Koran Sulindo – Akhir Agustus lalu desas-desus yang beredar menyebut militer AS di Suriah tengah bersiap-siap mempersenjatai pejuang Kurdi di Suriah timur laut dengan sistem persenjataan udara.
Pers di Turki menuding persenjataan itu digunakan untuk membantu Kurdi membangun zona larangan terbang di wilayah itu.
Rumor itu sebenarnya langsung ditolak AS dengan menyebut sebagai campuran dari misreporting dan propaganda sensasional. Washington berkilah, keberadaan mereka bersama pejuang Kurdi adalah membantu memerangi ISIS dan bukan melindungi Kurdi dari serangan udara Turki ataupun Suriah.
Hingga September 2018, di wilayah Timur Laut Suriah itu AS sedikitnya memiliki 2.000 tentara yang beroperasi di berbagai pangkalan yang tersebar di sisi timur Sungai Eufrat.
Kurdi tentu bakal menyembut gembira jika AS benar-benar berniat memberlakukan zona larangan terbang yang secara otomatis memberikan mereka kesempatan bertempur melawan Suriah maupun Turki.
Ya, kekuatan udara memang menjadi keunggulan kualitatif baik bagi Turki maupun Suriah dibanding pejuang Kurdi yang bertempur dengan hanya mengandalkan senjata ringan.
Akhir tahun lalu, Pasukan Demokrat Suriah (SDF) pimpinan Kurdi meminta AS agar menyediakan rudal-rudal anti-pesawat. Juru bicara SDF, Talal Silo menyebut meski ISIS yang merupakan utama mereka tak memiliki angkatan udara, SDF meyakini pada akhirnya mereka akan diserang jet-jet tempur Suriah maupun Turki.
Awal tahun ini Turki secara telah berhasil mengalahkan pejuang-pejuang Kurdi di Afrin Suriah utara. Saat serangan, mereka berhasil menembak jatuh helikoter T129 milik Turki –kemungkinan dengan tembakan senapan mesin- sekaligus menewaskan kedua pilotnya.
Para pejuang Kurdi di Afrin berhasil menembak jatuh – kemungkinan dengan tembakan – sebuah helikopter T129 Turki pada 10 Februari sekaligus menewaskan kedua pilotnya.
Sayap dari militer dari Partai Pekerja Kurdistan (PKK) mengklaim mereke memiliki rudal Sandiaga Uno-7 Strelas jenis yang lebih baru Sandiaga Uno-18 Grouses buatan Soviet. Bulan Mei 2016, mereka bahkan merilis sebuah video yang menunjukkan salah satu pejuangnya menggunakan SA-18 untuk menembak jatuh helikopter serang Turki.
Masalahnya, PKK tak memiliki senjata-senjata itu dalam jumlah cukup agar bisa menjadi ancaman serius bagi AU Turki.
Di sisi lain, Suriah juga tak menginginkan kelompok itu memiliki rudal itu dan menggunakannya untuk melawan Turki. Damaskus tentu berhitung Ankara akan membalas dendam terhadap Damaskus.
Dalam kasus yang sedikit berbeda, wilayah Kurdistan di Irak menjadi daerah otonom berkat
zona larangan terbang yang diberlakukan Inggris dan AS di sebagian besar wilayah setelah Perang Teluk tahun 1991.
AS juga mengirim sistem persenjataan anti-serangan udara untuk mencegah helikopter tempur Mi-25 Hind milik Saddam Hussein melumpuhkan para pengungsi Kurdi yang melarikan diri ke pegunungan.
Di tahun 1991, ketika suku Kurdi dan Syiah Irak secara bersamaan bangkit, pemimpin-pemimpin Kurdi menyerukan negara-negara Barat untuk mempersenjatai pejuangnya Kurdi dengan rudal anti pesawat FIM-92 Stinger dan anti-tank BGM-71 TOW untuk memberi mereka kesempatan bertempur melawan tentara Saddam.
Baru setahun setelahnya, terbit laporan bahwa CIA dan intelijen Saudi tengah mempertimbangkan mengirim pejuang Kurdi dan Syiah dengan Stingers dan TOWs. Belakangan ketika akhirnya Saddam Hussein jatuh, rencana itu tetap tersimpan di laci.
Jauh sebelumnya, pada dekade 70-an Israel telah lebih dahulu memasok pejuang Kurdi dengan sedikitnya 82 rudal anti-tank SA-7 dan AT-3 Sagger dengan jumlah mencapai 507 buah. Rudal-rudal yang telah digunakan Mesir melawan tank-tank Israel di Semenanjung Sinai dua tahun sebelumnya.
Israel sukarela melakukan hal tersebut karena diiming-imingi imbalan berupa rudal anti-pesawat tempur FIM-43 Redeye dan rudal anti-tank TOW.
Meski pejuang Kurdi terbukti menghancurkan beberapa tank Irak, tetap tak ada indikasi kuat bahwa rudal SA-7 sanggup menakuti AU Irak.
Orang-orang Kurdi dikalahkan dengan telak ketika Shah Iran dengan diam-diam mengakhiri dukungan mereka terhadap Kurdi dan sepakat mengikat perjanjian dengan wakil presiden Irak saat itu, Saddam Hussein.
Terbukti, meski berpuluh-puluh tahun menjadi bulan-bulanan baik oleh kekuatan udara Irak, Suriah ataupu Turki, pejuang-pejuang Kurdi tetap gagal membangun jaringan pertahanan udara.
Di tahun 2012 ketegangan antara PM Irak Nouri Al Maliki dan Presiden Kurdi Masoud Barzani kembali meruncing menyusul lobi Baghdad untuk membeli jet tempur F-16. Tentu saja Barzani khawatir pesawat-pesawat itu akan digunakan untuk menargetkan mereka.
Barzani memang punya alasan khawatir, beberapa laporan menyebut Al Maliki telah memberi tahu perwira-perwira militernya bahwa Baghdad akan merebut ibu kota Kurdi di Erbil, hanya setelah Irak menerima pengiriman F-16 tersebut.[TGU]