Dari Jawa
DENGAN uraian di atas jelaslah bahwa masyarakat Nusantara, terutama di Jawa, sudah memiliki tradisi tekstil yang panjang. Juga sudah mengenakan busana dari tekstil. Dan, kuat dugaan, kebaya memang awalnya berasal dari masyarakat Jawa, yang kemudian menyebar lewat diplomasi dan interaksi sosial ke wilayah Bali, Sumatera, Melaka, Kalimantan, Sulawesi, sampai ke Sulu dan Mindanao di Filipina, sebagaimana diungkapkan dalam buku Re-orienting Fashion: The Globalization of Asian Dress yang disunting S. A. Niessen, Carla Jone, dan Ann Marie Leshkowich (2003); makalah yang ditulis Victoria Cattoni, “Reading The Kebaya” (2004), dan; buku Indonesian Textiles yang ditulis Michael Hitchcock (1991).
Kebaya pada masyarakat Jawa yang dikenal seperti sekarang telah dicatat juga oleh Sir Thomas Stamford Raffles pada tahun 1817, dalam bukunya yang fenomenal The History of Java. Raffles mencatat, kebaya dibuat dari bahan sutera, brokat, dan beluderu (velvet), dengan bukaan tengah blus diikat dengan bros, bukan dengan kancing dan lubang kancing, dengan pakaian dalam berupa kemben. Kerahnya berbentuk “V”.
Namun, pada masa invasi Inggris di Jawa itu, di bawah pemerintahan Raffles, pemakaian kebaya di masyarakat Jawa tersaingi dengan model gaun terusan ala Eropa. Pemakaian kebaya hanya dikenakan oleh orang Jawa pada momen-momen tertentu.
Kebaya mulai berangsur-angsur digemari lagi ketika Pemerintah Kolonial Belanda mulai berkuasa. Menurut Jean Gelman Taylor dalam artikelnya, “Kostum dan Gender di Jawa Kolonial Tahun 1900-19940”—dalam buku Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan yang disunting Henk Schutle Nordholt (2005)—kebaya menjadi busana perempuan bagi semua kelas sosial, termasuk dikenakan oleh para perempuan Belanda. Kebaya seakan menjadi busana wajib pagi hari bagi para perempuan Belanda di Hindia Belanda pada masa itu.
Bahkan, seperti dicatat Catenius-van der Meijden dalam bukunya, Naar Indië en terug: Gids voor het gezin, speciaal een vraagbaak voor dames (tanpa tahun), para perempuan Belanda pada akhir abad ke-19 yang akan ke Hindia Belanda disarankan untuk membawa kebaya dan sarung. Kebaya dan sarung itu sebaiknya juga dibeli di Hindia saja. Karena, kata Catenius, ‘kebaya yang dibeli dengan harga mahal di Belanda terlihat konyol ketika dikenakan di Hindia’. Pada buku itu juga diingatkan agar tidak membawa pakaian terlalu banyak karena di Hindia ‘semuanya sangat murah dibandingkan di Belanda.’
Kebaya yang dikenakan para perempuan Belanda ini dikenal dengan nama kebaya Indo. Potongan dan gaya kebayanya mirip dengan kebaya Jawa. Namun, umumnya, bagian lengan kebaya Indo lebih pendek dari kebaya Jawa. Bahannya dari katun dan dihiasi dengan renda, yang umumnya diimpor dari Eropa. Untuk daleman, mereka tidak lagi mengenakan korset, namun pakaian dalam yang ringan dan nyaman. Kebaya katun putih biasanya dikenakan di pagi atau siang hari. Untuk malam, mereka mengenakan kebaya lazimnya mengenakan kebaya berwarna hitam berbahan sutera.
Kebaya Jawa memang simpel. Potongannya lurus dan sederhana, dengan leher “V”. Umumnya kebaya Jawa dibuat dari kain halus semi-transparan, dengan hiasan bunga, bordir, atau manik-manik. Pakaian dalamnya korset, bra, atau kamisol. Bahan lain yang digunakan untuk kebaya Jawa adalah katun, brokat, sutera, atau beluderu.
Ada juga jenis kebaya yang disebut sebagai kebaya Kartini, yakni model kebaya yang biasanya digunakan perempuan bangsawan Jawa pada masa hidup Kartini di awal abad ke-20. Ini juga mirip dengan kebaya Jawa umumnya. Bedanya, bahannya dari kain halus yang tidak transparan, yang umumnya polos. Hiasannya juga minim. Hanya jahitan atau tali pengaman di pinggir-pinggirnya. Potongan kerahnya berbentuk “V”, dengan berbentuk vertikal, yang membuat postur pemakainya terkesan lebih tinggi. Panjang kebaya ini menutupi pinggul.
Model yang lain adalah kebaya kutubaru. Modelnya sangat mirip dengan jenis kebaya lain. Bedanya, ada kain tambahan yang disebut beff untuk menghubungkan sisi kiri dan kanan kebaya di dada dan perut. Dengan demikian, kerahnya berbentuk persegi atau persegi panjang. Biasanya, pemakai kebaya ini mengenakan stagen atau korset hitam berlapis karet, sehingga pemakainya terlihat lebih langsing. Kebaya kutubaru berasal dari Jawa Tengah.