Penelitian: Media Siber Mengeksploitasi Konflik

Ilustrasi/picodio.com

Koran Sulindo – Hasil penelitian yang dilakukan Universitas Tarumanegara, Jakarta, pada 2017 dan 2018 menyatakan konflik di tengah masyarakat, khususnya terkait keberagaman, mencapai 45 persen dari seluruh topik pemberitaan media massa di Indonesia, terutama media siber (online, berbasis internet).

“Dari sisi konten kelihatan, kontennya masih fokus pada konflik, kalau ada konflik misalnya isu-isu keberagaman. Lebih banyak konflik, sementara misalnya perayaan agama, terus hubungan antara agama, pemeluk agama itu agak di bawah, paling tinggi konflik. Mungkin ini terkait misalnya orang, reporter, masih senang pada bad news is good news,” kata dosen Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanegara, Jakarta, yang juga Direktur Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), Ahmad Junaidi, di Surabaya, Rabu (19/9/2018), seperti dikutip voaindonesia.com.

Tingginya pemberitaan mengenai konflik sebenarnya tidak menjadi persoalan, namun informasi lain tentang penyelesaian konflik atau kerjasama yang mempererat hubungan antar masyarakat misalnya, perlu juga lebih banyak diberi ruang.

Banyak berita tidak memenuhi kaidah jurnalistik maupun panduan media siber.

“Dari sisi verifikasi, itu hampir 48 persen itu beritanya berita tunggal, tidak ada cover both sides, itu boleh sebenarnya di panduan media siber, tapi harus ada berita lanjutannya yang meng-counter, atau sisi yang berikutnya, yang lainnya. Itu yang banyak kita tidak temukan lanjutannya, tidak ada, satu saja,” katanya.

Pemberitaan yang berimbang dan memuat suara pihak yang tidak mampu bersuara, masih jarang ditemukan dalam pemberitaan media siber di Indonesia saat ini. Dibandingkan pelaku atau pihak yang memiliki kekuasaan, para korban atau kelompok terpinggirkan kerap tidak mendapat ruang.

Sementara itu Manajer Program Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), Tantowi Anwari, menyerukan kepada wartawan dan media dimana wartawan bekerja untuk memberikan ruang lebih besar bagi korban maupun kelompok minoritas yang tidak mampu bersuara.

“Ada kepedulian, ada upaya untuk memberikan banyak ruang lagi terhadap para korban terutama di kalangan minoritas, yang base-nya adalah keyakinan atau agama, dan gender serta orientasi seksual yang berbeda,” kata Tantowi.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyatakan pembekalan dan pelatihan meliput tema atau topik khusus seperti isu keberagaman harus diberikan oleh perusahaan media kepada wartawan agar mampu menghasilkan tulisan atau karya jurnalistik berperspektif pada isu keberagaman.

“Saya lihat ini tidak ada. Perusahaan media abai mendidik atau memberikan pengetahuan, atau knowledge kepada jurnalisnya,” kata Ketua AJI Surabaya, Miftah Faridl. [DAS]