KETIMPANGAN penguasaan lahan sudah menjadi masalah kronis di Indonesia, tidak jarang masalah tersebut menimbulkan konflik baik strukturan maupun horisontal.
Dalam sebuah penelitian diungkapkan bahwa wilayah kelola lahan di Indonesia sangat timpang dengan alokasi terhadap korporasi jauh lebih besar dibandingkan untuk rakyat.
Berdasarkan laporan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Auriga, korporasi tercatat mengelola 92 persen lahan, sementara rakyat hanya 8 persen.
Laporan berjudul ‘Kuasa Korporasi di Bumi Pertiwi’ dikeluarkan pada September 2022. Adapun metode yang digunakan adalah identifikasi dan analisis data dari berbagai kementerian/lembaga.
Laporan ini menganalisis penguasaan lahan berbasis alokasinya oleh pemerintah, yakni pada sektor kehutanan, perkebunan sawit, dan pertambangan. Pengalokasian yang bersifat struktural, baik melalui pengaturan regulasi, penentuan kebijakan, hingga pemberian izin dan atau alokasi lahan berujung pada dominasi penguasaan oleh korporasi.
“Yang diberikan kepada korporasi seluruhnya seluas 36,8 juta hektare. Di sisi lain, yang diberikan kepada rakyat hanya 3,1 juta hektare,” menurut laporan itu.
“Dengan demikian, 92 persen alokasinya kepada korporasi, dan hanya 8 persen kepada rakyat,” ungkap kedua lembaga itu.
Adapun dari seluruh izin pemanfaatan kawasan hutan itu, 19 juta hektare diberikan kepada konsesi logging, 11,3 juta hektare kepada konsesi kebun kayu, 0,5 juta hektare untuk izin pinjam pakai kegiatan pertambangan, dan 6 juta hektare yang dilepaskan untuk perkebunan sawit.
Sementara itu, mereka menilai luasan lahan yang dikuasai rakyat perlu diperiksa lagi. Sebab, realitasnya, banyak lahan kelola rakyat diserobot juga oleh korporasi. Contohnya adalah ruang yang dibuka oleh hutan tanaman rakyat (HTR) pada praktiknya malah digunakan untuk pemenuhan kayu bagi industri pulp & paper.
Lebih lanjut, wilayah kelola rakyat (WKR) yang secara empirik dikelola oleh rakyat juga capaiannya masih rendah. Sebagai informasi, dalam sistem administrasi perizinan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), alokasi tersebut tercatat ada enam jenis.
Keenam jenis itu yakni hutan desa (HD), hutan kemasyarakatan (HKm), kemitraan kehutanan (KK), hutan tanaman rakyat (HTR), izin pemanfaatan perhutanan sosial (IPPS), dan hutan adat.
“Sejauh ini, alokasi terhadap keenamnya baru mencapai 2,7 juta hektare,” papar Auriga dan Walhi. [PAR]