Tentara dari unit-unit Brigade ke-49 Divisi ke-23 British Indian Army.

Hari itu, Jumat 26 Oktober 1945, langit pagi Surabaya terlihat benar-benar cerah. Selain toko-toko buka seperti biasa, jalanan tetap riuh penuh becak yang jumlahnya tak terhitung dan meluncur dengan kecepatan teratur.

Sementara di hampir setiap sudut jalan para pedagang keliling sibuk menawarkan barang dagangan. Beberapa kendaraan bermotor lalu lalang bergantian, mendenguskan asap hitam menjengkelkan dengan Bendera Merah Putih berkibar.

Juga sejumlah panji berwarna merah putih berkibat ditiup angin pagi dari laut.

Begitulah, Shri Mani perwira humas dari Brigade Infanteri ke 49, Divisi India ke-23 pasukan Inggris menggambarkan kota Surabaya dalam The Story of Indonesian Revolution 1945-1949.

Tak setenang kelihatannya, Mani juga menulis di jalan-jalan membentang semboyan ‘Merdeka’ ditulis dengan warna putih di atas kain terpal merah. Tak hanya kata ‘Merdeka’, slogan-slogan lain juga gampang ditemui hampir di semua tempat strategis di seluruh penjuru kota.

Selain ditulis besar-besar dengan menggunakan cat, nada slogan-slogan itu nyaris seragam. Semuanya bernada anti-kolonial.

Begitulah, kota pelabuhan terkenal Surabaya menyapa pasukan India dari Brigade Infanteri ke-49 yang telah mendarat sehari sebelumnya di tengah sikap warga masyarakat Surabaya yang acuh tak acuh tapi penuh kewaspadaan.

“Saya bersama Letnan Tony Cardew, seorang perwira Angkatan Laut Inggris, dengan mengendari jip masuk ke kota menuju tempat penginapan kami di Hotel Liberty. Kami melihat di sepanjang jalan dijaga ketat oleh polisi dan para pemuda bersenjata lengkap,” tulis Shri Mani dalam buku itu.

Barikade-barikade sengaja didirikan di tengah jalan untuk menghambat arus lalu lintas. Sapaan selamat yang disamaikan dengan nada akrab tidak pernah dijawab.

“Tidak seperti di Jakarta, di mana penduduknya menyambut pasukan kami dengan ramah. Soerabaja sangat beda. Tidak ada isyarat keramahan kepada kami… sedikit pun,” tulis Shri Mani.

Bagi Shri Mani dan sebagian besar pasukan dari Rajputana dan Maharatta yang kenyang dengan pertempuran di Afrika Utara dan Birma, penugasan ke Surabaya sebenarnya bisa dibilang tugas mudah. Hanya saja, mereka jelas menangkap tanda-tanda tak menyenangkan dan membikin gelisah hati pasukan itu kebat-kebit.

Di antara banyak slogan-slogan heroik yang tersebar di seluruh kota, di berbagai tembok pelabuhan dan dermaga Surabaya jelas tertulis dalam bahasa Urdu, Azadi ya Kunrezi. Ya, kalimat yang bisa diartikan sebagai ‘Merdeka atau Mati’ jelas-jelas ditujukan pada mereka.

Dalam buku tersebut, Mani mencatat sedikitnya 600 tentara Muslim India membelot karena bujukan. “Pihak Inggris juga mengakui bahwa beberapa di antaranya karena tidak suka memerangi bangsa Indonesia,” tulis Mani.

Dilema

Kenyang pengalaman bertempur melawan tentara Jerman di front Afrika Utara, Brigade Infanteri ke-49 dari Divisi India ke-23 itu baru saja mengalahkan tentara Jepang di Birma hingga Semenanjung Malaya. Mereka memang bukan pasukan sembarangan.

Namun Surabaya memang berbeda.

Segera setelah pendaratan itu, beberapa insiden langsung pecah. Beberapa segera berubah menjadi pertempuran sengit. Kedatangan Inggris ibaratnya menuang minyak dalam api. Mereka langsung berhadapan  dengan sifat kepala batu arek-arek Surabaya yang ogah sejengkalpun mundur dari kemerdekaan.

Tampil jumawa setelah menang dalam Perang Dunia ke-2, tentara Inggris benar-benar dibuat kocar-kacir di hari-hari pertama pertempuran. Termasuk tentara-tentara dari India itu.

Dalam sebuah berita bahkan disebut, satu kompi Maharatta yang berkubu di daerah Wonokromo dibabat habis tanpa menyisakan satu orang pun. Nasib serupa juga dialami oleh unit dari Dogra Eastern Benggal yang lebih dikenal sebagai pasukan Dogra.

