Koran Sulindo – Serangan udara ke Suriah 14 April lalu masih akan tetap menjadi peristiwa terpenting dalam kebijakan luar negeri AS dalam beberapa waktu ke depan.
Kesimpulan politik utama dari serangan itu menunjukkan bahwa negara-negara Barat dalam jangka menengah akan tetap ditentukan hubungannya dengan pemain asing lainnya. Tidak hanya dengan Rusia, namun juga China sebagai pemain politik regional yang dominan.
Serangan itu juga menunjukkan bahwa negara-negara Barat membuang jauh-jauh kesopanan dan etika diplomasi serta penggunaan alat dan mekanisme diplomatik konvensional. Mereka lebih menyukai aksi langsung sebagai alat diplomasi dengan kecenderungan pemaksaan kehendak.
Ada beberapa pelajaran yang bisa dipetik dari serangan udara AS ke Suriah itu;
Pertama, bagaimanapun situasi di Suriah justru menunjukkan ‘batas’ kemampuan militer AS termasuk kekuatan dan sarana yang tersedia. Kekuatan militer AS di Timur Tengah terbukti cukup hanya untuk menggelar satu kali serangan dengan kekuatan dan intensitas yang hanya rata-rata.
AS berusaha menghemat sumber daya untuk serangan kedua dengan berhitung serius atas segala dampaknya. Mereka tidak bisa menggelar kampanye militer dalam 7-14 hari, jangka waktu minimal yang dibutuhkan untuk melemahnya musuh-musuhnya secara signifikan. Itupun dengan asumsi bahwa musuh-musuh tidak mengembangkan secara kualitatif kekuatan bersenjata mereka.
AS butuh waktu lebih lama untuk memusatkan kekuatannya, bahkan juga menghadapi musuh-musuh yang bersifat pasif tanpa melakukan pencegahan.
Angkatan bersenjata modern AS gagal beroperasi dalam format untuk sebuah ‘konflik regional besar’ yang secara formal tetap babon bagi dasar perencanaan strategis militer AS. Militer AS secara de facto direstrukturisasi agar sanggup beroperasi sebagai alat unjuk kekuatan dan intimidasi.
Ini mengapa Donald Trump membutuhkan restrukturisasi dan pemulihan militer yang justru menjadi jauh lebih sulit daripada yang harus dilakukan sekarang.
Kedua, tak perduli dengan tekanan elit internal yang makin menguat, Donald Trump justru berhasil membangun sistem dengan memusatkan pengambilan keputusan politik penting di Gedung Putih ke tangannya.
Tak hanya membabat orang-orang yang tidak setia, Trump juga mengeluarkan mereka yang ‘meragukan’ dari proses pengambilan keputusan. Mekanisme pengambilan keputusan politik dibangun atas dominasi hubungan pribadi dan simpati institusional.
Sejauh ini satu-satunya masalah pengambilan keputusan hanya masalah kebijakan luar negeri, yang menjadi elemen paling strategis bagi kompromi Trump.
Ia menyerahkan isu-isu ekonomi domestik dengan imbalan kebebasan pada kebijakan luar negeri yang memiliki implikasi strategis signifikan pada hubungan AS dengan Rusia dan negara-negara lain di Eurasia.
Ketiga, serangan udara itu menunjukkan bahwa AS tidak dapat benar-benar sanggup merebut dukungan negara-negara Timur Tengah untuk operasinya, bahkan mereka yang anti-Assad, seperti Arab Saudi, Qatar, Yordania atau Mesir.
Satu-satunya pemain regional yang secara publik mendukung tindakan AS hanyalah Erdogan yang permusuhannya dengan Bashar al Assad menjadi sangat pribadi. Bagi Erdogan, dukungan publik itu menjadi cara terbaik setidaknya untuk mengurangi hubungan buruknya dengan AS.
Keempat, kurang jelasnya motivasi ekonomi dalam tindakan AS di Suriah baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang menunjukkan kemampuan yang terbatas untuk mengelola proses ekonomi di Suriah termasuk Laut Mediterania Timur.
Ini menunjukkan bahwa AS secara politik hanya siap memainkan skenario kekacauan terkendali di Timur Tengah untuk melawan Iran. Satu-satunya faktor yang masih membuat Washington ngeri adalah perselisihannya dengan Rusia atau Arab Saudi.
Kelima , terbentuknya ‘NATO kecil’ yakni sekelompok negara-negara yang mendukung AS dalam segala masalah. Kelompok ini terdiri dari Inggris, Prancis, Belanda, dan Kanada. Ini merupakan koalisi militer-politik informal dibanding kerangka kelembagaan. Ini dikenal sebagai ‘unilateral pragmatis’.
‘Politik Atlantikisme’ bagaimanapun masih tak tergoyahkan meski secara ekonomi tidak menguntungkan tetap harus diperhitungkan. ‘Barat kolektif’ tetap ada secara politis setidaknya pada tingkat konstruksi ideologis dan deklarasi namun mengalami erosi serius pada aspek operasional. Kecenderungan ini jelas menguntungkan Rusia.
Keenam, situasi di Suriah dengan jelas menunjukkan motif propaganda yang dominan dalam kebijakan luar negeri Washington.
AS berhasil memanfaatkan keuntungan maksimum dalam aspek propaganda dimungkinkan karena ketiadaan serangan balik yang signifikan pada platform informasi global yang didukung dengan media main stream.(TGU)