Perempuan Tionghoa dalam Sejarah Perjuangan Indonesia

Ilustrasi laskar wanita Indonesia.

TERCATAT semenjak era Dinasti Zhou (1046 SM-249 SM), perempuan Tionghoa telah dijadikan alat untuk membuka jalan perdamaian dengan cara menikahkan putri-putri istana dengan bangsa nomaden yang menyerang mereka. Praktek ini kemudian menyebar dan dilakukan sebagai alat berdiplomasi dengan kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara.

Perempuan Tionghoa di Zaman Kerajaan di Jawa

Cukup banyak perempuan Tionghoa yang kemudian menikah dengan bangsawan kerajaan di Asia Tenggara, termasuk di Tanah Jawa. Pada masa Hindu-Buddha, perempuan dari kalangan Tionghoa Muslim Siu Ban Ci menikahi Raden Brawijaya V, dari pernikahan ini kemudian lahir Raden Patah. Kelak Raden Patah lah yang membawa kehancuran Majapahit lewat Kesultanan Demak yang didirikannya.

Catatan sejarah juga telah menggambarkan ketangguhan Raden Ayu Tan Peng Nio di masa perang Geger Pacinan melawan VOC di abad ke-18 dari Jawa Tengah hingga Jawa Timur. Bahkan Tan Peng Nio dijuluki sebagai Mulan van Java. Raden Ayu Tan Peng Nio ini menikah dengan KRT Kolopaking III. Tan Peng Nio Adalah seorang jago silat, calon suaminya terkesan dengan keahlian bela diri Tan Peng Nio, sehingga ia dimasukan dalam silsilah resmi Kolopaking.

Pernikahan perempuan Tionghoa dengan bangsawan sekaligus penyebar agama Islam pun terjadi di masa Kesultanan Cirebon, ketika Sunan Gunung Jati menikahi Putri Ong Tien. Kejadian serupa terjadi di kesultanan Islam di Jawa, termasuk Putri Demang Mangunjaya (Rara Hoyi/Ma Oen) yang jadi rebutan Amangkurat I dan putranya.

Perempuan Tionghoa pada Zaman Kemerdekaan

Beberapa tokoh perempuan keturunan Tionghoa yang andil dalam pergerakan kemerdekaan seperti Nyonya Liem Koen Hian, istri dari Liem Koen Hian, yang menemani dalam pertandingan sepak bola di Surabaya yang membakar semangat kebangsaan. Tokoh lainnya seperti Ho Wan Moy yang menjadi mata-mata pejuang kemerdekaan, serta The Sin Nio yang menyamar jadi laki-laki dengan nama Mochamad Moeksin demi bisa berperang.

Ada segelintir perempuan Tionghoa, yang demi cintanya untuk negeri ini, bersedia tampil di garis depan perjuangan fisik dan bergerilya dengan para pejuang lainnya.

Demi dapat bergabung dengan gerilyawan, The Sin Nio merubah identitas administrasinya sebagai laki-laki dengan nama Mochamad Moeksin. Sehingga dia pun dapat bergabung dengan pejuang lainnya dalam Kompi 1 Batalyon 4 Resimen 18 (Sarinah edisi 6 Agustus 1984). Perempuan asal Wonosobo tersebut, turut berperan di bidang logistik dan persenjataan. Setelah menjadi bagian logistik, ia dipindahkan ke bagian perawat.

Tak banyak gambaran secara detail mengenai sosok The Sin Nio pada masa perjuangan kemerdekaan. Sejak 1973 ia meninggalkan keluarganya pergi ke Jakarta untuk menuntut haknya sebagai veteran. Akhirnya Sin Nio baru mendapatkan pengakuan sebagai veteran pada 15 Agustus 1981, berdasarkan SK yang ditandatangani Wakil Panglima ABRI, Laksamana Sudomo. Namun tampaknya pengakuan tersebut tak sejalan dengan cairnya hak tunjangan veterannya. Ia pun menghabiskan sisa hidupnya hingga meninggal pada 1985 di usia 70 tahun di kawasan kumuh di dekat Stasiun Juanda, Jakarta.

Tokoh lainnya yaitu Tika Nurwati atau nama asli Tionghoa nya, Ho Wan Moy, yang sejak muda telah terlibat perjuangan kemerdekaan di Jawa Tengah. Ia pun mendapat penganugerahan Bintang Gerilya dan Bintang Veteran pasca kemerdekaan. Ia sempat menjadi pejuang ke tempat persembunyian senjata di Banjar. Kemudian bergabung dengan Palang Merah Indonesia dan Laskar Wanita Indonesia untuk merawat pejuang yang terluka, mengurusi logistik tentara, dan merangkap sebagai mata-mata.

Kisahnya menjadi mata-mata bermula dari habisnya persediaan singkong dan beras milik keluarganya setelah disumbangkan kepada gerilyawan. Ia terpaksa harus ke kota melewati pos-pos Belanda untuk belanja. Beruntung ia tak dicurigai.

Sesaat melewati pos-pos Belanda, ia juga mencatat jumlah tentara yang berjaga. Ia mengungkapkan bila tentara yang berjaga adalah pasukan Belanda Hitam (sebutan untuk tentara KNIL pribumi saat itu), dan sedikit yang Belanda putih.

Lalu ada Auw Tjoei Lan, seorang perempuan Tionghoa yang memiliki dedikasi tinggi dalam memberantas perdagangan perempuan. Ia lahir di Majalengka pada tahun 1889 dan berasal dari keluarga yang berkecukupan dan cukup terpandang. Ayahnya Auw Seng Ho adalah seorang Kapiten Tionghoa dan pemilik kebun tebu dan pabrik gula dan dikenal sering melakukan kegiatan amal.  Ia kemudian menikah dengan seorang Mayor Tionghoa dan pindah ke Batavia. Selama tinggal di sana ia bertemu dan berkenalan dengan Dr. Zigman yang menjadi gurunya dalam bidang bahasa dan kebudayaan Belanda. Auw Tjoei Lan terlibat dalam kepengurusan organisasi Ati Soetji, sebuah lembaga yang didirikan oleh Dr Zigman dan beberapa koleganya. Melalui lembaga ini, Auw Tjoei Lan terjun langsung dalam melindungi perempuan-perempuan muda asal Tiongkok yang menjadi korban penyelundupan manusia ke Batavia. Gadis-gadis belia yang umumnya berasal dari keluarga miskin ini dibawa dari Cina untuk dipekerjakan sebagai pekerja rumah tangga di wilayah Malaya tetapi kemudian mereka dijadikan sebagai pelacur di rumah-rumah bordil.

Memang sejak tahun 1930-an makin banyak gadis Tionghoa yang disekolahkan di Belanda maupun di Universitas lokal di Indonesia, untuk menuntut ilmu kedokteran, hukum dan lainnya. Namun pemerintah kolonial tidak mengizinkan etnis Tionghoa turut dalam pemilihan umum, karena kaum etnis Tionghoa dalam masa itu masih didiskriminasi. Bahkan yang lulusan universitas pun tidak diperkenankan duduk di Volksraad (Perwakilan Rakyat).

Pada pasca kemerdekaan, perempuan Tionghoa pun jadi pelopor seperti jenderal polisi perempuan pertama  yaitu Jeanne Mandagi, hakim perempuan pertama di Indonesia Thung Tjp Nio, Susy Nander yang merupakan penabuh drum senior dari band Dara Puspita, hingga Susi Susanti perempuan pertama Indonesia yang juara di laga bulu tangkis dunia. [KY]