Pentas Teater Koma Tetap Memikat, meski Direpotkan Aturan Baru Gubernur Ahok

Cornelia Agatha memerankan Betari Permoni (kiri) dalam lakon Semar Gugat.

Sulindomedia – Kelompok Teater Koma tidak bisa melanjutkan tradisi berpentas di Taman Ismail Marzuki (TIM) akibat peraturan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama atau Ahok. “Kami tidak dapat tempat di TIM. Dapatnya baru November nanti.. Itupun mungkin kondisinya TIM akan direnovasi,” ungkap Ratna Riantiarno, dalam wawancara di Gedung Kesenian Jakarta, Rabu lalu (2/3/2016).

Ratna menjelaskan, Teater Koma biasa manggung untuk waktu yang panjang, minimal sepuluh hari, dan itu pastinya butuh waktu persiapan dua pekan. “Dan jika manggungdua minggu, persiapannya butuh paling enggak delapan belas hari. Itu yang kami enggak bisa dapatkan lagi di TIM,” kata Ratna Riantiarno, yang akhirnya memutuskan mengalihkan pementasan Semar Gugat di Gedung Kesenian Jakarta, mulai 3 maret sampai 10 Maret 2016.

Ratna pun membeberkan permasalahan yang terjadi. Selama ini, biaya untuk menyewa gedung Graha Bhakti Budaya (GBB) TIM antara Rp 25 juta sampai Rp 30 juta per hari. “Sekarang, tidak ada biaya sewa, hanya dikenakan biaya retribusi Rp 5 juta. Dan kalau jual tiket, untuk pengurusan pajak dan perizinan, kami harus urus sendiri. Jadi, jangan heran kalau sekarang acara GBB diisi dengan pentas seni sekolah ini-sekolah itu. Dan sistemnya siapa yang cepat mengajukan surat permohonan, dia yang dapat,” tuturnya.

Kebijakan baru ini lahir dari adanya peraturan Gubernur DKI Jakarta yang mengalihkan pengelolaan TIM ke UPT (unit pelaksana teknis) seperti gelanggang-gelanggang remaja yang ada di Jakarta. Kebijakan terkait Pusat Kesenian Jakarta TIM yang dikelola UPT in ipun sebelumnya juga diprotes sejumlah seniman. Sebenarnya, di Gedung Kesenian Jakarta pun tak ada bedanya, yakni sama-sama dikelola UPT.

Ratna kembali menegaskan, peraturan baru tersebut justru memberatkan kalangan seniman. “Biaya produksi akan menjadi lebih besar. Dan yang beratnya lagi, semua harus dibayarkan di muka. Sementara itu, Teater Koma biasanya hitung-hitunganya di belakang, semua dihitung dari hasil penjualan tiket. Belum lagi kami tidak dibolehkan ada spanduk sponsor, bahkan pamflet sekalipun,” papar Ratna.

Peraturan yang baru ini, menurut Ratna, merusak apa yang selama ini sudah dibangun Teater Koma. “Memupuk audiens itu bukan hal yang mudah. Menjadi tuan rumah di negeri sendiri sudah berat. Dengan peraturan baru ini jadi tambah berat lagi. Teater Koma kan cukup toleransi, ingin diapresiasi, dengan harga tiket yang semahal-mahalnya Rp 300 ribu, masih ada yang Rp 100 ribu untuk mahasiswa, ada waktu-waktu tersendiri yang harganya juga lain lagi,” papar Ratna.

Menyikapi kondisi demikian, Ratna akan menemui Gubernur Ahok untuk membicarakan masalah ini. “Karena memang akan banyak yang harus dipikirkan. Sebagai pengelola tempat kesenian, UPT harus juga punya tim kurasi untuk menyeleksi kesenian kesenian yang bisa tampil,” katanya lagi.

Nano Riantiarno sedang mengarahkan pemain dalam proses latihan Semar Gugat. Foto: @MIdotcom

Lakon Semar Gugat pertama kali dipentaskan di era Orde Baru, tahun 1995. Kala itu, menurut sang sutradara sekaligus penulis lakon, Nano Riantiarno, dirinya merasa betapa Soeharto yang menjadi penguasa di negeri ini selalu digambarkan sebagai Semar. “Lewat Semar Gugat, saya cuma mau memberitahu, janganlah menjadi Semar karena pada suatu saat ia bisa menjadi sesuatu.. Dan benar, tiga tahun kemudian [tahun 1998], Pak Harto turun,”  kata Nano.  Pementasan pertama Semar Gugat membuat Nano mendapat penghargaan South East Asia Writers tahun 1998 di Thailand, yang diserahkan oleh putra mahkota Thailand, Pangeran Maha Vajiralongkorn.Kali ini, Teater Koma hanya mementaskan lakon Semar Gugat selama delapan, padahal biasanya 10 sampai 14 hari.Pementasan ulang ini merupakan menjadi produksi ke-143 Teater Koma, yang di usianya yang ke-39 tahun.

Secara tekstual, lakon Semar Gugat yang akan dipentaskan Teater Koma pada kali ini tak ada yang diubah. Sebagai penulis, Nano juga menilai lakon ini masih merefleksikan kondisi yang sama di negeri ini. “Lakon ini tidak sedikit pun saya ubah. Semua masih sama. Bahkan, dulu, saya sudah gunakan istilah ‘Papa Semar minta saham’,“  ungkap Nano tentang teks lakonnya yang ia tulis 21 tahun itu.

Menurut Nano, korupsi dan monopoli masih tetap sama dengan masa Orde Baru. “Sekarang bioskop dimonopoli. Apalagi korupsi, sudah di mana-mana. Saya enggakngerti, ini kecelakaan atau bukan? Banyak kebetulan yang memang mengacu pada kondisi negara kita,” tutur Nano, yang pernah dilarang menjadi pembicara seminar di Universitas Indonesia pada masa Orde Baru.

Meski demikian, ada yang berbeda dalam pementasan Semar Gugat yang sekarang ini dengan tahun 1995. Pemeran Betari Permoni yang semula diperankan pria kini diperankan Cornelia Agatha.  Dijelaskan Nano, Teater Koma pada tahun 1995 kekurangan perempuan pemain lantaran banyak yang lebih tertarik ke sinetron.

Walaupun mengulang lakon lama, mementaskan kembali Semar Gugat bukan perkara mudah. Beruntung, sebagian besar pemain utama yang terlibat memang sudah bermain di lakon yang sama pada tahun 1995 silam. Bahkan, penata tari Sentot S juga memegang posisi sebagai penata gerak di pentas kali ini.

Pada pementasan malam pertama, Kamis (3/3/2016), penonton pertunjukan ini memadati Gedung Kesenian Jakarta. [KRN/PUR]