Pelajaran dari Perang Melawan ISIS

Koran Sulindo – Ketika Jama’at al Tawhid wal-Jihad mengumumkan kemunculannya kali pertama di Yordania tahun 1999, tujuannya cuma satu. Menggulingkan Monarki Yordania yang dianggapnya tidak Islami dan murtad.

Digagas oleh Abu Musab al-Zarqawi, setelah menumbangkan Yordania sasaran berikutnya adalah Levant. Sebuah wilayah yang membentang dari Lebanon, Suriah, Israel, dan Palestina hingga Irak.

Setelah invasi AS ke Afghanistan tahun 2001, Zarqawi pindah ke Irak tempat ia menjalani perawatan medis di Baghdad akibat kakinya yang terluka.

Ia berbaiat kepada Al-Qaeda 17 Oktober 2004 dan mengasumsikan kelompoknya sebagai kantor ‘cabang’ di Irak.

Dua tahun setelah baiat itu, Zarqawi tewas oleh serangan udara AS dan Jama’at al-Tawhid wal-Jihad memproklamirkan Negara Islam Irak, yang menjadi cikal bakal Negara Islam Irak dan Suriah. Mereka mendeklarasikan dirinya sebagai Khilafah Islam pada tanggal 29 Juni 2014.

Dengan membangun struktur kenegaraan termasuk  militer, keuangan, perpajakan, perawatan kesehatan dan pendidikan, ISIS secara formal sebenarnya sudah memenuhi syarat disebut sebagai negara.

Dengan segala kemampuannya, ISIS segera dianggap sebagai anomali karena menyimpang dari skema geopolitik yang dikenal. Meski gagasan membangun masyarakat atas dasar  peradaban Islam bisa dikritik, fenomena itu tak bisa serta merta diabaikan.

Di sisi lain, kemunculan ISIS diperumit aktor-aktor eksternal yang memanfaatkan kelompok itu sesuai tujuannya masing-masing. ‘Pengguna’itu termasuk AS, Rusia, Eropa, Turki, Iran dan beberapa negara Arab tertentu.

Bagi Rusia, keberadaan ISIS adalah alasan kehadiran di Suriah dan Timur Tengah. Turki menganggap ISIS sebagai penghalang utama perluasan gerakan Kurdi dan sebagai instrumen penegak Bashar al-Assad. Sama seperti Rusia, Iran menggunakan ISIS sebagai perang melawan terorisme untuk masuk Suriah.

ISIS adalah konsekuensi logis dari susutnya perkembangan dunia Muslim yang mengambil bentuk paling pragmatis dari politik Islam.

Dalam ideologi dan praktiknya, politik model ini merupakan reaksi atas kegagalan ekonomi dan politik dunia Muslim sepanjang masifnya pembangunan nasional tahun 1950-1970. Sisi pragmatis ini menawarkan penyelesaian semua masalah dengan mengacu pendekatan Islam.

Ketika ISIS di Suriah mengalami kekalahan strategis pada rentang 2016-2017, wilayah-wilayah yang dikontrolnya segera menyusut. Mereka harus melawan dua koalisi yang dipimpin AS dan Rusia dan masing-masing sekutunya.

Kekalahan IS tak diragukan lagi tapi apa selanjutnya? Pertanyaan itulah yang membutuhkan jawaban obyektif. Setidaknya ada empat pendekatan untuk menjawab pertanyaan itu.

Pertama, ISIS tak akan mengakui kekalahan, dan perang akan berlanjut dalam bentuk baru. Perjuangan mendirikan negara Islam seperti ISIS bisa dimulai dari pojok dunia Muslim manapun yang dipenuhi ketidakpuasnya orang-orang Muslim.

Kedua, pengikut IS yang tinggal di Suriah dan Irak meski bakal absen sementara waktu, mereka tetap masih memiliki kapasitas melanjutkan aktivitasnya. Mereka akan bertindak sama kasarnya, atau bahkan lebih keras lagi seperti yang mereka lakukan sebelumnya. Semacam balas dendam atas kegagalan sebelumnya. Balas dendam itu bakal mencakup seluruh dunia dan secara khusus mengincar Eropa.

Ketiga, tanpa pengetahuan seberapa banyak anggota ISIS yang telah kembali ke negara asalnya jelas bakal menjadi bom waktu. Meski sejauh ini belum menunjukkan hasil karyanya, namun sampai berapa lama mereka diam.

Paling umum mereka akan terlibat propaganda, merekrut pengikut baru atau dan melakukan pertarungan sebagai bagian dari oposisi agama dan politik. Namun, mengingat pengalaman tempur dan fanatisme mereka, dalam keadaan normal mereka jelas mempunyai kemampuan untuk mengganggu kestabilan.

Kegagalan mempertahankan keberadaan khilafah, membuat anggota kelompok itu bakal memilih metode yang sebelumnya dikerjakan al-Qaeda. Lone Wolf akan menjadi pilihan menarik dan taktik terorisme individu akan menjadi strategi yang paling mungkin digunakan.

Keempat, gagasan membangun Khilafah Islam tak akan sepenuhnya lenyap. Ide itu masih mengambang di udara, dan mempraktikkannya hanya masalah waktu dan tempat. Beberapa kandidat potensial itu termasuk Libya, Nigeria, Somalia dan beberapa negara Afrika lainnya. [TGU]