Koran Sulindo – Pengakuan bekas Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi ketika bersaksi tentang proyek KTP elektronik (e-KTP) menyisakan tanda tanya besar. Ia nyaris tidak mengetahui apapun mengenai proyek tersebut.
Tentu saja publik bertanya-tanya soal itu. Pasalnya, sejak awal Gamawan terlibat dalam proyek ini. Bahkan ia pula yang mengirimkan surat kepada Menteri Keuangan dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional atau Bappenas pada akhir November 2009 perihal usulan pembiayaan proyek tersebut.
Mulanya proyek ini akan menggunakan pinjaman hibah luar negeri. Gamawan lewat suratnya itu meminta agar pembiayaan proyek itu menggunakan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Perubahan sumber pembiayaan proyek itu lantas dibahas dalam Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat antara Kementerian Dalam Negeri dengan Komisi II DPR.
Gamawan hadir sebagai saksi dalam persidangan kasus korupsi proyek e-KTP yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada Kamis (16/3). Ia memberikan keterangan untuk dua terdakwa yaitu mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Sugiharto, dan mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Irman.
Berdasarkan surat dakwaan Irman dan Sugiharto, untuk menggolkan anggaran proyek e-KTP, Ketua Komisi II yang kala itu dijabat Burhanuddin Napitulu meminta sejumlah uang ke kedua terdakwa. Untuk hal tersebut, sempat terjadi tarik ulur walau pada akhirnya disepakati akan digelontorkan sejumlah uang untuk anggota Komisi II agar anggaran proyek tersebut disetujui.
Pemerintah dan DPR pada akhirnya sepakat membiayai proyek dengan menggunakan kontrak tahun jamak. Setelah itu, Gamawan pada 21 Desember 2010 mengirimkan surat kepada Agus Martowardojo selaku Menteri Keuangan yang pada pokoknya meminta izin untuk melaksanakan proyek tersebut periode 2011 hingga 2012 dengan menggunakan skema kontrak tahun jamak.
Permohonan yang diajukan Gamawan itu adalah yang kedua kalinya setelah yang pertama pada 26 Oktober 2010 ditolak. Untuk mengantisipasi penolakan serupa, pengusaha pelaksana proyek Andi Agustinus alias Andi Narogong memnberikan sejumlah uang sebesar US$ 1 juta kepada mantan Sekjen Kementerian Dalam Negeri Diah Anggraeni. Maksudnya untuk memperlancar pembahasan izin pelaksanaan kontrak tahun jamak.
Benar, setelah pemberian uang itu, kontrak tahun jamak untuk proyek tersebut, Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan yang kala itu dijabat Herry Purnomo merespons cepat dengan mengirimkan surat kepada Gamawan agar proyek e-KTP dilaksanakan dengan kontrak tahun jamak. Anggaran yang disiapkan mencapai Rp 5,952 triliun.
Gamawan Berperan Aktif
Berdasarkan fakta tersebut, keterangan Gamawan yang mengaku tidak mengetahui secara teknis proyek itu menjadi terbantahkan. Justru terlihat peran aktif Gamawan sejak awal untuk menggolkan anggaran proyek e-KTP dengan menggunakan APBN lewat skema kontrak tahun jamak.
Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah karena itu mengingatkan saksi kasus korupsi e-KTP untuk tidak berbohong. Saksi disebut wajib berbicara dengan benar karena kalau ketahuan memyampaikan keterangan palsu, maka saksi terancam sanksi pidana.
KPK, kata Febry, pernah memproses secara hukum saksi yang memberikan keterangan palsu. Ia adalah mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. Akibatnya, Akik dikenakan pidana penjara lima tahun dan denda Rp 200 juta subsider tiga bulan penjara.
Berdasarkan dakwaan, Irman dan Sugiharto disebut secara bersama-sama dengan Andi Agustinus, Isnu Edhi Wujaya (Ketua Konsorsium PNRI), Diah Anggraeni (Sekjen Kemendagri), Setya Novanto (Ketua Fraksi Golkar periode 2009 hingga 2014) dan Drajat Wisnu Setyawan (Ketua Panitia Pengadaan barang/jasa Dirjen Dukcapil tahun 2011) melakukan atau turut serta melakukan, secara melawan hukum yaitu pengadaan e-KTP secara nasional tahun anggaran 2011 hingga 2013.
Sementara para terdakwa juga disebut memperkaya orang lain seperti Gamawan Fauzi, Diah Anggraeni, Dradjat Wisnu Setyawan beserta enam orang anggota Panitia Pengadaan, Husni Fahmi beserta lima orang anggota Tim Teknis, Johannes Marliem, Anas, Marzuki Ali, Olly Dondokambey, Melchias Marchus Mekeng, Mirwan Amir, Tamsil Linrung, Taufik Effendi, Teguh Djuwarno, Chairuman Harahap, Ganjar Pranowo, Arief Wibowo, Mustoko Weni, Rindoko, Jazuli Juwaeni, Agun Gunandjar Sudarsa, Ignatius Mulyono, Miryam S Haryani, Nu’man Abdul Hakim, Abdul Malik Haramaen, Jamal Aziz, Markus Nari, Yasona Laoly dan 37 anggota Komisi II.
Juga memperkaya korporasi seperti PNRI, PT Len Industri, PT Quadra Solution, PT Sandipala Artha Putra, PT Sucofindo, Manajemen Bersama Konsorsium PNRI. Akibat perbuatan itu negara rugi sekitar Rp 2,3 triliun dari nilai proyek Rp 5,95 triliun. [KRG]