Ilustrasi: Omah Kalang di Kotagede/sketsabudaya.blogspot.co.id

Koran Sulindo – Walau pun banyak yang sudah beralih fungsi, tak lagi seperti masa lalu yang digunakan untuk kegiatan pemetasan, ruang pertemuan, dan acara seremonial – sebagai simbol status kelas masyarakat menengah ke atas, namun bangunan pendopo kuno di kawasan Kotagede, Yogyakarta, masih potensial untuk ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya.

”Bahkan bisa dipromosikan sebagai kawasan cagar budaya Internasional,” kata peneliti dan pemerhati bangunan cagar budaya dari Jepang, Prof Kunihiko Ono. Dosen Cyber University, Jepang.

Persoalan peralihan fungsi itu, menurut Ono, tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Jepang juga terjadi meski pemerintah Jepang telah menetapkan 110 ribu benda cagar budaya. “Meski benda cagar budaya itu dilindungi namun pemerintah Jepang mempermudah bagi pemilik untuk menfaatkannya dengan baik. Misalnya digunakan untuk tempat perdagangan, cafe, atau restoran atau tempat wisata,” katanya lagi.

Pendapat yang dilontarkan Ono ini bukan tak beralasan. Dari hasil penelitiannya pada 27 rumah di Desa Jagalan yang memiliki 27 Pendopo. Sebagian besar pendopo itu, katanya, tidak lagi dimanfaatkan untuk kegiatan tradisi atau upacara tradisional namun dimanfaatkan sebagai tempat tinggal sehari-hari. Penggunaan pendopo sebagai wahana  kegiatan tradisional saat ini boleh dikatakan sudah menurun sekali. “Perubahan fungsi pendopo tersebut tergantung dengan kemauan si pemilik,” tuturnya.

Ditegaskan Ono, selama bangunan pendopo masih digunakan sebagai tempat tinggal dan dimanfatkan untuk kegiatan lain, tidak menjadi masalah selama tidak merusak struktur konstruksi bangunan. “Justru bangunan kuno cepat rusak apabila tidak ada penghuni sama sekali,”  ujarnya.

Sementara itu dosen Arsitektur UGM sekaligus pemerhati bangunan cagar budaya, Yoyok Wahyu Subroto, Ph.D., juga mengatakan bangunan kuno di Kotagede memang potensial untuk dijadikan cagar budaya. Hanya saja harus dinilai dari tingkat keaslian dan identitas yang masih dimiliki bangunan tersebut. Persoalan perubahan fungsi banguan kuno untuk kepentingan pemilik, lanjutnya,  merupakan keniscyaan yang harus dihadapi. “Perubahan itu keniscayan. Masyarakat kotagede juga berubah dari sisi kebutuhan dan lingkungan sekitar bangunan yang seharusnya ikut juga melestarikan,” katanya.

Ditambahkan Ono, keseimbangan antara pengembangan benda cagar budaya dengan pelestariannya bisa berjalan dengan baik. Namun agar bangunan kuno ditetapkan sebagai cagar budaya setidaknya masih memiliki nilai-nilai tradisi yang dipertahankan dan tidak ditemukan di tempat lain.

“Di Indonesia yang saya tahu ada 26 daftar cagar budaya, termasuk di dalamnya kompleks Kraton Yogyakarta,” katanya. [YUK]