Pertempuran Surabaya Berlangsung Tiga Minggu
Tewasnya Mallaby membuat pihak Inggris marah kepada Indonesia. Mayor Jenderal E.C. Mansergh ditunjuk menggantikan posisi Mallaby. Mansergh lalu mengeluarkan ultimatum yang meminta pihak Indonesia menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan NICA. Ultimatum itu juga menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi, tanggal 10 November 1945.
Ultimatum tersebut tentu saja ditolak para pejuang Indonesia. Permintaan menyerahkan senjata, menghentikan perlawanan dan para pimpinan harus menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas merupakan penghinaan bagi para pejuang dan rakyat yang telah membentuk banyak badan-badan perjuangan. Oleh pihak Indonesia, ultimatum itu ditolak mentah-mentah karena Republik Indonesia sudah berdiri, dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) juga telah dibentuk sebagai pasukan negara. Selain itu, banyak organisasi perjuangan bersenjata yang telah dibentuk masyarakat, termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar. Mereka semua menentang masuknya kembali pemerintahan Belanda (NICA) dengan membonceng tentara Inggris.
Baca juga Batalyon Andjing NICA Lebih Belanda dari Belanda
Buntut dari tak digubrisnya ultimatum itu, pada 10 November pagi, tentara Inggris melancarkan serangan berskala besar. Serangan itu diawali dengan membombardir gedung-gedung pemerintahan Surabaya melalui serangan udara. Inggris kemudian mengerahkan sekitar 30.000 pasukan infanteri, sejumlah pesawat terbang, tank, dan kapal perang untuk meluluh-lantakkan Surabaya. Serangan udara itu disusul dengan serangan meriam dari laut dan darat di berbagai bagian kota Surabaya.
Perlawanan pasukan dan milisi Indonesia kemudian berkobar di seluruh kota. Dengan bantuan penduduk Surabaya, mereka berusaha menghadapi serangan Inggris. Terlibatnya penduduk dalam pertempuran ini mengakibatkan ribuan warga sipil tewas. Pertempuran berlangsung sangat sengit. Pasukan Inggris yang semula memperkirakan akan mampu menaklukkan Surabaya dalam waktu tidak lebih dari tiga hari mendapatkan perlawanan yang tak terduga. Satu pejuang roboh tertembak, puluhan pejuang lain maju, begitu seterusnya seperti tak ada habisnya.
Bung Tomo, tokoh pemuda terus berteriak di radio untuk mengobarkan semangat arek-arek Surabaya. Pidato Bung Tomo ternyata berpengaruh besar dalam menggerakkan semangat perlawanan pemuda-pemuda Surabaya sehingga perlawanan terus berlanjut, Tokoh-tokoh agama tak tinggal diam. Kalangan ulama serta kyai-kyai pondok Jawa Timur– seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai pesantren lainnya– juga mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan.
Perlawanan dari pihak Indonesia berlangsung dari hari ke hari, hingga dari minggu ke minggu. Sesumbar Inggris yang akan menaklukkan Surabaya dalam tiga hari mendapat jawaban berupa perlawanan gigih tanpa mengenal kata menyerah. Bahkan perlawanan rakyat yang awalnya dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi, lambat laun semakin teratur.
Pertempuran skala besar ini berlangsung selama tiga minggu. Setidaknya 6.000 pejuang Indonesia tewas dalam pertempuran itu. Sedangkan 200.000 rakyat sipil mengungsi dari Surabaya. Korban dari pasukan Inggris sekitar 600 tentara. Surabaya memang jatuh ke tangan pasukan Inggris, namun pertempuran itu telah menggerakkan perlawanan seluruh rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan mengusir kembalinya penjajah di bumi pertiwi. Pertempuran di Surabaya 10 November 1945 hingga kini dikenang oleh bangsa Indonesia sebagai “Hari Pahlawan”, hari dimana saat rakyat Indonesia mempertahankan harga dirinya sebagai sebuah bangsa yang merdeka dari cengkeraman penjajah. [Satyabudi]
(Tulisan ini pernah dimuat pada tanggal 11 November 2016)