Penanganan Covid-19, Ikut Tiongkok atau India?

Foto MIT Technology Review

Koran Sulindo – Tiongkok dan India merupakan dua negara dengan penduduk terbesar di dunia. Kedua negara ini sama-sama pula terinfeksi wabah Covid-19. Akan tetapi, cara kedua negara sangat berbeda dalam mengendalikan Covid-19 dan hasilnya berbeda tentu saja. Dari kedua perbandingan ini, Indonesia bisa mempelajari hasil yang paling terbaik.

Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk Regional Asia-Tenggara, India menduduki puncak dengan jumlah terinfeksi per 2 September 2020 mencapai 3.853.406 orang dengan jumlah kematian mencapai 67.376 orang. Sementara untuk dunia, India menduduki posisi ketiga setelah Amerika Serikat (AS) dengan jumlah terinfeksi mencapai 5.968.380 orang dan Brasil dengan jumlah terinfeksi 3.908.272 orang.

Sementara Tiongkok dengan jumlah populasi mencapai sekitar 1,4 miliar jiwa, jumlah yang terinfeksi Covid-19 hanya 90.422 orang. Lantas yang apa yang membedakan antara India yang jumlah populasinya mencapai sekitar 1,3 miliar jiwa itu dengan Tiongkok dalam hal menangani wabah Covid-19?

Pada awal wabah Covid-19 berlangsung, Tiongkok dan India sama-sama menerapkan pembatasan atau lockdown sebagai cara mencegah penyebaran virus. Tiongkok yang menjadi negara asal Covid-19 kini sudah dapat mengendalikan virus. Sementara di sisi lain, India justru sebagai salah satu negara dengan lonjakan terinfeksi Covid-19 terbanyak di dunia.

Juga dalam jumlah kematian, India hanya kalah dari AS dan Brasi. Kendati orang yang terinfeksi Covid-19 terus melaju, India justru tetap membuka aktivitas ekonominya. Situasi ini pun tidak terlalu berbeda dengan yang terjadi di Indonesia.

Karena itu, koresponden npr.org di India dan Tiongkok pada September 2020 ini mencoba meneliti mengapa hasil penanganan wabah corona di kedua negara itu sangat berbeda. Di Tiongkok seperti hasil wawancara Emily Feng dari npr.or dengan salah satu dokter bernama Wang Xinghuan memaparkan cara pemerintah menangani kali pertama kasus terinfeksi corona di Wuhan.

Pemerintah pusat, kata Xinghuan, memutuskan kebijakan yang paling kontroversial terhadap Wuhan: lockdown. Setelah kebijakan itu ditetapkan dan berlaku untuk daerah Wuhan, setiap rumah tangga menaati aturan tersebut. Pemerintah memastikan menerapkan aturan itu secara ketat, bahkan akan menangkap orang yang tidak menaatinya.

Juga memastikan perlakuan yang maksimal kepada setiap orang yang membutuhkan, memberikan layanan kesehatan dan menghormati masyarakat. Karantina terpusat mengandalkan pengawasan dan pengujian secara luas. Pejabat kesehatan pemerintah juga bergerak dari pintu ke pintu untuk memeriksa kesehatan setiap keluarga di Wuhan.

Setelah memeriksa kesehatan setiap keluarga dan bila ada yang diidentifikasi memiliki gejala terkena Covid-19, pejabat kesehatan akan segera mengkarantina mereka meski tanpa persetujuan orang yang diduga terinfeksi Covid-19. Pemerintah Wuhan memuji praktik demikian karena dinilai efektif memutus rantai penyebaran wabah virus corona. Buktinya penyebaran Covid-19 memang terkendali.

Itu sebabnya, pertambahan kasus baru yang positif Covid-19 di Tiongkok hari-hari ini kecil sekali. Kasus baru itu disebut umumnya berasal dari turis asing yang datang ke Tiongkok.  Bisnis dan aktivitas ekonomi kembali berjalan normal di sana. Perjalanan atau aktivitas transportasi dalam negeri mulai normal kembali. Bahkan baru-baru ini digelar festival musik yang ditonton warga sambil menari di Wuhan.

Lalu, bagaimana dengan India? Lauren Frayer, koresponden npr.org di India menuturkan, seperti di Tiongkok, pemerintah di India juga menerapkan kebijakan lockdown sejak virus corona berlangsung di sana. Perdana Menteri India Narendra Modi pada Maret lalu mengumumkan kebijakan lockdown terbesar di dunia. Bedanya, ketika pemerintah Tiongkok menerapkan lockdown, pemerintah berupaya memenuhi kebutuhan ekonomi warganya.

