Koran Sulindo – Pada tanggal 9 Oktober 1740, dimulailah salah satu peristiwa paling berdarah dalam sejarah Batavia (sekarang Jakarta), yang kini dikenal sebagai Geger Pacinan atau Tragedi Angke.
Peristiwa ini menewaskan ribuan warga Tionghoa yang tinggal di Batavia, dan menorehkan luka mendalam dalam sejarah Indonesia. G. Bernhard Schwarzen, seorang serdadu VOC yang menjadi saksi mata, menggambarkan kekejaman yang terjadi.
“Seluruh jalanan dan gang-gang dipenuhi mayat, kanal penuh dengan mayat. Bahkan kaki kita tak akan basah ketika menyeberangi kanal jika melewati tumpukan mayat-mayat itu,” tulisnya dalam buku “Reise in Ost-Indien” yang diterbitkan pada tahun 1751.
Schwarzen adalah bagian dari pasukan VOC yang melakukan “pembersihan” terhadap warga Tionghoa di Batavia. Selama 13 hari, mulai dari 9 Oktober hingga 22 Oktober 1740, ribuan orang Tionghoa dibantai.
Tercatat tidak kurang dari 10.000 jiwa yang tewas dalam tragedi tersebut, sebuah tindakan yang mengerikan dan dianggap sebagai salah satu upaya pemusnahan etnis di Nusantara.
Latar Belakang Geger Pacinan
Pada awal abad ke-18, Batavia, sebagai pusat kekuasaan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), berkembang pesat menjadi kota kosmopolitan. Namun, perkembangan ini juga menimbulkan masalah kependudukan yang kompleks.
Salah satu kelompok yang tumbuh pesat adalah warga Tionghoa. Saat Adriaan Valckenier menjabat sebagai Gubernur Jenderal VOC pada tahun 1737, populasi warga Tionghoa di Batavia terus meningkat, dengan perkiraan jumlah mencapai 4.000 orang di dalam benteng Batavia dan lebih dari 10.000 orang di luar tembok kota.
Namun, di tengah kemakmuran ekonomi yang lesu, ketegangan antara etnis Tionghoa dan pemerintah VOC meningkat. Kebijakan keras Valckenier untuk mengurangi populasi etnis Tionghoa menimbulkan keresahan di kalangan warga Tionghoa.
Pemerintah VOC memutuskan untuk mengirim orang-orang Tionghoa ke koloni-koloni Belanda lainnya, seperti Sri Lanka atau Afrika Selatan. Kabar bahwa beberapa orang yang dikirim justru dilemparkan ke laut sebelum tiba di tempat tujuan menambah kepanikan di kalangan orang Tionghoa.
Keresahan tersebut memuncak ketika kelompok warga Tionghoa mulai melakukan perlawanan terhadap VOC. Pada bulan September 1740, beberapa insiden besar terjadi di wilayah sekitar Batavia, seperti di Meester Cornelis (sekarang Jatinegara) dan Tanah Abang, yang menewaskan 50 serdadu Belanda. Valckenier merespons dengan mengerahkan 1.800 tentara untuk membalas serangan tersebut.
Puncak Konflik: Pembantaian Massal
Pada 8 Oktober 1740, ribuan orang Tionghoa dari wilayah sekitar Batavia, termasuk Tangerang dan Bekasi, bergabung dalam pemberontakan melawan VOC. Pada hari berikutnya, Valckenier memerintahkan pasukan militer untuk melakukan “pembersihan” besar-besaran. Baik warga Tionghoa yang tinggal di dalam benteng Batavia maupun yang berada di luar tembok kota menjadi sasaran.
Pembantaian dimulai sejak pagi hari, dengan serdadu Belanda membabi buta membunuh siapa pun yang mereka temui. Baik pria, wanita, anak-anak, hingga bayi, semua menjadi korban tanpa pandang bulu.
Mereka yang sedang sakit di rumah sakit pun tidak luput dari kekejaman tersebut. Selain itu, rumah-rumah warga Tionghoa dijarah dan dibakar, sementara kepala-kepala mereka dipancung untuk mendapatkan hadiah besar yang dijanjikan Valckenier dalam sayembara yang dibuatnya.
Geger Pacinan berlangsung selama 13 hari, dan pada akhirnya, lebih dari 10.000 orang Tionghoa tewas. Tidak hanya korban jiwa, lebih dari 700 rumah warga Tionghoa dibakar, dan ratusan orang lainnya terluka parah.
Tragedi Angke dan Dampaknya
Peristiwa ini dikenal juga sebagai Tragedi Angke, merujuk pada nama daerah di pesisir utara Batavia, tempat banyak pembantaian terjadi. Nama “Angke” sendiri berasal dari bahasa Hokkian, di mana “ang” berarti merah dan “ke” berarti sungai, merujuk pada darah yang mengalir di sungai akibat pembantaian tersebut.
Sungai Angke menjadi saksi bisu atas pembantaian brutal yang dilakukan oleh serdadu VOC dan sekutu pribuminya.
Geger Pacinan atau Tragedi Angke meninggalkan trauma yang mendalam di kalangan warga Tionghoa di Nusantara, dan hingga kini tetap menjadi bagian penting dari sejarah kelam Batavia dan Indonesia.
Tragedi ini juga memperlihatkan betapa rapuhnya hubungan antara etnis Tionghoa dan pemerintah kolonial pada masa itu, serta betapa mudahnya kebijakan politik yang salah dapat berujung pada bencana kemanusiaan yang mengerikan.
Pembantaian ini menjadi salah satu contoh bagaimana kekuasaan kolonial VOC menggunakan kekuatan militer untuk menekan dan membasmi kelompok-kelompok yang dianggap sebagai ancaman. [UN]