MESKI Prita telah bebas murni dari tuntutan pidana dan perdata serta telah dipulihkan pula nama baik, harkat, dan kedudukannya, kasusnya telah membuat sebagian anggota masyarakat merasa takut untuk berekspresi dan bersikap kritis, terutama terhadap pejabat negara dan urusan pelayanan publik. Dulu sempat muncul istilah “takut di-prita-kan”.
“Pidana pencemaran nama baik sudah terbukti menjadi senjata ampuh untuk membungkam kemerdekaan berekspresi, kemerdekaan berpendapat, dan kemerdekaan pers di Indonesia,” kata Koordinator Divisi Hak Asasi Manusia Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Anggara, saat kasus Prita mencuat.
Dengan menyadari risiko akan hilangnya kebebasan warga sipil karena adanya aturan hukum seperti itulah Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pernah menyerukan kepada pemerintah dari negara-negara anggotanya untuk menghapus aturan pidana pencemaran nama baik. Bahkan, Komisi Pelapor Khusus untuk Kebebasan Berekspresi PBB hampr setiap tahun mengeluarkan seruan serupa itu: hapuskan kriminalisasi kasus pencemaran nama baik. Apalagi, di Indonesia, sampai kini belum ada definisi hukum yang tepat tentang apa yang disebut sebagai pencemaran nama baik.
Di dunia ini, tidak ada negara hukum di dunia ini yang punya delik penghinaan, tambah Anggara, yang diatur di banyak tempat seperti Indonesia. Di negara-negara maju saja, meski ada juga yang mengatur soal delik penghinaan, aturan hanya ada dalam satu ketentuan, yakni di aturan semacam KUHP. “Itu pun tidak pernah digunakan. Karena, orang lebih memilih jalur perdata. Kan, buat apa mengirimkan orang ke penjara? Mending hartanya saja disita. Jadi, kerugian akibat penghinaan dimaterialkan dalam bentuk uang,” tutur Anggara.
Di Amerika Serikat pun tidak dikenal pertanggungjawaban pidana untuk tindakan pencemaran nama baik atau penghinaan. Karena, itu dianggap bertentangan dengan First Amandement dalam konstitusi Amerika Serikat, yang menjamin kebebasan berpendapat dan kebebasan pers. Di Belanda, negara tempat kelahiran KUHP dan KUH Perdata Indonesia, ketentuan tentang pencemaran nama baik dalam perangkat perundang-undangannya pun telah berubah, seperti pernah diungkapkan profesor hukum dari University of Amsterdam, Jan de Meij, dalam sebuah kesempatan. “Ketentuan pencemaran nama baik dalam KUHP Belanda telah berubah sejak tahun 1978,” kata Jan de Meij. Kalaupun ada tuntutan pidana, biasanya hukuman yang diberikan adalah denda, bukan pidana penjara.
Dalam keterangannya sebagai ahli pada sidang uji materi terhadap KUHP terkait pasal pencemaran nama baik yang diajukan dua pekerja pers pada tahun 2008 silam, ahli perbandingan hukum internasional Toby Daniel Mendel juga mengatakan, sanksi pidana untuk kasus pencemaran nama baik sudah tidak relevan lagi di dunia modern.
“Banyak negara sudah meninggalkan ketentuan itu dan menggantinya dengan sanksi perdata. Sanksi pidana dinilai tidak proporsional dan berlebihan untuk menghukum suatu tindak pencemaran nama baik,” tutur Toby Daniel Mendel
Toby Daniel Mendel berpandangan, kebebasan berpendapat adalah dasar sebuah negara demokrasi. Sebagai hak dasar, kebebasan ini bisa saja dibatasi, asalkan dilakukan secara sah. Pembatasan harus dilakukan dengan undang-undang, memiliki tujuan yang sah, atau untuk melindungi tujuan yang sah. Namun, pembatasan harus dilaksanakan secara hati-hati dan tidak boleh memiliki efek membunuh, yang membuat orang menjadi tidak berani mengemukakan pendapatnya. [PUR]