Jika dibandingkan, skandal Pertamina era Orde Baru dengan kerugian 10,5 miliar USD saat itu sudah cukup untuk membuat satu generasi wartawan seperti Jus Soema Di Pradja mencium bau busuknya dari jauh. Tapi kini, di era Reformasi, di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi, kita menyaksikan skandal baru dengan angka yang lebih mencengangkan: Rp 193,7 triliun.

Jumlah ini, jika dikonversi ke USD saat ini, bisa mencapai lebih dari 12 miliar USD, melampaui kasus Ibnu Sutowo. Ini bukan sekadar perbandingan angka, tapi bukti bahwa korupsi bukanlah cerita lama yang sudah selesai. Ia bukan masa lalu yang tinggal kenangan, melainkan penyakit kronis yang justru tumbuh lebih ganas di setiap generasi.

Dari Orde Baru hingga Reformasi, dari presiden ke presiden, dari satu generasi ke generasi berikutnya, negeri ini hanya berganti pemain, sementara panggung dan dramanya tetap sama. Korupsi bukan sekadar berulang, tapi justru berkembang biak, semakin sistematis, dan makin sulit diberantas.

Lalu, kita pun selalu bertanya: apakah korupsi ini betul-betul tak bisa diberantas? Atau kita yang sudah terlalu terbiasa hidup dengannya, bahkan mungkin menjadi bagian darinya dengan membiarkannya terus terjadi?

Dulu, media seperti Indonesia Raya berani menentang arus, membayar mahal dengan kebredelan dan pemenjaraan. Kini, di era kebebasan pers, berita skandal bisa muncul setiap hari. Tapi, jika kita hanya sekadar tahu dan mengeluh tanpa gerakan nyata, maka korupsi hanya akan terus berulang —hari ini, besok, dan entah sampai kapan.

Sebab korupsi, seperti hantu yang tak pernah diusir, hanya akan semakin kuat jika kita terus membiarkannya.

Cak AT – Ahmadie Thaha | Kolumnis