 malam. Naskah ini disalin dari Kronik Revolusi Indonesia (Pramoedya Ananta Toer dkk; Jilid IV; 1948; halaman 763–769]-DAS