Perpustakaan Nasional Berawal dari ‘Bataviaasch Genootschap’

koransulindo.com – Pada 24 April 1778 berdiri lembaga swasta Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BGKW) atau Lembaga Kesenian dan Ilmu Pengetahuan di kota Batavia. Sejak itu BGKW memulai pengumpulan buku dan penerbitan sehingga koleksi BGKW dipandang tertua di Asia Tenggara.

Koleksi BGKW diperoleh lewat pertukaran penerbitan dengan lembaga-lembaga ilmiah di Asia, Eropa, dan Amerika. Selain itu, diperkaya dengan pembelian dan hadiah dari Gubernur Jenderal, pejabat, dan instansi pemerintah. Koleksi Perpustakaan BGKW terdiri atas buku, surat kabar, majalah, dan peta.

Penerbitan-penerbitan yang digunakan sebagai bahan pertukaran adalah publikasi yang dihasilkan BGKW. Saat itu berbagai publikasi BGKW yang cukup dikenal antara lain  Tijdschrift voor de Indische Taal-, Land- en Volkenkunde (TBG), Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap (VBG), Jaarboek, Notulen, dan Werken buiten de serie.

Pada abad ke-19 penambahan buku ditekankan pada karya ilmu alam dan ilmu kebudayaan. Dengan begitu BGKW dapat meminjamkan buku kepada Perhimpunan Ilmu Alam yang didirikan pada 1850. Di luar negeri peminjaman buku antarlembaga baru dimulai pada abad ke-20. Jadi BGKW lebih dulu berperan.

Pada akhir abad ke-19, ketika banyak orang mempelajari bahasa-bahasa Timur, pedoman perpustakaan ditinjau kembali dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat. Yang diutamakan adalah karya mengenai ilmu bangsa-bangsa dan kemanusiaan dari kepulauan Hindia-Belanda.

Perpustakaan Nasional di Jalan Imam Bonjol,
sekarang Museum Perumusan Naskah Proklamasi (Sumber: perpusnas.go.id)

Dari buku kecil Pedoman Singkat Perpustakaan Museum Pusat (1973) terungkap pula, setelah berdirinya Sekolah Tinggi Hukum dan Fakultas Sastra, perpustakaan memperluas koleksi dengan penerbitan-penerbitan yang diperlukan kedua perguruan tinggi tersebut.

Sebelumnya pada 1913 ada peraturan pemerintah bahwa kepala pemerintah setempat diminta menyerahkan semua karya cetak  yang dikumpulkan sejak 1856 dan dinyatakan lolos sensor kepada Direksi BGKW. Begitu juga departemen dan dinas bawahannya, harus menyerahkan semua karya tulisan kepada Direksi BGKW.

Selama masa pendudukan Jepang (1942-1945) koleksi perpustakaan tetap utuh. Malah menjadi depot dari publikasi-publikasi resmi pemerintah pendudukan Jepang. Peran Perpustakaan BGKW semakin besar setelah pada 1948 ditunjuk sebagai depot dari penerbitan-penerbitan PBB dan cabang-cabangnya. Koleksi Indonesia sebelum Perang Dunia II banyak terdapat di perpustakaan ini, terutama koleksi surat kabar Indonesia sejak zaman Daendels.

Pada 1950 nama lembaga diganti menjadi Lembaga Kebudayaan Indonesia (LKI). Karena kesulitan keuangan—ketika itu BGKW hidup dari para donatur—pada 1962 LKI termasuk perpustakaannya, diserahkan kepada Pemerintah Indonesia. Nama perpustakaan pun diganti menjadi Perpustakaan Museum Pusat. Gedung Perpustakaan Museum Pusat terletak di Jalan Medan Merdeka Barat 12, di bagian kiri dalam gedung museum. Pada 1979 nama Museum Pusat diganti Museum Nasional. Nama perpustakaan pun ikut berubah. [DS]

Baca juga: