Koran Sulindo – Di sebuah panggung sebuah kisah adu urat ditampilkan dalam bentuk komedi yang berlebihan. Si A berkelahi dengan temannya, Si B. Tak pernah berhenti, Si A ini terus mengancam akan memukuli B hingga babak belur, kalau perlu bahkan sampai KO.

Selain hanya terus mengancam, Si A tak melakukan apapun dan hanya ditanggapi B dengan tertawa dan sesekali balik mengancam. Tiba-tiba A menemukan langkah brilian; ia mengancam C yang lebih besar dan kuat dari B dengan mengatakan, “jika Anda tak membuat B patuh pada tuntutan saya, saya akan hadapi B dengan tangan saya sendiri.”

Tentu saja panggung segera meledak dengan suara tawa berkepanjangan, dan penonton jelas mempertanyakan tingkat kecerdasan si A.

Ini semua bakal sangat lucu jika itu benar-benar sebuah pertunjukan komedi. Tapi apa semua ini sebenarnya adalah perkembangan yang lambat tapi pasti menuju perang. Tengoklah, perseteruan antara Republik  Rakyat Demokratik Korea dan Amerika Serikat yang terus menerus berusaha melibatkan China. Sialnya, itu adalah sebuah komedi nuklir.

Kepada Xi Jinping, Donald Trump berkali-kali memaksa China agar segera mengambil tindakan terhadap DPRK atau AS “akan membawa Korea Utara ke tangan mereka sendiri jika China menolak untuk patuh.”

Di PBB, utusan AS Nikky Haley berteriak tak kalah nyaringnya, “untuk menjadi jelas, China bisa berbuat lebih banyak. Dan kita akan terus memberi tekanan sebanyak yang kita bisa. Terakhir kali mereka benar-benar menghentikan pengiriman minyak ke Korea Utara. Jadi, kami telah memberi tahu China bahwa mereka harus berbuat lebih banyak. Jika mereka tak berbuat lebih banyak, kita akan membawa masalah ini ke tangan kita sendiri dengan sanksi sekunder .”

Satu hal yang dilupakan baik Trump dan Haley, China tak gampang diintimidasi.

Suasana buruk di Semenanjung Korea, menjadi lebih buruk lagi dengan obsesi media terhadap rudal DPRK, apakah bisa mencapai Guam atau bahkan daratan Amerika. Tapi apakah jika Kim Jong Un benar-benar terpojok ia akan mengirim rudal ke Guam atau AS? Lupakan Guam, waspadai Tokyo!

Sementara artileri-artileri kuno DPRK bisa menghancurkan Seoul, rudal Pyongyang jelas bisa mencapai Tokyo atau  wilayah Keihanshin yang mencakup Kyoto, Osaka, Kobe termasuk industri utama Kawasan Industri Hanshin.

Dengan jumlah penduduk masing-masing 37 juta dan 20 juta, Greater Tokyo dan Keihanshin menjadi wilayah industri yang bakal menghasilkan bencana ekologis yang luar biasa jika dilanda rudal nuklir. Tidak cuma itu, serangan nuklir pada pusat perekonomian dan keuangan utama Jepang dijamin bakal menghasilkan keruntuhan ekonomi internasional.

Jika Korea Utara benar-benar ingin benar-benar menyakiti Amerika, selain menghajar Seoul dengan artileri hingga lumat dengan tanah, kehancuran kota-kota utama di Jepang bakal menghasilkan krisis politik paling besar bagi seluruh penghuni planet.

Selama Perang Dingin, konsekuensi utama dari serangan Soviet ke Jepang dan seluruh kesimpulannya selalu sama. Jepang tidak mampu berperang dalam bentuk apapun. Wilayahnya terlalu kecil, terlalu padat penduduknya, dan terlalu kaya sebagai target. Perang bagi negeri itu hanya akan menyia-nyiakan seluruh negara. Dan penilaian itu masih berlaku sampai hari ini.

Bisakan dibayangkan reaksi orang-orang Jepang dan Korea Selatan jika AS kemudian benar-benar ‘gila’ dan memutuskan menyerang DPRK? AS yang membuat kekacauan, dan mereka yang menanggung akibatnya.

Namun, untuk beberapa alasan media barat hampir tak pernah menghitung Jepang sebagai sasaran atau konsekuensi ekonomi global yang timbul jika skenario itu benar-benar terjadi. Sampai saat ini, sangat sedikit orang yang tahu pasti apakah DPRK benar-benar berhasil mengembangkan senjata nuklir yang bisa digunakan –hulu ledak dan rudal atau apakah rudal balistik mereka benar-benar bia mencapai Guam atau Amerika.

Satu hal yang pasti dan tanpa keraguan, rudal DPRK sanggup terbang hingga 1.000 km untuk menghantam jantungnya Jepang, Tokyo. Dan itu terbukti dalam beberapa ujicoba penembakan rudal.

Tentu saja, Amerika segera mengklaim bahwa sistem pertahanan THAAD dapat melindungi Korea Selatan dan Jepang dari serangan rudal macam itu. Tak semua ahli sepakat dengan klaim itu karena tak ada yang bisa memastikannya sampai itu benar-benar terjadi. Namun menilai kinerja sistem anti rudal Patriot pada Perang Teluk, klaim itu jelas minim fakta historis.

DPRK tentu tak harus bekerja dalam skenario AS, Pyongyang bisa menempatkan perangkat nuklir –bahkan bukan hulu ledak- di kapal komersial biasa atau bahkan kapal selam, diam-diam membawa ke pantai Jepang lalu meledakkannya. Kepanikan dan kekacauan selanjutnya bakal menghabiskan biaya dan uang yang lebih banyak dibanding ledakan itu sendiri. Bagaimana dengan Seoul?

Pertempuran di daerah perbatasan secara langsung akan segera mengincar Seoul sebagai sasaran dan dengan cepat bakal meningkat sampai titik mengancam keseluruhan ekonomi Korea Selatan, bahkan tanpa sebuah invasi besar sekalipun.

Lalu bagaimana sikap China dengan semua prospek perang di Semenanjung Korea? Persis. Orang-orang di Beijing lebih suka membiarkan AS menangani sendiri masalah nuklir DPRK karena mereka mengetahui dengan pasti cepat atau lambat, AS akan kalah tanpa sebutirpun tembakan peluru dari China. Sangat murah.[TGU]