Sementara di India itu tidak bisa dilakukan. Pasalnya, ratusan juta rakyat India hidup dalam kemiskinan. Dan ketika diterapkan lockdown, rakyat yang bekerja sebagai buruh dan rakyat miskin lainnya benar-benar kelaparan tanpa ada bantuan dari pemerintahnya. Soal ini dibenarkan oleh Yamini Aiyar seorang aktivis dari organisasi masyarakat sipil di New Delhi.

India Gagal
Ketika pemerintah mengumumkan kebijakan lockdown dan meminta rakyat untuk tetap tinggal di rumah dan akan menjaga mereka, rakyat tidak percaya. Rakyat tidak percaya terhadap kemampuan negara untuk memenuhi kebutuhan mereka. Dan ketika pemerintah menerapkan lockdown dan melarang rakyat keluar dari kota yang dikarantina, mereka akan melanggarnya. Soalnya, mereka merasa lebih baik pulang ke rumah ketimbang sendirian berada di sebuah kota yang dikarantina.

Menurut Frayer, itu yang dilakukan jutaan rakyat India ketika pemerintah menerapkan kebijakan lockdown. Mereka berjalan pulang, bahkan dalam beberapa kasus ada yang menempuh jarak ratusan mil. Mereka bahkan meminta kepada pemerintah agar kembali membiarkan kereta dan bus beroperasi agar mereka bisa segera tiba di rumah. Sebagian dari mereka berhasil mendirikan tempat penampungan darurat dan pusat penyaluran makanan.

Akan tetapi, semua itu terlambat. Puluhan orang meninggal karena kelaparan. Dan kepergian mereka meninggalkan kota yang dikarantina karena ketidakpercayaan mereka terhadap pemerintah menjadi salah satu faktor penyebar Covid-19 ke seluruh penjuru India.

Berbeda dengan Tiongkok. Rakyat cenderung percaya kepada pemerintahnya dan kepercayaan itu semakin meningkat ketika Beijing semakin memperbaiki layanan mereka serta menyaksikan kegagalan negara lain seperti Amerika Serikat (AS) menangani wabah corona. Pemerintah Tiongkok juga menunjukkan cara yang berbeda dibanding negara lain dalam menangani Covid-19.

Cara itu antara lain membangun rumah sakit khusus untuk pasien Covid-19 dalam waktu dua pekan. Kemudian, memerintahkan pabrik-pabrik untuk meningkatkan produksi alat perlindungan diri (APD) dan negara memastikan akan membiayai semua perobatan rakyat yang positif terinfeksi Covid-19.

Sebenarnya kemampuan atau infrastruktur kesehatan India juga tak boleh dianggap sepele dalam menangani Covid-19. Mereka mampu dan berkapasitas. Namun, aparat negara terutama petugas medisnya dinilai lebih lambat pergerakannya dibandingkan dengan petugas medis di Tiongkok. Aiyar mengakui hal tersebut dan mengatakan, kinerja petugas medis India menyangkut layanan kesehatan sangat lemah.

“Kami berinvestasi (di kesehatan) sangat sedikit. Pengeluaran publik kita secara keseluruhan sebagai persentase dari PDB kurang dari 2 persen, jauh lebih rendah dari Tiongkok, Brasil dan negara lainnya,” kata Aiyar seperti dikutip npr.org pada 2 September 2020.

Dari perbandingan itu, Frayer menilai respons pemerintah Tiongkok dalam menangani Covid-19 patut untuk ditiru dan dipelajari. Kegagalan pemerintah India dalam menangani Covid-19 tentu saja tidak bisa dilepaskan dari kekacauan demokrasi di negara tersebut. Buktinya rakyat tidak percaya kepada pemerintah India dan pemerintah kurang mampu memobilisasi aparat kesehatan untuk bergerak cepat menangani Covid-19.

Juga yang tidak kalah penting kemiskinan yang meluas menjadi faktor besar atas buruknya layanan negara India menangani Covid-19. Sementara pemerintah Tiongkok yang otoriter percaya diri bahwa sistem terpusat menjadi faktor penting dalam menangani Covid-19. Walau di sisi lain, itu menjadi pertanda buruk bagi demokrasi. [Kristian Ginting]