LAUTAN ORANG beratribut hijau memenuhi jalanan Jakarta beberapa tahun lalu. Di tempat kumpul akhir, seberang Istana Merdeka Jakarta, satu demi satu berorasi, dengan mulut TOA mengarah ke kantor kepresidenan Republik Indonesia itu.
Ribuan pengemudi transportasi berbasis aplikasi Internet (taksi dan ojek online) itu tidak menamakan aksinya sebagai, katakanlah aksi Bela Islam atau apapun.
Aksi mereka adalah untuk membela diri mereka sendiri.
Mereka menuntut pemerintah mengeluarkan regulasi yang mengatur layanan transportasi online, termasuk juga soal kenaikan tarif. Tarif ojek online selama ini ditentukan oleh majikan mereka, Go-jek atau Grab, secara sepihak tanpa komunikasi.
Persaingan para aplikator ini makin brutal belakangan ini, apalagi setelah keduanya disuntik dana raksasa dari perusahaan swasta luar negeri seperti Google dan Temasek, atau perusahaan lokal sepert Astra. Yang paling terasa adalah jor-joran mengenakan tarif murah per kilometer. Terakhir, Grab dan Go-jek mengenakan tarif Rp1.200 per km.
Gajah dengan gajah berkelahi, pelanduk terhimpit di tengah-tengah.
Dan para pelanduk itu akhirnya mau tak mau memang harus turun ke jalan, dalam arti harfiah, tidak sedang mencari nafkah.
“Kami mohon Bapak Ir. H. Joko Widodo bersedia mewujudkan payung hukum yang di dalamnya memuat sekurang-kurangnya tiga aspek mendasar,” demikian antara lain bunyi tuntutan mereka, yang mengatasnamakan Gerakan Aksi Roda Dua Indonesia (Garda Indonesia), seperti banyak dikutip berbagai media sosial. Tiga aspek itu adalah pengakuan eksistensi legal sebagai bagian dari sistem transportasi; penetapan tarif standar sebesar Rp4.000 per km, dan; perlindungan hukum dan keadilan bagi ojek online sebagai bagian dari tenaga kerja di Indonesia.
Selama ini hingga kini, ketiadaan aturan legal membuat posisi mereka lemah di mata hukum ketika berhadapan dengan aplikator. Mereka juga tak punya daya tawar terhadap pengaturan tarif dan bonus, yang semuanya ditetapkan secara sepihak oleh perusahaan.
Presiden Joko Widodo menerima perwakilan para pelanduk itu di Istana. Ia didampingi Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dan Kepala Staf Presiden Moeldoko. Sayang Menkoinfo Rudiantara tak ada, padahal urusan dengan aplikator mestinya di bawah kendalinya.
Setelah pertemuan tersebut, Aliansi Nasional Driver Online (Aliando) menyatakan pemerintah memenuhi tiga tuntutan mereka, termasuk merevisi Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 108 Tahun 2017.
“Kami menang. Allahu Akbar,” kata Koordinator Aliando Yogyakarta, Bayu.
Jokowi menjanjikan akan ada peraturan baru yang berpihak kepada pengemudi transportasi online. Aliando akan dilibatkan dalam tim perumusan tersebut. Aturan itu dijanjikan berpihak kepada mereka.
Pengemudi taksi online juga kini tidak perlu mendaftar ke koperasi, yang selama ini dianggap hanya merugikan. Dan ini yang penting, perusahaan aplikator akan menjadi perusahaan transportasi.
“Semua tuntutan dikabulkan pemerintah,” kata Bayu.
Sehari setelah unjuk rasa itu, pada 28 Maret, pemerintah menggelar rapat dengan para petinggi Go-Jek dan Grab di kantor Kepala Staf Presiden. Kali ini Rudiantara hadir. Hasilnya: pemerintah menyarankan Go-Jek dan Grab menaikkan tarif ojek online minimal Rp 2 ribu per km, namun keputusan besaran tarif diserahkan kepada perusahaan aplikator.
Grab dan Go-Jek janji mengeluarkan keputusan pada awal April ini, dan para pelandukpun mengultimatum: Keputusan tidak memuaskan, mereka akan kembali turun ke jalan.
Eksploitasi
Gojek dan Grab menyebut pengemudi sebagai “mitra”, yang dapat menentukan berapa banyak uang yang ingin mereka hasilkan, kapanpun mereka mau. Namun kata “mitra” di situ hanya ditafsirkan, lagi-lagi, secara sepihak oleh perusahaan. Konsep mitra itu, selain sepeda motor atau mobil harus diusahakan sendiri, segala urusan harus ditanggung sendiri.
