(foto: maxresdefault)

Suluh Indonesia – Ketika kejawen bukan saja telah memberi warna pada proses Kekristenan di Jawa, tapi juga telah memberikan makna kontekstual terhadap dogma-dogma Kristen yang sesuai dengan zamannya saat itu.

Paulus Tosari adalah tokoh keagamaan Kristen Jawa yang mengabarkan Injil melalui tembang dan wayang.

Sederet nama telah dilahirkan sebagai para penginjil besar pribumi di abad ke-19.  Diantaranya adalah Paulus Tosari, Kiai Tunggul Wulung, dan Kiai Sadrach.

===

Kasan Jariyo

Seorang Kasan lahir di Desa Kedungturi, Surabaya, tahun 1813. Orangtuanya asal Madura dan pemeluk Islam. Tatkala dikhitan oleh kiai sekaligus gurunya, dia diberi nama Jariyo. Selanjutnya dia dikenal sebagai Kasan Jariyo.

Kasan kecil suka menggembala ternak, menonton wayang, dan berjudi bahkan menjadi penjudi ulung. Dia abaikan pendidikan pesantren, meski pandai, dan malah tertarik ikut kesenian tledekan.

Pernikahannya hanya bertahan dua bulan. Sempat sukses sebagai pedagang kapas, tapi bangkrut karena kegemarannya berjudi. Kasan jatuh miskin dan merasa Tuhan tak akan mengampuni dosa-dosanya.

Begitu ia mendengar ajaran seorang peranakan Belanda bernama Coenrad Laurens Coolen soal pengampunan dosa, Jariyo pun pergi ke Ngoro pada 1840 dan berguru pada Coolen.

Namanya kemudian berubah menjadi Tosari; berasal dari kata tusara yang artinya embun. Dia merasa bagaikan menerima embun di padang gurun yang kering kerontang.

Karena Coolen tidak melakukan pembaptisan terhadap jemaatnya, sejumlah orang Ngoro pun pergi ke Surabaya. Terlebih setelah mereka tahu dari orang-orang Kristen Wiung, sebuah desa tak jauh dari Surabaya (sekarang sebuah kecamatan di Kota Surabaya), yang sudah dibaptis.

Tahun-tahun berikutnya berbondong-bondong orang datang untuk dibaptis di Surabaya, termasuk Tosari. Tosari dibaptis oleh Johannes Emde pada 12 September 1844 dengan nama baptis: Paulus.

===

Coenrad Laurens Coolen

Coenrad Laurens Coolen membuka hutan Ngoro, yang berjarak sekira 60 kilometer dari Kota Surabaya setelah mendapat surat izin dari pemerintah Hindia Belanda pada 3 Juli 1827.

Banyak orang Jawa datang dan mendapatkan tanah di sana. Ngoro menjadi desa makmur, yang pada saat-saat kelaparan melanda Jawa Timur bisa menyediakan beras bagi ribuan orang.

Di Ngoro tidak ada paksaan dalam beragama. Coolen tidak melarang orang membangun masjid. Tapi, dalam memimpin desanya, dia tetap bertindak sebagai seorang Kristen. Dia mengampuni para pendatang yang melakukan kejahatan di Ngoro, bahkan berusaha menunjukkan jalan kebaikan dengan “ilmu Kristen” tentang pelepasan manusia dari dosa oleh Juru Selamat.

Setiap hari Minggu, Coolen mengadakan kebaktian di pendopo rumahnya. Mereka lalu menghabiskan waktu dengan bermain gamelan, wayang, dan zikir.

Menariknya, sejak awal Coolen telah menyadari hambatan psikologis bagi orang Jawa jika hendak melakukan konversi keagamaan menjadi Kristen. Menurutnya, sebagai orang Kristen Jawa, orang Jawa haruslah tetap sebagai orang Jawa.

Budaya Jawa bukanlah hal asing bagi Coolen. Ia lahir di Ungaran, Jawa Tengah, pada 1775. Ayahnya seorang Belanda dan ibunya seorang Jawa, keturunan keraton.  Dari ibunya, ia mewarisi tradisi budaya Jawa sehingga dia menguasai wayang, musik, dan tari-tarian Jawa.

Karena dibesarkan seorang ibu ningrat Jawa, maka pengetahuannya tentang Kejawen sangatlah mendalam. Demikian pula pengetahuan Kekristenan yang didapat dari ayahnya. Latar belakang kedua orang tuanya yang berbeda budaya ini membuat Coolen menggabungkan Kejawen dengan Kekristenan.

Berkat pengajarannya, terbentuklah suatu jemaat Kristen yang Jawa. Semua berlangsung tanpa ada hubungan dengan pendeta serta jemaat Kristen di Surabaya. Dia tak melayani sakramen pembaptisan dan perjamuan, yang dianggap kultur Barat. Menurutnya, pembaptisan tak perlu dilakukan pada orang-orang Jawa karena nantinya mereka akan menganggap dirinya sejajar dengan orang-orang Belanda. Pengakuan iman saja sudah cukup untuk menjadi seorang Kristen.

Salah seorang yang tertarik dengan ajaran Coolen adalah Kasan Jariyo alias Paulus Tosari.

Baca juga T.S.G. Mulia: Tokoh Nasionalis Kristen yang Terlupakan