Para Sahabat Bung Karno dari Benua Hitam

Ilustrasi: Bung Karno dan Gamal Abdul Naser

Koran Sulindo – Suatu kali, di tahun 1964, Sabam Sirait—yang kala itu masih menjadi aktivis mahasiswa—berkunjung ke Aljazair. Ketika itu, Sabam Sirait—politisi senior PDI Perjuangan– memimpin delegasi mahasiswa Indonesia ke Konferensi Mahasiswa se-Dunia di Aljazair. “Saya sampai dua kali berkunjung ke negeri Afrika Utara  yang saat itu belum lama merdeka dari penjajahan Perancis, di tahun 1962 dan di tahun 1964. Nah, dalam kunjungan kedua, saya bahkan sempat berdiskusi empat mata dengan Presiden Ahmad Ben Bella,” kenang Sabam Sirait.

Ben Bella adalah tokoh utama perjuangan kemerdekaan Aljazair. Di awal tahun 1960-an itu, Ben Bella baru saja terpilih sebagai presiden pertama Republik Aljazair, yang merdeka beberapa tahun sebelumnya. Ben Bella dikenal luas sebagai “Bapak Bangsa Aljazair”, karena jasanya yang besar dalam memperjuangkan kemerdekaan Aljazair.

Sabam Sirait memang mengagumi Ben Bella. Dalam pertemuan dengan Ben Bella itu, ia menyampaikan prinsip-prinsip Pancasila, ideologi negara yang diterapkan dan dijalankan di Indonesia. Juga gagasan-gagasan Bung Karno tentang kedaulatan dan kemandirian bangsa. Tanpa diduga, Ben Bella malah mengakui sebagai Bung Karno. “Ben Bella mengaku terinspirasi dari gagasan dan sepak-terjang Bung Karno. Maka, pertemuan empat mata itupun berlangsung hangat,” kata Sabam Sirait, dalam sebuah percakapan dengan penulis.

Ben Bella pantas mengagumi Bung Karno. Malah, ia dan rakyat Aljazair sejatinya berutang budi kepada Bung Karno. Tidak hanya menginspirasi Ben Bella dan tokoh pergerakan Aljazair, Bung Karno bahkan memberikan bantuan materil berupa pengiriman senjata dan perwira TNI untuk melatih para pejuang kemerdekaan Aljazair untuk berperang gerilya menghadapi pasukan Perancis, yang telah menjajah negeri itu selama puluhan tahun.

Tak hanya itu, Bung Karno juga membentuk Panitia Pembantu Perjuangan Kemerdekaan Aljazair, di tahun 1956. Panitia ini beranggotakan Mohammad Natsir, Hamid Algadri, Kasimo, Sunario, dan beberapa tokoh lain. Tugas panitia yang menempati kantor di Jalan Cik di Tiro 56, Jakarta, terutama adalah membantu perjuangan kemerdekaan Aljazair. Kantor itu sekaligus menjadi markas para pejuang diplomasi negara-negara Afrika Utara (Aljazair, Tunisia, dan Maroko). Lakhdar Brahimi (yang kelak menjadi Menlu Aljzair dan Sekjen Liga Arab) dan beberapa sejawatnya sering mondar-mandir dan bermarkas di kantor tersebut.

Seperti digambarkan dalam buku Dunia dalam Genggaman Bung Karno, karangan Sigit Aris Prasetyo (2017), Presiden Soekarno seakan menganggap para pejuang Aljazair dan negara-negara Afrika Utara di Jakarta itu sebagai perwakilan resmi negara merdeka. Meskipun tidak memiliki status diplomatik, Bung Karno selalu mengundang mereka menghadiri acara-acara resmi kenegaraan.

Ketika Aljazair secara resmi meraih kemerdekaan, 3 Juli 1962, dan memilih Ahmad Ben Bella sebagai presiden pertama negeri itu, Bung Karno menyambut dengan suka-cita. Bung Karno pula yang mendukung Aljazair sebagai tuan rumah KTT Non-Blok kedua, yang direncanakan Juni 1965. Tapi, rencana itu gagal karena Presiden Ben Bella keburu di kudeta kelompok militer yang dipimpin Kolonel Houri Boumedinne.

