Sulindomedia – Rencananya, Komisi IX DPR akan menetapkan Panitia Kerja (Panja) Revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri pada pekan depan. Revisi ini merupakan salah satu poin dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2016.

Diharapkan DPR, melalui revisi undang-undang tersebut, pemerintah lebih proaktif memberikan perlindungan terhadap tenaga kerja Indonesia. Terlebih, selama ini banyak TKI yang kehilangan haknya, baik karena kejahatan pihak yang tak bertanggung jawab maupun minimnya pengetahuan yang dimiliki.

Diungkapkan Ketua Komisi IX DPR, Dede Yusuf, masih kerap dijumpai TKI yang ditipu oknum di bandar udara begitu mereka sampai di Tanah Air. Juga ada yang menjadi korban persoalan pribadi. “Misalnya pasangannya diam-diam selingkuh sambil memanfatkan uang hasil jerih payah TKI di luar negeri,” kata Dede Yusuf di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (21/1/2016). Bahkan, tambah Dede, uang kiriman banyak dihabiskan untuk keperluan jangka pendek dan mengabaikan hal lain yang tak kalah penting, semisal keberlanjutan pendidikan anak-anak.

“Dalam revisi undang-undang tersebut nantinya akan ada pasal yang mewajibkan pemerintah untuk memberikan pelatihan keuangan terhadap keluarga TKI,” tutur Dede. Kala TKI pulang, kata Dede lagi, ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, mereka punya usaha lanjutan. Kedua, anak mereka punya biaya pendidikan. Jadi, dua hal ini yang ingin kami proteksi. Jangan sampai, pulang ke Tanah Air, TKI malah menjadi miskin. Jadi, mereka harus punya tabungan,” katanya.

Menurut Dede, revisi undang-undang tersebut akan berupaya mengamanatkan pemerintah daerah, melalui dinas tenaga kerja di wilayahnya masing-masing, untuk mendata keluarga TKI. Selanjutnya, pihak pemerintah daerah akan memberikan bimbingan langsung mengenai tata kelola keuangan yang baik. Dengan demikian, uang kiriman yang diterima dari luar negeri dapat menjadi modal demi kepentingan jangka panjang TKI itu sendiri.

“Nanti ada petugas dari dinas tenaga kerja yang akan memberikan pelatihan bagi para keluarga pekerja. Misalnya pelatihan wirausaha dan macam-macam. Tentu bukan dengan pemaksaan. Kan semua dalam bentuk tawaran-tawaran,” ujar Dede.

Rancangan revisi undang-undang itu beberapa waktu lalu sempat memicu perdebatan. Sikap para anggota Komisi IX DPR berbeda-beda. Sebagian memilih mengutamakan kata “perlindungan” dan menghilangkan “revisi” di dalam rancangan undang-undang revisi itu. Ada pula yang tidak sependapat. Ini lebih terkait kepada pemaknaan sejauh mana perlindungan TKI harus dilakukan oleh negara.

Bahkan, Ketua Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia Iweng Karsiwen mengkhawatirkan, akan banyak kepentingan bermain selama pembahasan revisi undang-undang tersebut. Iweng berpandangan, alotnya pembahasan revisi itu karena belum adanya satu kesepakatan antar- kementerian dan lembaga terkait pengiriman TKI ke luar negeri. “Menghadapi era Masyarakat Ekonomi ASEAN ataupun perdagangan global, kompetisi tenaga kerja akan semakin tinggi. Upaya mempersiapkan kualitas TKI harus diperhatikan pemerintah, termasuk bagaimana perlindungan mereka yang bekerja di luar negeri,” tutur Iweng, seperti dikutip berbagai media.

Iweng pun berharap, substansi revisi undang-undang itu perlu mengakomodasi kehadiran negara, mulai dari pra-penempatan hingga setelah pemulangan TKI. Misalnya, selama proses sebelum penempatan, TKI seharusnya dapat informasi jenis pekerjaan dan jabatan yang jelas. Beban biaya penempatan yang terlalu tinggi pun sebaiknya ditinjau kembali.

Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah juga berharap perspektif rancangan undang-undang revisi itu harus menempatkan buruh migran sebagai subyek, bukan bisnis penempatan. “Kasus-kasus hukum pancung perlu menjadi konteks pembahasan sehingga revisi undang-undang ini dapat menjawab masalah,” kata Anis, seperti diberitakan banyak media. [Wan Akbarsyah/Dju]