Pembagian Peran MA dan KY Tak Bertentangan dengan Kekuasaan Kehakiman

Ilustrasi/pa-donggala.go.id

Koran Sulindo – Dunia peradilan dan para hakim di Indonesia sering menjadi sorotan publik. Berdasarkan data yang ada, hingga Januari 2017  KPK telah menangani 43 Aparat Penegak Hukum (APH) yang terjerat kasus korupsi. Dari angka tersebut 15 orang di antaranya merupakan hakim.

Selain banyak yang terjerat kasus, dalam rekrutmen hakim masih terjadinya praktik-praktik korupsi kolusi dan nepotisme sehingga mencoreng marwah dan integritas hakim di dalam dunia peradilan.

Tentu hal ini bertentangan dengan Pasal 14A (1) UU Peradilan Umum di mana diatur bahwa prinsip-prinsip pengangkatan hakim pengadilan negeri  dilakuka melalui proses seleksi yang transparan, akuntabel, dan partisipatif.

Hal inilah yang mendorong 15 pakar hukum dari berbagai universitas (di antaranya UGM, UnSoed, UMY, UNS, Undip, Unej dan ICW) berkumpul di Yogya, dan membahas konsep ‘Shared Responsibility Komisi Yudisial (KY)-Mahkamah Agung (MA)’, di gedung University Club UGM, Rabu (24/5).

“Pertemuan ini menjadi momen untuk melempar isu ini ke publik. Sebab isu ini bukan hanya milik hakim, MA, atau KY. Masyarakat pencari keadilan juga punya kepentingan di situ,” kata Oce Madril, peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM yang ditunjuk sebagai juru bicara pertemuan 15 pakar hukum ini.

Menurut Oce, pola pengelolaan hakim pada satu entitas (one roof system) menjadi tanggung bersama ada pada beberapa lembaga (shared responsibility system) juga diperlukan dalam rangka mengembalikan kepercayaan publik terhadap wibawa badan peradilan dan kehormatan hakim.

Ada 5 point penting yang dihasilkan dalam prertemuan 15 pakar hukum dari berbagai universitas ini. Demikian ditegaskan Oce. Pertama, konsep shared responsibility (pembagian peran MA dan KY) tidak bertentangan dengan prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka dan memiliki basis yang kuat dalam konstitusi UUD 1945. Ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menyatakan “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna ‘menegakkan hukum dan keadilan.” Konsep independensi kekuasaan kehakiman dalam perspektif prinsip-prinsip peradilan yang baik harus diletakkan sejalan dengan upaya membangun integritas dan kompetensi.

Kemerdekaan kekuasaan kehakiman, lanjut Oce, tidak tepat dijadikan sebagai alasan untuk menghindari keterlibatan lembaga lain dalam urusan manajemen administrasi dan sumber daya manusia di lembaga pengadilan. “Independensi yang tidak dapat disentuh adalah independensi hakim dalam memutus perkara (substantive independence),” tutur Oce.

Kedua, konsep pembagian peran antara MA dan KY beberapa organ negara merupakan sebagai konsekuensi status hakim sebagai Pejabat Negara. Konsep ini dimaksudkan sebagai upaya mewujudkan akuntabilitas hakim dan peradilan tanpa mengganggu independensi hakim. Selain itu, dengan konsep ini diharapkan bisa mengubah arah manajemen hakim dalam hal rekrutmen hakim, promosi-mutasi hakim, penilaian profesi-kinerja hakim, dan pengawasan hakim agar lebih professional dan berintegritas karena ada keterlibatan lembaga lain sebagai fungsi saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances).

Ketiga, peran dan wewenang Komisi Yudisial dalam manajemen jabatan hakim. Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusannya menyatakan bahwa Komisi Yudisial adalah State Auxilary Organ atau supporting element yang membantu atau mendukung pelaku kekuasaan kehakiman. Poin utama dukungan pada kekuasaan kehakiman itu adalah perihal manajemen SDM hakim. KY dapat terlibat dalam proses rekrutmen, pembinaan, pengawasan, perlindungan dan pemberhentian hakim. “Peran KY ini akan lebih memastikan manajemen jabatan hakim menjadi lebih transparan, akuntabel dan antikorupsi,” kata Oce.

Keempat, Shared Responsibility  dalam manajemen jabatan hakim tidak bertentangan dengan UUD 1945.  Hal ini karena RUU Jabatan Hakim merupakan UU delegasi  yang diperintahkan secara langsung dan tegas oleh UUD 1945 yaitu Pasal 25 yang mengatur syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang. Secara tegas Pasal 25 UUD 1945 tidak menjelaskan dan mengatur mengenai manajemen hakim apakah harus dilakukan oleh Mahkamah Agung sendiri (one roof system) ataukah dapat dilaksanakan pembagian tanggung jawab bersama dengan Komisi Yudisial. Dengan demikian Pasal 25 dapat diartikan memberikan kewenangan sepenuhnya kepada pembentuk UU Jabatan Hakim untuk mengatur model yang dirasakan paling baik dalam rangka manajemen hakim, atau dengan kata lain substansi UU Jabatan Hakim merupakan open legal policy.

Kelima, Shared Responsibility dalam manajemen jabatan hakim tidak bertentangan dengan putusan MK no. 43 tahun 2015. Menurut putusan MK, Mahkamah Agung memiliki wewenang dalam rekrutmen hakim. Putusan MK tidak berada dalam ruang bahwa MA-lah lembaga satu-satunya yang berwenang dalam proses rekrutmen hakim. MK tidak masuk pada isu itu. Dimungkinkan saja keterlibatan pihak lain dalam proses rekrutmen itu, misalnya dalam bentuk Pantia Seleksi (Pansel) yang terdiri dari berbagai pihak.

Sebagai konsekuensi “pejabat negara” maka hakim harus memiliki kualifikasi khusus dibandingkan PNS. Kualifikasi khusus yang dimaksudkan untuk menjamin kapabilitas, profesionalitas dan integritas calon hakim yang akan direkrut. Untuk memperoleh hakim yang kredibel, maka diperlukan  proses  rekrutmen  yang  akuntabel dan berintegritas layaknya pola seleksi pejabat negara pada umumnya, seperti melalui Pansel yang di dalamnya melibatkan unsur representasi beberapa lembaga, antara lain KY, Ombudsman, dan stakeholder lainnya seperti perwakilan akademisi dan publik. [YUK]