Pertumbuhan Ekonomi dan Bayang-bayang Krisis 10 Tahunan

Krisis bisa terjadi akibat utang yang begitu besar dan pemerintah tidak dapat membayar utangnya [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Menutup akhir tahun ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia disebut mengalami perbaikan. Kendati tidak mencapai target, pertumbuhan ekonomi pada akhir tahun ini akan mencapai 5,1%. Angka tersebut diakui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution belum cukup tinggi, tetapi setidaknya mengalami perbaikan.

Seperti Darmin, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) juga memprediksi demikian. Pertumbuhan ekonomi sepanjang 2017 akan mencapai 5,1% atau di bawah target yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) Perubahan 2017 sebesar 5,2%. Menurut Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro, sulit untuk mencapai target karena rata-rata pertumbuhan ekonomi pada tiga triwulan terakhir baru mencapai 5,03%.

“Untuk mengejar target, pada triwulan IV setidaknya mencapai 5,5%. Agak berat untuk itu walau ada harapan di investasi, ekspor, dan konsumsi pemerintah. Mungkin tercapai 5,1%,” tutur Bambang seperti dikutip antaranews.com pada awal Desember 2017.

Meski faktanya demikian, Darmin tetap optimistis pertumbuhan pada 2018 akan lebih tinggi. Salah satunya karena perdagangan dunia disebut kian membaik seiring membaiknya harga komoditas. Karena itu, kata Darmin, penting untuk memanfaatkan momentum tersebut. Walau pertumbuhan dalam dua tahun terakhir hanya di kisaran 5%, ia mengklaim pertumbuhannya tergolong berkualitas. Buktinya antara lain angka pengangguran dan kemiskinan menurun, harga stabil hingga distribusi pendapatan membaik.

Pendapat yang berbeda disampaikan ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Heri Ahmad Firdaus. Kendati menyebut pertumbuhan ekonomi cukup stabil dari 5,01% triwulan II ke 5,06% pada triwulan III, menurut Heri, pengentasan kemiskinan dan penyerapan tenaga kerja belum maksimal. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi tergolong belum berkualitas.

Pertumbuhan ekonomi disebut tanpa akselerasi dan kecenderungan demikian sudah diprediksi sejak tahun lalu. Bukti pertumbuhan ekonomi tidak berkualitas antara lain karena industri melemah. Sektor pertanian, pertambangan dan penggalian serta industri pengolahan melemah. Merujuk kepada data Badan Pusat Statistik (BPS), pertanian tumbuh 2,92% pada triwulan III 2017; pertambangan dan penggalian 1,76% dan industri pengolahan 4,89%.

Pertumbuhan ketiga sektor itu, kata Heri, masih di bawah sektor informasi dan komunikasi serta jasa perusahaan yang tumbuh 9,35% dan 9,24%. Padahal ketiga sektor tersebut sumbangannya lebih besar untuk perekonomian Indonesia. Sektor pertanian, misalnya, berdasarkan data BPS menyumbang 13,96% PDB; pertambangan dan penggalian 7,15%; dan industri pengolahan 19,93%. Sedangkan, sektor informasi dan komunikasi serta jasa perusahaan sumbangannya hanya 3,74% dan 1,73%.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia disebut akan selalu tumbuh di bawah potensinya. Pasalnya tidak ada strategi inovatif untu meningkatkan pertumbuhan. Padahal, untuk mewujudkan kesejahteraan dan menjawab tantangan di masa depan perlu tumbuh di atas enam persen. Karena itu, saat ini merupakan masa yang penting sebab akan menentukan masa depan.


Data Empiris
Fakta empiris juga menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sesungguhnya mengalami perlambatan dalam beberapa dasawarsa. Pada 1970-an, pertumbuhan ekonomi kita rata-rata delapan persen per tahun. Selanjutnya, pada 1990-an, pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai tujuh persen. Kemudian, pada 2000-an, laju pertumbuhan melambat hanya rata-rata enam persen per tahun. Sejak 2012 hingga hari ini, rata-rata pertumbuhan hanya lima persen per tahun.

Ketika Darmin yakin perdagangan komoditas global yang membaik membantu pertumbuhan ekonomi kita pada 2018, justru peneliti Indef Bhima Yudhistira Adhinegara mengingatkan kita tentang siklus krisis ekonomi global 10 tahunan. Ia menuturkan, kemungkinan krisis semakin terbuka lebar bakal terjadi di Indonesia. Untuk mencegahnya, ia berharap Presiden Joko Widodo segera mengevaluasi konsep dan tim ekonominya.

Krisis 1998, misalnya, terjadi akibat swasta; lalu krisis 2008 akibat Amerika Serikat; dan krisis 2018 kemungkinan karena fiskal. Krisis bisa terjadi akibat utang yang begitu besar dan pemerintah tidak dapat membayar utangnya. Utang pemerintah disebut melambung karena pembangunan infrastruktur yang terus digenjot tanpa memikirkan risiko. Utang pemerintah di bawah Joko Widodo meningkat lebih dari Rp 1.200 triliun sejak 2014. Per September 2017 telah mencapai Rp 3.866,45 triliun. Untuk bayar bunga saja, kata Bhima, dibutuhkan Rp 220 triliun per tahun.

Situasi hari ini mengingatkan kita pada setahun yang lalu ketika pertumbuhan ekonomi juga tidak mengalami peningkatan sesuai target. Kala itu, Jokowi mengatakan, situasi dunia sedang sulit dan pertumbuhan ekonomi dunia terus merosot. Dari sisi geopolitik, situasi dunia sedang tidak karuan. Tengoklah perang di Timur Tengah yang menyebabkan jutaan pengungsi berbondong-bondong menuju Eropa.

Selain situasi yang tidak normal itu, Jokowi juga menyinggung masalah terorisme yang saban hari meledak di mana-mana. Bom bunuh diri selalu terjadi dan itulah fakta yang dihadapi dunia saban hari. Karena tidak puas dengan capaian tim ekonominya, ia lalu merombak kabinet terutama menteri bidang ekonomi agar mengatasi persoalan-persoalan yang telah ia kemukakan.

Ketika itu, Jokowi menunjuk Sri Mulyani Indrawati menjabat sebagai Menteri Keuangan yang sebelumnya menjabat Direktur Pelaksana Bank Dunia. Penunjukan Sri Mulyani dimaksudkan untuk mengentaskan kemiskinan dan mengurangi kesenjangan ekonomi. Karena itu, untuk menjawab persoalan yang serupa, akankah Jokowi mengulangi kebijakan yang sama dalam waktu dekat? Mari kita tunggu jawabannya. [Kristian Ginting]