Perang Diponegoro yang terjadi pada tahun 1825-1830 merupakan salah satu perlawanan besar rakyat Jawa terhadap kolonial Belanda. Perang yang berlangsung selama lima tahun ini dipimpin secara langsung oleh Pangeran Diponegoro dan menyebabkan kerugian besar bagi pihak Belanda.
Meskipun perang ini dipimpin oleh laki-laki namun peran perempuan di dalamnya juga tidak bisa kita abaikan. Perempuan mempunyai banyak kontribusi yang signifikan baik yang berada di garis depan maupun dalam mendukung logistik dan moral pejuang lainnya.
Latar Belakang Perang Diponegoro
Perang Diponegoro dilakukan sebagai reaksi terhadap tindakan kolonial Belanda yang dirasa merendahkan nilai-nilai adat Jawa, seperti pemungutan pajak yang besar, pengambilan tanah leluhur dan pelecehan budaya yang dilakukan pihak kolonial Belanda pada waktu itu.
Pangeran Diponegoro memimpin perang ini dengan menggabungkan unsur keagamaan dan tradisi Jawa. Namun tak bisa dipungkiri bahwa keberhasilan perang ini juga tak lepas dari peran banyak pihak, termasuk para perempuan yang ikut dalam pertempuaran secara langsung maupun tidak langsung.
Peran Strategis Perempuan dalam Perang Diponegoro
1. Kurir dan Informan
Banyak perempuan yang mempunyai peran penting selama perang Diponegoro salah satunya adalah sebagai pembawa pesan rahasia antara pasukan Diponegoro yang tersebar di berbagai wilayah. Mereka seringkali melintasi medan yang sulit seperti hutan dan sungai sembari menghindari patroli Belanda.
2. Penyedia Logistik dan Perbekalan
Selain mengantarkan pesan, mereka juga ada yang bertindak sebagai penyedia logistik berupa makanan dan pakaian serta obat-obatan bagi para pejuang. Mereka juga berperan sebagai pengelola tempat persembunyian seperti desa terpencil dan gua-gua.
3. Perawat dan Penyembuh
Selain ahli tentang obat-obatan tradisional mereka juga merawat prajurit yang terluka atau sakit akibat perang. Dengan memanfaatkan bahan alami yang ada di hutan mereka membuat ramuan yang mujarab untuk para pejuang yang sakit.
Kisah Perempuan dalam Perang Diponegoro
Salah satu tokoh perempuan yang mempunyai peran penting dalam perang Diponegoro adalah Nyi Ageng Serang atau Bendara Raden Ayu Kustiah Wulaningsih Retno Edi. Nyi Ageng Serang tercatat dalam dalam sejarah sebagai wanita yang ahli siasat perang yang dimiliki Keraton Yogyakarta dan Diponegoro. Atas jasanya, beliau dianugerahi gelar Pahlawan Nasional
Nyi Ageng Serang merupakan wanita kelahiran Desa Serang, sekitar 40 KM sebelah utara Surakarta, dekat Purwodadi, Jawa Tengah. Beliau merupakan anak dari Pangeran Ronggo Seda Jajar atau dijuluki Panembahan Senopati Noto Projo yang menguasai wilayah Serang di Jawa Tengah yang juga menjabat sebagai Panglima Perang di bawah Sri Sultan Hamengkubuwono I.
Peran Nyi Ageng Serang dalam pertempurannya bersama Pangeran Diponegoro, memegang peran penting dimana beliau dipercaya sebagai penasihat Pangeran Diponegoro. Selain sebagai penasihat, beberapa kali beliau juga memimpin pasukannya dalam pertempuran di wilayah Serang, Purwodadi, Gundih, Kudus, Demak, dan Semarang.
Disebutkan diatas, Nyi Ageng Serang merupakan seorang yang ahli dalam strategi/siasat perang, strategi yang beliau gunakan bernama ”Strategi Lumbu (daun talas hijau)” dimana dalam taktik ini Nyi Ageng Serang dan Pasukannya memanfaatkan hewan atau ternak dan daun talas sebagai alat penyamaran dalam perang.
Nyi Ageng Serang pada awal pertempurannya bersama Diponegoro, saat itu berusia 73 tahun namun kegigihannya memimpin pasukan melawan Belanda tak pernah surut. Atas perintah Pangeran Diponegoro, Nyi Ageng Serang disuruh memindahkan markasnya ke Prambanan dan dan menjadi penasihat Sultan Sepuh, Sri Sultan Hamengkubuwono II.
Mengapa Peran Perempuan Jarang Dikenal?
Pada masa kolonial, tokoh laki-laki lebih ditonjolkan sebagai Pahlawan utama dibanding perempuan. Kontribusi perempuan dianggap hanya sebatas tugas domestik. Selain itu dalam budaya patriarki dimasa tersebut, tindakan heroik perempuan seringkali dianggap sebagai ”peran pendukung,” meskipun dalam kenyataannya peran mereka sangatlah strategis.
Nyi Ageng Serang memang namanya tak se-harum R.A Kartini namun perjuangannya yang gigih bahkan diusia renta, patut kita hargai, hormati dan banggakan, dan juga menjadi pengingat bahwa perempuan memiliki peran yang penting di dalam perjuangan meskipun seringkali tertutup narasi yang lebih besar. [IQT]