Pemerintah Diminta Bentuk Badan Otoritas Reforma Agraria

Ilustrasi: Presiden Joko Widodo saat acara penyerahan sertifikat serentak di lapangan Masjid Raya Mujahidin Pontianak, Kalimantan Barat (28/12/2017)/BPMI

Koran Sulindo – Ombudsman Republik Indonesia (ORI) dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) meminta pemerintah membentuk Badan Otoritas Reforma Agraria (BORA). Badan itu bertindak sebagai lembaga yang memiliki kewenangan penuh terhadap kebijakan reforma agraria.

“Diperlukan terobosan hukum dan politik, Presiden harus membangun konsensus nasional,” kata Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Kartika, di Kantor Ombudsman, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (4/3/2019), seperti dikutip ombudsman.go.id.

KPA beraudiensi ke Kantor Ombudsman RI menyampaikan tinjauan dan evaluasi KPA atas 4 Tahun Implementasi Agenda Reforma Agraria di Indonesia.

“Lembaga ini harus kredibel dan langsung dipimpin oleh Presiden sendiri. Dengan kewenangannya, masalah-masalah lintas sektoral bisa diambil keputusannya,” kata Dewi, seperti dikutip antaranews.com.

Menurut KPA, pemerintah masih memandang reforma agraria sebatas pembagian sertifikat tanah, sedangkan redistribusi lahan masih jauh dari penyelesaian masalah.

Badan Otoritas Reforma Agraria digagas sebagai konsesus nasional yang bersifat sementara atau “ad-hoc”, melibatkan antarsektor lembaga dan kredibel untuk mengoptimalkan reforma agraria, khususnya terkait redistribusi tanah dan penyelesaian konflik pertanahan.

“Pelaksanaan reforma agraria tidak bisa hanya diserahkan lembaga kementerian terkait, dalam hal ini Kemenko Perekonomian sebagai leading sector dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang sebagai gugus tugas pelaksanaan,” kata Dewi.

Masalah agraria menyangkut banyak sektoral karena di dalamnya bersinggungan dengan kawasan hutan, tambang, perkebunan, pesisir kelautan, infrastruktur dan properti. Oleh karena itu, lembaga yang dibentuk harus memiliki jangka waktu, yakni bersifat ad-hoc.

Badan itu juga harus berkoordinasi tidak hanya dengan Kementerian ATR, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan saja, tetapi juga dengan Badan Pemeriksa Keuangan, Kementerian Keuangan, Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Kepolisian, dan DPR RI.

Buka Data Informasi Pemilik Tanah

Sementara itu, anggota Ombudsman, Ahmad Alamsyah Saragih, mengatakan berdasar hasil tinjauan KPA tersebut, ORI bisa mengevaluasi sisi-sisi administratif dan kinerja pelaksanaan Program Reforma Agraria tersebut.

Menurut Alamsyah, reforma agraria merupakan amanat konstitusi yang wajib dijalankan dan diperlukan inisiatif Presiden untuk membangun konsesus nasional yang melibatkan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

“Pemerintah memerlukan inventaris cepat peraturan yang sifatnya operasional dan kontraproduktif. Keterbukaan informasi merupakan prasyarat dasar reforma agraria, izin-izin penggunaan lahan harus bisa diakses masyarakat,” kata Alamsyah.

BORA sebagai konsesus nasional diperlukan agar agenda reforma agraria dapat terlaksana dengan baik sesuai tujuannya.

“Perlu inisiatif Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi untuk membangun konsesus nasional. Di dalamnya ada badan legislati, Mahamah Agung, termasuk OJK. Ini penting karena untuk menjaga iklim usaha,” katanya.

Selain itu, Ombudsman dan KPA juga mendesak agar pemerintah membuka informasi seluas-luasnya kepada publik dan mengevaluasi konsesi-konsesi perusahaan perkebunan negara maupun swasta, baik Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, izin lokasi, dan sebagainya. Informasi yang terbuka itu mendorong sistem pertanahan yang transparan. Keterbukaan ini juga dapat menjadi jalan bagi pencegahan dan penyelesaian konflik serta rencana mengurangi ketimpangan yang telah terjadi.

“Keterbukaan informasi adalah prasyarat dasar untuk reforma agraria yang akuntabel. Informasi seperti penguasaan lahan konsesi skala besar berupa HGU harus bisa diakses masyarakat,” kata Alamsyah.

Konflik Agraria

Dalam pertemuan itu Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengusulkan 224 lokasi yang menjadi prioritas terhadap pelaksanaan reforma agraria, termasuk penyelesaian konflik agraria yang harus dituntaskan oleh pemerintah.

“Ada 224 lokasi prioritas reforma agraria yang masih menunggu untuk segera direalsasikan, termasuk diselesaikan konflik agrarianya. Ini sudah masuk selama empat tahun ke pemerintahan, tetapi tak kunjung diselesaikan,” kata Dewi.