Beragama Islam, hampir dalam setiap pertempuran mereka selalu meneriakkan takbir dengan memekik keras,  “Allahu Akbar.” Sayang, rakyat Surabaya sulit mempercayai mereka beragama Islam dan justru takut dikelabuhi dengan pekik takbir itu.

Di hari-hari awal pertempuran, Inggris mengerahkan dua batalyon tempur yakni Batalyon Maharatta yang dikenal ahli dan memiliki spesialisasi perang kota dan Batalyon Rajputana yang bersenjatakan senapan mesin berat.

Mereka juga dilengkapi dengan bantuan kavaleri dari Royal Indian Army dan kesatuan Royal India Transport, lengkap dengan korps kesehatan termasuk dokter, perawat dan ambulansnya. Mereka juga didukung Korp Indian Signal, yang merupakan kesatuan perhubungan dan perbengkelan serta sekompi pengamanan dalam yang dikenal sebagai Field Security Section.

Menjadi bagian dari British Indian Army, Divisi Infanteri ke-23 dibentuk pada 1 Januari 1942, di Jhansi sebuah kota bersejarah di negara bagian Uttar Pradesh, India Tengah. Sama seperti penduduk India lainnya, personelnya pasukan berjuluk Fighting Cock itu merupakan penganut agama Islam atau Hindu.

Beberapa bulan setelah pembentukannya, divisi ini segera dikirim ke wilayah Imphal di Manipur menyusul kekalahan Korps Burma dari tentara Jepang. Sembari menjalankan pelatihan, unit-unit dari divisi ini bertempur di Imphal untuk mempertahankan posisinya kondisi yang ekstrim.

Ketika pada bulan Maret tahun 1944, Jepang melancarkan serangan besar pada kedudukan-kedudukan Inggris di Imphal, Divisi 23 merupakan unit cadangan bagi Korps India IV. Terus menerus bertempur dalam kondisi sulit, jumlah personel divisi ini menyusut drastis sampai sepertiganya dari jumlahnya semula yakni 18.500 orang.

Setelah masa-masa pemulihan divisi itu segera terlibat dalam Operasi Ritsleting  dengan mendarat di pantai barat Malaya menjadi bagian dari Korps XXXIV.

Menyusul penyerahan Jepang pada Agustus 1945 divisi ini dikirim ke berbagai tempat di Jawa termasuk di antaranya Brigade ke-49 yang mendarat di Surabaya di bawah pimpinan Brigjen Aubertin Walter Sothern Mallaby.

Perintah Bung Karno

Des Alwi dalam Pertempuran Surabaya November 1945 menyebut dalam pertemuannya dengan Bung Karno soal pekik takbir itu ditanyakannya.  “Mungkin, pasukan Inggris merekrut penduduk India bagian timur. Kalau benar mereka dikirim ke Surabaya, sudah pasti mereka memang muslim,” kata Bung Karno.

Dengan sorot matanya yang tajam, Bung Karno memandang Des Alwi melanjutkan kalimatnya dengan perintah. “Des, tolong jelaskan kepada rakyat Surabaya, Inggris membawa orang-orang Islam dalam pasukannya mereka. Sebisanya, cegah pertempuran dengan kelompok tersebut.”

“Kalau tentang orang Ingris-nya, terserah saja. Bahkan sesuai perintahku dulu, mereka akan di-linggis atau akan diapakan, silahkan saja. Tapi ingat satu hal, untuk anggota pasukan mereka yang beragama Islam cegah terjadinya pembunuhan. Cegah mereka.”

Bung Karno juga menambahkan sebagai sesama muslim dilarang saling bunuh-membunuh dan diadu domba oleh kekuatan kolonial. “Aku tugaskan dan percayakan kepada dirimu Des, untuk mencegah hal ini. Usahakan, mereka ikut bergabung dan membantu perjuangan kemerdekaan kita,” kata Bung Karno.

Bung Karno datang ke Surabaya bersama Hatta dan Syahrir atas permintaan Inggris untuk mencegah kehancuran pasukan mereka secara total.

Untuk menindaklanjuti penugasan pribadi tersebut, Des Alwi mengajak beberapa tokoh di Surabaya untuk bertemu rombongan Bung Karno di rumah kediaman Gubernur Soerjo.

Bagaimanapun perintah Bung Karno mengajak tentara Inggris yang beragama Islam untuk bergabung dengan perjuangan Indonesia merupakan keputusan strategis lintas zaman.

