Koran Sulindo – Tahun depan, asumsi pertumbuhan ekonomi Indonesia berada pada kisaran 5,3%-5,9% sesuai dengan proyeksi penguatan perekonomian di negara maju dan negara berkembang. “Asumsi ini telah mempertimbangkan sejumlah tantangan, seperti melemahnya kapasitas produksi dan daya saing akibat terbatasnya infrastruktur, sumber daya manusia dan inovasi teknologi, serta isu kesenjangan ekonomi dan kedaulatan pangan,” kata Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro saat menyampaikan “Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal 2017” di Sidang Paripurna DPR, Jakarta, Jumat (20/5).

Peran sektor keuangan dalam negeri diakui masih dangkal dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dan masih tingginya biaya dana (cost of fund). Sementara itu, asumsi laju inflasi ditetapkan sebesar 3,0%-5,0%, yang didukung upaya stabilisasi harga serta koordinasi antar-sektor riil, otoritas moneter dengan pemerintah daerah.

Selain itu, asumsi nilai tukar rupiah ditetapkan sebesar Rp13.650 sampai Rp13.900 terhadap dolar Amerika Serikat, yang didukung oleh perbaikan fundamental ekonomi dan komitmen pemerintah dalam mendorong investasi, sehingga bisa mendorong kestabilan kurs rupiah.

Asumsi harga minyak (ICP) Indonesia diproyeksikan pada kisaran US$35-US$45 per barel, lifting minyak 740-760 ribu barel per hari, dan lifting gas 1,05-1,15 juta barel per hari setara minyak karena adanya penurunan produksi secara alamiah dan kendala eksplorasi akibat harga yang rendah. “Asumsi dasar ekonomi makro yang disusun pemerintah ini selanjutnya menjadi basis dalam penyusunan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal 2017 dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2017,” paparnya.

Menkeu menjelaskan, pengelolaan fiskal pada 2017 diperkirakan masih menghadapi tantangan yang berat antara lain peningkatan ruang fiskal untuk menopang belanja produktif prioritas, penyerapan belanja yang belum optimal, pemberian subsidi tepat sasaran, pengendalian belanja yang meningkat dan pengendalian keseimbangan primer. “Karena itu, pemerintah berupaya mewujudkan kebijakan fiskal yang sehat dan berkelanjutan melalui peningkatan produktivitas APBN, peningkatan efisiensi pengalokasian anggaran, memperkuat daya tahan fiskal dan pengendalian risiko baik dalam jangka pendek, menengah maupun panjang,” katanya.

Strategi menjaga kesinambungan fiskal adalah dengan mengendalikan defisit anggaran pada kisaran 1,9-2,5% terhadap PDB melalui optimalisasi penerimaan dan efisiensi belanja, menjaga rasio utang 26-28% terhadap PDB dengan mengendalikan pembiayaan dari utang dan pinjaman untuk kegiatan produktif, dan mengendalikan keseimbangan primer.

Ekonom Chatib Bastri secara terpisah mengingatkan pemerintah harus realistis dengan pertumbuhan 5% di tengah krisis global. Hal  ini terkait langkah Bank Indonesia yang menurunkan proyeksi pertumbukan ekonomi tahun ini menjadi 5,0%-5,4% dari sebelumnya 5,2%-5,6% akibat melambatnya pertumbuhan pada triwulan I-2016 yang sebesar 4,92%.  “Tapi, kalau asumsinya sampai 5,9%, pemerintah harus  bekerja lebih keras,” katanya.

Dalam hal penerimaan pajak, dia mendesak pemerintah untuk bisa menarik dana dari pajak sebagai stimulus menggerakkan ekonomi nasional. Sebab, kalau penerimaan pajaknya shortfall, mau tidak mau pengeluarannya harus dipotong supaya budget defisit-nya tidak lebih dari 3%. Artinya, stimulusnya juga terbatas. “Dengan kondisi seperti ini, perlu effort yang gigih dari pemerintah untuk merealisasi pertumbuhan ekonomi 5,3-5,9% sesuai asumsi,” kata Chatib.

Masalahnya juga, pemerintah selama ini sudah terlampau banyak bicara dan terkesan menganggap mudah persoalan. Bahkan, Presiden Joko Widodo sempat mengatakan ekonomi Indonesia akan segera meroket setelah September 2015 lalu. Jadi, masih layakkah pemerintah sekarang ini dipercaya? Kepercayaan ini sunggun perkara sangat penting. Tanpa kepercayaan banyak pihak, apa pun rencana pemerintah akhirnya akan menjadi seperti rencana orang yang senang memanjangkan angan-angan alias tukang melamun. Padahal, nasib lebih dari 200 juta orang ada di pundak pemerintah. [ARS/PUR]