Kwame Nkrumah dan Seoke Toure

Pemimpin Afrika lainnya yang juga mengagumi Bung Karno, dan kemudian bersahabat baik dengannya, adalah Gamal Abdul Nasser (Mesir), Habib Bourguiba (Tunisia),  Haile Selassie (Ethiopia), Ahmed Seoke Toure (Guinea), dan Kwame Nkrumah (Ghana).

Mengapa para pemimpin Benua Hitam itu bisa bersahabat dengan Bung Karno? Jawabnya: karena mereka semua, seperti halnya Bung Karno, adalah para pemimpin yang anti penjajahan, anti kolonialisme, serta anti-imperialisme. Dan banyak dari mereka terinspirasi dari semangat Bandung, yang dihasilkan Konferensi Asia-Afrika (KAA) tahun 1955.

Kwame Nkrumah, misalnya, sangat mengagumi Bung Karno, terutama pemikiran-pemikirannya yang anti kolonialisme dan imperialisme. Semangat Bandung sangat menginspirasi alur kebijakan luar negeri yang dianut Nkrumah, yang membawa Ghana sebagai negeri merdeka dari cengkeraman penjajahan Inggris, Maret 1957. Setahun setelah merdeka, September 1958, Dewan Nasional Ghana menyetujui kebijakan positive neutralism: bahwa Ghana tidak akan pernah condong ke Blok Barat ataupun Blok Timur, namun lebih pada kepentingan nasional Ghana, pro-Afrika dan pro-perdamaian.

Nkrumah juga merupakan pendukung utama gagasan-gagasan Bung Karno. Ia sangat setuju dengan penguatan solidaritas dunia ketiga yang tidak hanya bagi negara-negara Asia-Afrika, namun bagi semua negara. Karena itu, Nkrumah menyambut baik gagasan Bung Karno tentang penyelenggaraan Confence on New Emerging Force (Conefo). Ia juga mendukung dengan antusias gagasan Bung Karno tentang berdikari: bahwa negara-negara dunia ketiga seharusnya mandiri tanpa menggantungkan nasib kepada negara-negara super-power.

Dalam salah satu pidatonya, Nkrumah—yang dikenal sebagai orator ulung—pernah berkata: “Perang Nuklir tak akan pernah terjadi antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Bahkan sebaliknya, di antara mereka telah terjadi koeksistensi damai. Dan tidak mustahil bahwa kedua raksasa ini akan bersekongkol untuk menghadapi kita (dunia ketiga)”. Ucapan Nkrumah tersebut sebagian terbukti kemudian.

Sekou Toure, pemimpin kemerdekaan Guinea, juga termasuk tokoh yang mengagumi dan menghormati Bung Karno. Bagi Toure, Bung Karno adalah pahlawan bagi Afrika. Bangsa Guinea khususnya sangat terinsiprasi oleh gema semangat KAA, yang menginspirasi kemerdekaan Guinea.

Bisa jadi, karena itu setelah Guinea secara resmi menyatakan merdeka pada 2 Oktober 1958, Toure—yang telah dipilih rakyatnya orang nomor satu Republik Guinea—langsung melayangkan surat undangan kepada Presiden RI Soekarno, untuk melawat ke negerinya. Undangan itu disambut antusias Bung Karno, yang akhirnya melawat ke Guinea di tahun 1960.

Selama kunjungan tiga hari, 26-28 April 1960,  Soekarno dan Toure mengeluarkan pernyataan bersama yang menegaskan bahwa praktik-praktik kolonialisme harus dihancurkan. Sebagai komitmen melawan kolonialisme, kedua pemimpin sepakat untuk saling membantu sekaligus mendukung perjuangan negara-negara di Asia dan Afrika yang belum merdeka. Beberapa bulan kemudian, September 1960, giliran Toure yang melakukan kunjungan balasan ke Indonesia.