Des Alwi yang secara pribadi mengenal Shri Mani sempat menanyakan kepada perwira itu mengapa India yang tengah berjuang mencapai kemerdekaannya justru mengizinkan Inggris memakai serdadunya, Shri Mani menyebut India ‘baru’ hampir merdeka dan belum benar-benar merdeka.

“Maka mereka belum resmi menjadi tentara India, masih berada di bawah perintah para penguasa kolonial Inggris,” jawab Mani.

Shri Mani mengundurkan diri dari dinas militer dan menjadi koresponden Free Press Journal of Bombay di Jakarta. Alumnus FH Universitas Madras itu akahirnya masuk dinas diplomatic dan pernah menjabat sebagai Duta Besar India di Colombo, Mauritania serta Stockholm.

Penggunaan orang-orang India yang direkrut sebagai Inggris dalam berbagai pertempuran di kawasan Asia Tenggara sejatinya menuai protes keras kaum nasionalis di negeri itu. Tak kurang tokoh kemerdekaan seperti Jawaharal Nehru.

Ia bahkan sempat akan berangkat ke Jakarta untuk memastikan apakah tentara India digunakan untuk menumpas pejuang kemerdekaan Indonesia. Sayang, secara mendadak kunjungan itu dibatalkan Panglima Sekutu di Asia Tenggara Laksamana Mountbatten dengan alasan kondisi keamanan tidak memungkinkan.

Kepada Mountbatten Nehru juga sempat menanyakan, “mengapa orang India diajak menindas kemerdekaan Indonesia?”

Menjawab pertanyaan itu Mountbatten menyebut penggunaan tentara India merupakan keputusan sekutu yang menunjuk Inggris untuk melucuti tentara Jepang serta membebaskan warga sipil dari kamp-kamp interniran di wilayah Malaya hingga bekas Hindia Belanda.

“Kalaupun sampai terjadi pertempuran, itu hanya insiden lokal akibat minimnya data intelijen yang kami miliki,” jawab Mountbatten.

Selain faktor sesama muslim umumnya personel-personel militer Inggris asal India juga akrab pidato-pidato anti-kolonialisme tokoh-tokoh India seperti Muhammad Ali Jinnah, Mahatma Gandhi, hingga Abul Kalam Azad. Alasan tersebut cukup untuk membuat mereka membelot atau setidaknya enggan mengangkat senjata melawan pejuang republik.

Tercatat di antara mereka yang membelot adalah beberapa komandan tentara India seperti Lance Naik Mir Khan, Gilmar Bani, Muhammad Yacub, Umar Din, Ghulam Rasul, Ghulam Ali, Major Abdul Sattar, Muhammad Sidik, Muhammad Khan, Fazul dan Senjah Fazul Din.

Di antara mereka termasuk Zia ul Haq yang kelak menjadi presiden di Pakistan ketika wilayah itu memerdekakan diri dari India. Zia ul Haq yang bertindak sebagai komandan tank memiliki hubungan emosi langsung dengan Pertempuran Surabaya.

Begitu tiba di Surabaya, Zia ul Haq terkejut melihat banyaknya masjid dan meluasnya suara adzan saat tiba waktu shalat. Mereka baru menyadari lawan yang bakal dihadapi adalah saudaranya sendiri yakni sesama Muslim.

Alasan itulah yang membuat Zia ul Haq memilih kembali ke Pakistan dan selamanya dicap sebagai pengkhianat Inggris daripada harus memerangi sesama Muslim.

Beberapa di antaranya langsung mengalami ‘demoralisasi’hingga mogok tak mau bertempur. Mereka juga makin terkejut saat di tengah pertempuran terus menerus berkumandang pekik “Allahu Akbar’”.

Pekik takbir di tengah medan pertempuran memang menjadi penanda bahwa pertempuran tersebut merupakan ajang jihad setelah Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari menyatakan perlawanan kepada penjajah merupakan kewajiban bagi kaum muslim.

Hingga berakhirnya perang kemerdekaan dari ratusan tentara yang membelot itu jumlah menyusut menyisakan 75 orang saja. Tiga puluh di antaranya kembali ke Pakistan di 1950 sementara sisanya menetap di Indonesia hingga akhir hayat.

Sementara itu, jauh di kemudian ketika, di tahun 80-an semasa menjabat sebagai Presiden Pakistan dan melakukan kunjungan kenegaraan ke Indonesia, Zia ul Haq secara khusus meminta kepada Presiden Suharto agar dapat berkunjung ke Surabaya. [TGU]