Ilustrasi/Istimewa

KPA, serikat petani dan organisasi masyarakat adat telah menyerahkan data-data Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) tersebut.

Lokasi prioritas tersebut terdiri atas lokasi dalam Hak Guna Usaha (HGU) milik BUMN di 131 lokasi seluas 288.431 hektare; serta 93 lokasi (93 desa) seluas 123.034 dalam HGU perusahaan swasta.

Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla menargetkan program 9 juta hektare (ha) program reforma agraria, melalui 400 ribu ha redistribusi tanah dari HGU expired dan diterlantarkan perusahaan; 4,1 juta ha redistribusi tanah dari pelepasan klaim kawasan hutan; 3,9 juta hektar legalisasi aset; dan 600.000 ha legalisasi tanah-tanah transmigrasi yang belum disertifikatkan.

Hingga kini, dari 400.000 ha target redistribusi tanah yang dicanangkan pemerintah, baru 270.237 ha yang terealisasi.

Namun dalam catatan monitoring KPA, baru 785 ha yang diredistribusikan sesuai dengan tujuan dan prinsip reforma agraria. Tanah itu terletak di Desa Mangkit di Sulawesi Utara, Desa Pamegatan dan Pasawahan di Jawa Barat dan Desa Tumbrek di Jawa Tengah. Desa-desa ini adalah wilayah konflik agraria masyarakat dengan HGU swasta, di mana penerima manfaatnya betul-betul petani dan masyarakat kecil di pedesaan, yang selama puluhan tahun mengalami ketidakadilan dan telah memperjuangkan haknya atas tanah ke berbagai kementerian.

Menurut Dewi, reforma agraria yang dilakukan pemerintah selama 4 tahun ini masih sebatas sertifikasi tanah yang tidak bermasalah (clean and clear). Sertifikasi ini memang penting sebagai kekuatan hukum, namun sertifikasi sudah menjadi hak bagi warga negara yang sudah memiliki tanah.

Reforma agraria belum memberikan keadilan bagi mayoritas penduduk, seperti petani, nelayan, masyarakat adat yang mengalami konflik agraria. Penyebab utama tingginya angka konflik agraria disebabkan pemberian izin-izin konsesi skala besar tersebut kepada perusahan-perusahaan negara maupun swasta.

Salah satu tujuan pokok reforma agraria adalah menyelesaikan konflik agraria yang bukan saja persoalan sengketa tanah biasa, melainkan situasi yang merupakan warisan masa lalu atau pun kebijakan pemerintahan saat ini.

KPA mencatat dalam satu dekade pemerintahan SBY dan 4 tahun pemerintahan Jokowi, konflik agraria di wilayah perkebunan hampir selalu menduduki tempat pertama.

Sedang pada periode 2015-2018, KPA mencatat sedikitnya telah terjadi 1.771 konflik agraria di Indonesia. Sebanyak 642 letusan konflik terjadi di sektor perkebunan yang melibatkan HGU-HGU perusahaan negara dan swasta.

Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintahan menjalankan reforma agraria dengan cara yang kurang tepat. Implikasi langsung dari pelaksanaan reforma agraria seharusnya adalah adanya penyelesaian konflik agraria secara langsung di lapangan dan menurunnya letusan konflik yang terjadi.

“Reforma agraria seharusnya diprioritaskan bagi petani, nelayan tradisional, masyarakat adat yang selama ini mengalami ketidakadilan dan konflik berkepanjangan,” kata Dewi.

Konflik Lapangan

Ombudsman juga menilai selama 4 tahun berjalan, reforma agraria di bawah Pemerintahan Jokowi-JK belum mampu menyelesaikan konflik agraria di lapangan, salah satunya izin konsesi skala besar terhadap perusahaan.

“Sertifikasi bagi kami hanya termasuk belanja layanan administrasi biasa, yang memang diperlukan masyarakat tetapi belum menyelesaikan esensi, seperti ketimpangan lahan dan keadilan agraria,” kata Alamsyah.

Ilustrasi/elsam.or.id

Presiden Jokowi telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria pada September 2018. Perpres tersebut mengatur penyelenggaraan reforma agraria dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah terhadap Tanah Objek Reforma Agraria melalui perencanaan dan pelaksanaan reforma agraria.

Namun reforma agraria belum memberikan keadilan bagi mayoritas penduduk, seperti petani, nelatan, masyarakat adat yang mengalami konflik agraria. Penyebab utama tingginya angka konflik agraria disebabkan pemberian izin-izin konsesi skala besar tersebut kepada perusahaan-perusahaan negara maupun swasta.

Konsesi tersebut berada di atas lahan-lahan garapan masyarakat, ladang, pemukiman, hingga desa-desa yang telah berstatus definitif. Izin tersebut diberikan pemerintahan masa sebelumnya maupun pemerintahan saat ini. [DAS]