Habib Bourgiba dan Haile Selassie

Bagi Habib Bourgiba dan bangsa Tunisia, jasa Bung Karno juga tak akan terlupakan. Bung Karno adalah salah  seorang  yang membantu perjuangan para pemimpin Tunisia untuk memerdekakan negeri mereka. Ketika KAA digelar, April 1955, Presiden Soekarno mengundang delegasi Tunisia, padahal saat itu negeri di Afrika Utara tersebut belum merdeka. Perancis, yang masih menjajah Tunisia, marah besar atas tindakan Bung Karno tersebut. Tapi, Bung Karno tak gentar. Sebab, bagi Bung Karno, mendukung kemerdekaan Tunisia merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan bangsa Indonesia dan bangsa-bangsa lain yang menentang kolonialisme dan imperialisme.

Beberapa tahun sebelumnya, 1951, Bourgiba—yang sudah dikenal sebagai salah seorang pejuang utama kemerdekaan Tunisia—sudah melakukan kunjungan ke Indonesia. Ia yang saat itu masih menjadi ketua Partai Neo Destour, yang berjuang melawan penjajahan Perancis, menemui Presiden Soekarno untuk meminta dukungan atas perjuangannya. Permintaan itu langsung diterima Bung Karno dengan membentuk kantor perwakilan Tunisia di Jakarta, tahun 1952. Kantor perwakilan itu ditujukan untuk melobi negara-negara Asia Afrika dan dunia internasional untuk mewujudkan kemerdekaan Tunisia.

Selain itu, Bung Karno terus-menerus memperjuangkan kepentingan Tunisia di Dewan Keamanan PBB, juga di berbagai forum-forum internasional dan multilateral. Perjuangan itu membuahkan hasil: di tahun 1956 Tunisia memperoleh kemerdekaannya. Negara baru itu diberi nama Republik Tunisia atau Al Jumhuriyyah At Tunisiyyah. Sebagai presiden pertama diangkat Habib Bourgiba.

Aura Bung Karno juga sampai ke Ethiopia, negeri yang ketika itu dipimpin Kaisar Halie Selassie. Saat Presiden Soekarno mengundang Ethiopia untuk hadir di KAA, Halie Selassie menyambutnya dengan antusias. Sang Kaisar, yang sangat dihormati rakyatnya dan masyarakat Afrika, mengutus delegasi ke acara penting tersebut. Halie Selassie sangat terkesan dengan sepak-terjang Bung Karno yang tidak pernah lelah membela negeri-negeri di Asia Afrika yang masih belum merdeka.

Soekarno bertemu muka pertama kali dengan Halie Selassie saat berlangsung KTT Non-Blok di Beograd, Yugoslavia, tahun 1961. Pertemuan yang berlangsung hangat itu, berlanjut dengan persahabatan antar kedua pemimpin kharismatik ini. Kedua negara pun membuka hubungan diplomatik yang ditandai dengan dibukanya KBRI di Ethiophia, Oktober 1964.

Dari KAA dan KTT Non-Blok itu pula, Haile Selassie memprakarsai pertemuan negara-negara Afrika. Pada tahun 1963, Ethiopia menjadi tuan rumah pertemuan yang sangat bersejarah yang berhasil menyepakati pembentukan Organization of Afrika Unity (OAU). Organisasi inilah yang menjadi cikal-bakal Uni-Afrika atau African Union (AU), yang beranggotakan 54 negara Afrika.

Ketika awal tahun 1965 Bung Karno mengirimkan misi muhibah– yang diketuai Menlu Subandrio– ke Ethiopia, delegasi Indonesia itu disambut hangat Halie Selassie. Bahkan, sang kaisar langsung antusias mendukung gagasan Conefo. Sayang, Conefo tak jadi digelar karena meletusnya Peristiwa G 30 September 1965. Ketika Haile Selassie berkunjung ke Indonesia, Mei 1968, ia juga tak bisa menemui sahabatnya, Bung Karno, yang sudah menjadi tahanan rumah rezim Orde Baru. [Satyadarma]

Sumber pustaka: Dunia dalam Genggaman Bung Karno; Sigit Aris Prasetyo; Imania, 2017.