Posisi sebagai “mitra” mengharuskan pengemudi untuk menyediakan alat produksi mereka sendiri (motor atau mobil), menanggung biaya bahan bakar, parkir, perawatan, asuransi kendaraan, dan komunikasi, dari saku mereka sendiri.
Perusahaan hanya duduk manis dan mengutip persenan dari kontrak bisnis antara pengemudi dengan penumpang.
Penelitian yang dilakukan Aulia Nastiti menemukan alih-alih menjalani hubungan kemitraan, pengemudi mengalami relasi eksploitatif.
“Mereka diperlakukan seperti buruh informal dengan perlindungan kerja yang minim, atau bahkan tak ada sama sekali,” kata Aulia, seperti dikutip dari tulisannya di The Conversation Indonesia, “Cerita Pengemudi Menguak Eksploitasi di Gojek, Grab, dan Uber”.
Menurut Aulia, dengan menggunakan teknologi dan retorika, perusahaan transportasi daring mendikte pengemudi dan dalam waktu yang sama menciptakan ilusi hubungan yang setara. Sistem tersebut menciptakan ketimpangan akses dan kuasa yang membuat perusahaan mampu memaksa pengemudi terus memeras keringat. Di saat yang sama, perusahaan mengeliminasi hak-hak pengemudi sebagai pekerja dan membebankan biaya dan risiko kepada mereka.
Marhaen
Kaum Marhaen seringkali dikutip dalam kosa kata yang terkait dengan Presiden RI pertama, Ir Soekarno. Siapakah sejatinya kaum Marhaen tersebut? Dalam berbagai tulisannya di masa pergerakan kebangsaan, Bung Karno kerap menunjukkan tentang “sekelompok masyarakat” Indonesia yang paling menderita secara ekonomi dan politik, tidak saja di era feodalisme, tetapi juga di era kolonialisme modern, yang ia sebut sebagai Marhaen. Marhaen, di mata sang penemunya itu, merupakan personifikasi dari tipologi masyarakat Indonesia kebanyakan.
Marhaen adalah jenis masyarakat yang tersingkir namun sekaligus bagian dari cara produksi kolonial di Indonesia. Secara umum Bung Karno mendefinisikan Marhaen sebagai kaum melarat Indonesia. Dalam berbagai tulisannya, ia juga kerap menamakan Marhaen sebagai proletar Indonesia.
Cirinya antara lain: memiliki alat produksi namun dikerjakan dengan tenaga kerja sendiri. Di dalam kelas ini juga tercakup kaum pedagang kecil, petani gurem yang memiliki sepotong tanah yang diolah sendiri, serta buruh atau pekerja di sektor-sektor modern yang kala itu mulai massif diintrodusir kolonialisme.
Struktur ekonomi kolonial tidak memungkinkan kaum Marhaen untuk mengembangkan diri. Karena kepemilikan mereka atas alat produksi yang berkualifikasi rendah berakibat pada tingkat produktivitas yang rendah pula. Cara produksi kaum Marhaen, sebagaimana yang diamati Soekarno, cenderung subsisten. Jenis cara produksi ini hanya dapat digunakan sekadar mempertahankan hidup. Di sisi lain, posisi kaum ini tak lebih dari cadangan buruh murah dalam moda produksi kolonial yang saat itu semakin intens mengarah pada sektor ekstraktif di mana perkebunan dan tanaman pangan serta pertambangan menjadi soko guru ekonomi kolonial Belanda.
Kaum Marhaen, dengan demikian, tidak menerima upah langsung dari pemilik modal. Inilah gambaran mayoritas masyarakat Indonesia di era kolonial berdasarkan pengamatan Bapak Bangsa itu.
Sentralnya posisi Marhaen dalam masyarakat Indonesia—sebagai “bagian” paling menderita dari mata rantai penghisapan kolonialisme—membuat Soekarno menempatkan kaum ini sebagai barisan utama dan terdepan dalam membawa panji-panji nasionalisme Indonesia.
Para pengemudi ojek online itu, yang unjuk rasa hingga memenuhi jalanan Jakarta pekan lalu adalah juga kaum Marhaen. Mereka memiliki alat produksi sendiri, sekadar untuk mempertahankan hidup. Di seberang Istana Merdeka Jakarta itu, dengan mulut TOA mengarah ke kantor kepresidenan RI, kaum Marhaen zaman now itu berjuang untuk keadilan dan terutama kesejahteraan diri.
Mereka sementara ini menang, tapi yakinlah, pasti masalah dengan para operator seperti Go-jek dan Grab itu masih akan panjang. Ini pertempuran lama antara kaum Marhaen dengan para penghisap-penghisapnya. [DAS]
* Tulisan ini pertama dimuat 6 April 2018