Koran Sulindo – Minoritas etnis yang dihapuskan. Itulah judul salah satu bab dalam buku Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar di Indonesia, karya Ariel Heryanto, yang terbit dua tahun lalu. Etnis yang dimaksud tak lain adalah orang-orang Tionghoa.
Ini sebuah ironi: dalam penulisan sejarah fim Indonesia, para pekerja film etnis Tionghoa nyaris absen dalam ratusan film yang sebagian besar diproduksi oleh kalangan ini. Padahal, seperti dicatat Krisna Sen, “imigran Tionghoa telah meletakkan dasar industri film pada tahun 1930-an dan industri modal Tionghoa menjadi tulang punggung industri film sepanjang sejarahnya.”
Bahkan, Krisna Sen menambahkan, bahwa etnis Tionghoa memasok tak hanya produser, pemodal, dan distributor, tapi juga sumber tenaga kreatif sinema, seperti sutradara dan penata kamera. “….ironisnya seluk beluk orang Indonesia-Tionghoa jarang ditampilkan sebagai pokok utama dalam film mereka, bahkan sebelum lenyapnya kehadiran mereka dituntut oleh kebijakan pemerintah Orde Baru.”
Sesudah menonton sekitar 200 judul film Indonesia yang diproduksi di masa Orde Baru, Sen menemukan hanya satu judul film, Putri Giok (1980), yang menampilkan keluarga Indonesia-Tionghoa. Itupun keluarga ini muncul di layar film untuk dijelek-jelekan sebagai masalah bangsa, sehingga perlu mengalami “penghapusan” sejalan dengan propaganda Orde Baru mengeai “pembaruan”.
Di masa Hindia-Belanda, tercatat produser film seperti Java Industrial Film (JIF, milik The Teng Chun) dan Tan;s Film Coy (milik Tan Khoen Hian), yang menghasilkan film-film laris di tahun 1930-an sampai awal 1940-an. Selain itu, masih ada juga Oriental Film Coy, Union Films Batavia, Populairs Film, dan lain-lain.
The Teng Chun, yang lahir di Jakarta tahun 1902 dan melewati masa remaja di kota ini, bahkan pernah mengikuti Kursus Penulisan Skenario, di Palmer Theatre Play. Amerika Serikat. Sepanjang tahun 1925-1930, ia bekerja sebagai pemilih fim-film buatan Sanghai yang akan diimpor ayahnya ke Hindia-Belanda.
Ketika pulang ke Hindia-Belanda tahun 1930, The Teng Chun (belakangan mengganti namanya menjadi Tahyar Ederis) mendirikan Cino Motion Picture, yang kemudian memproduksi film Bunga Ros dari Tjikembang. Film ini merupakan film bersuara yang dibuat dengan kamera single system, langsung merekam suara, yang alat suaranya dikerjakan sendiri di Bandung. Selanjutnya, ia memproduksi film-film populer berdasarkan cerita klasik Tiongkok, seperti Sam Pek Eng Tay, Ouw Pe Coa, dan serial See You. Setelah usahanya berkembang pesat, The Cheng Chun mengganti nama perusahaan filmnya menjadi JIF.
Selain produser, tenaga kreatif film dari kalangan Tionghoa juga terbilang banyak. Antara lain, Tan Tjoe Hock, yang dikenal sebagai sutradara fim genre action. Film garapannya—Alang-Alang, Tengkorak Hidoep, Srigala Item, Singa Laoet—selalu box office.
Sutradara yang lebih senior adalah Lie Tek Swie, yang banyak menggarap film untuk Tan’s Film Coy. Film-film garapan Lie Tek Swie kebanyakan masih berupa film bisu, seperti: Njai Dasima (1929), Si Ronda (1930), dan Melatie van Agam (1930). Di awal tahun 1940-an, ia menyutradarai film Ikan Doejoeng dan Siti Noerbaya.
Para aktor Tionghoa-Indonesia juga tak kalah banyak dan terkenal. Yang paling kondang adalah Tan Tjeng Bok. Juga para pemilik bioskop di kota-kota besar hingga kota-kota kecil di seantero Indonesia adalah Tionghoa.
Setelah perang kemerdekaan, sutradara film Steve Lim Tjoan Hok (Teguh Karya) menjadi salah satu tokoh utama perfilman Indonesia. Dan hampir semua produser terkemuka di masa itu hingga Orde Baru berasal dari kalangan Tionghoa-Indonesia.
Setelah era reformasi, kehadiran sinematis dari kalangan Tionghoa tumbuh dengan luar-biasa, dengan karya-karya baru yang diproduksi oleh seniman dari luar kalangan etnis tersebut. Tapi, seperti dicatat Krisna Sen, bahwa streotip lama terhadap kelompok etnis Tionghoa dan perspektif rasis yang mendasarinya, masih awet hingga sekarang.
Meski begitu, perkembangan terbaru cukup membesarkan hati. “Lebih dari sekedar memperlihatkan kesadaran menerima perbedaan etnis, kelas menengah Indonesia di layar (pekerja film) maupun di luar layar (penonton) tampak lebih nyaman bercampur baur dengan orang dari berbagai latar etnis, bahasa, dan kebangsaan,” tulis Ariel Heryanto. [Satyadarma]