Para Pemenang Nobel Perdamaian Memprotes Aung San Suu Kyi

Aung San Suu Kyi ketika menerima Nobel Perdamaian tahun 2012.

Koran Sulindo – Hampir selusin pemenang Nobel mengkritik pemimpin de facto Myanmar yang juga peraih Noberl Perdamaian, Aung San Suu Kyi. Mereka mengingatkan Suu Kyi terkait tindakan keras militer Myanmar terhadap minoritas muslim Rohingya, yang menurut mereka tragedi “sebesar pembersihan etnis dan kejahatan terhadap kemanusiaan”. Militer Myanmar, kata mereka, telah membunuh ratusan orang, termasuk anak-anak, memerkosa banyak perempuan, serta membakar banyak rumah dan banyak warga sipil secara sewenang-wenang .

Kritik mereka disampaikan lewat surat terbuka kepada Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Surat dikirimkan setelah pemerintah Bangladesh mengumumkan, sekitar 50 ribu muslim Rohingya masuk ke negaranya karena melarikan diri dari kekerasan yang menimpa mereka di negaranya, Myanmar.

Pemerintah Bangladesh meningkatkan patroli untuk menghentikan pengungsi yang melintasi perbatasan negara mereka selama tiga bulan terakhir. “Sekitar 50.000 warga Myanmar berlindung ke Bangladesh sejak 9 Oktober 2016,” kata pihak Kementerian Luar Negeri Bangladesh, 29 Desember 2016.

Akan halnya surat terbuka tersebut ditandatangani 23 orang aktivis, termasuk Uskup Agung Desmond Tutu, Malala Yousafzai, Jose Ramos-Horta, Tawakul Karman, Romano Prodi, dan Sir Richard Branson. “Akses untuk organisasi bantuan kemanusiaan telah hampir sepenuhnya ditolak, sehingga menciptakan krisis kemanusiaan yang mengerikan di daerah yang sudah sangat miskin,” demikian antara lain isi surat tersebut.

Juga dinyatakan dalam  surat itu, beberapa ahli internasional telah memperingatkan potensi genosida, yang melebihi tragedi di masa lalu, di Rwanda, Darfur, Bosnia, dan Kosovo. “Jika kita gagal untuk mengambil tindakan, orang mungkin mati dibunuh atau mati karena kelaparan.”

Soal pernyataan pemerintah Myanmar pada 9 Oktober 2016 lalu bahwa tindakan militer mereka merupakan respons atas beberapa serangan yang dilakukan militan Rohingya yang telah menewaskan sembilanpolisi, para aktivis mengatakan itu merupakan tindakan yang sangat tidak proporsional. “Mengumpulkan tersangka, menginterogasi mereka, dan membawa ke pengadilan adalah suatu hal. Tapi, menugaskan pasukan berhelikopter menembaki ribuan warga sipil biasa dan membiarkan militer memerkosa perempuan serta membuang bayi ke dalam api adalah hal lain,” kata para aktivis tersebut dalam surat terbuka itu.

Sementara itu, Amnesty International juga telah mengeluarkan laporkan terkait soal ini, yang dilansir Desember 2016. Menurut laporan yang berdasarkan wawancara ekstensif dengan orang-orang beretnis Rohingya serta analisis citra satelit tersebut, tindakan yang dilakukan militer Myanmar mungkin merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Seperti diketahui, etnis Rohingya di Myanmar merupakan penduduk minoritas. Meskipun telah tinggal di negara itu selama beberapa generasi, mereka diperlakukan sebagai imigran ilegal dan tidak mendapatkan kewarganegaraan. Mereka juga dianiaya oleh aparat pemerintah dan banyak umat Buddha yang berhaluan politik nasionalis.BEBERAPA waktu lalu terjadi pertumpahan darah antara kelompok militan Rohingya dan pemerintah, yang didukung banyak warga sipil. Banyak korban tewas, termasuk bayi, dan perempuan Rohingya diperkosa. Bentrokan tersebut merupakan bentrokan dengan menelan korban sangat banyak sejak 2012 lalu, yang ketika itu menewaskan ratusan orang dan lebih dari 100.000 etnis Rohingya dipaksa tinggal di kamp-kamp kumuh.

Aung San Suu Kyi sendiri, setelah dua dekade terakhir menjadi tahanan rumah dan dianugerahi Novel Perdamaian pada tahun 1991, memenangkan pemilihan umum pada November 2016 lalu. Dengan kemenangannya itu berakhirlah dekade pemerintahan junta militer.

Namun, ternyata, angkatan bersenjata Myanmar atau Tatmadaw tetap mempertahankan kekuasaannya. Di bawah rancangan konstitusi militer, Tatmadaw menguasai tiga kementerian yang paling kuat: urusan dalam negeri, pertahanan, dan perbatasan.

Dalam pemerintahan yang baru ini, Aung San Suu Kyi menjadi Menteri Luar Negeri dan penasihat negara. Karena, hukum di Myanmar melarang dia untuk menjadi presiden. Yang menjadi presiden adalah orang dekat Suu Kyi, Htin Kyaw. Namun, Suu Kyi oleh masyarakat luas dianggap sebagai pemimpin negara itu secara de facto.

Surat terbuka juga mengatakan, “permohonan telah dilakukan berulang-ulang kepada Daw Aung San Suu Kyi, sehingga kami frustrasi karena dia belum mengambil inisiatif untuk memastikan etnis Rohingya mendapat hak-hak kewarganegaraan secara penuh dan setara. Daw Suu Kyi adalah pemimpin dan adalah salah seorang tokoh utama yang bertanggung jawab untuk memimpin, memimpin dengan keberanian, kemanusiaan, dan kasih sayang.”BEBERAPA bulan lalu, banyak aktivis dan orang-orang yang peduli dengan urusan kemanusiaan dan kesetaraan di Indonesia juga membuat petisi ke Panitia Nobel. Mereka meminta hadiah Nobel Perdamaian ke Suu Kyi ditarik kembali.

Gara-garanya: pernyataan Suu Kyi yang bernada rasis usai diwawancarai presenter acara BBC Today, Mishal Husain, pada tahun 2013, sebagaimana diungkap dalam buku buku biografi berjudul The Lady and The Generals: Aung San Suu Kyi and Burma’s Strunggle for Freedom yang ditulis Peter Popham, jurnalis The Independent. “Tak ada yang memberi tahu bahwa saya akan diwawancarai oleh seorang muslim,” kata Suu Kyi. Pernyataannya tersebut  merupakan ungkapan kekesalannya karena Husain mengajukan pertanyaan mengenai penderitaan yang dialami oleh umat muslim di Myanmar. Selain itu, Suu Kyi juga diminta mengecam mereka yang antimuslim dan melakukan berbagai tindak kekerasan sehingga umat muslim suku Rohingya terpaksa meninggalkan Myanmar.

Dunia pun gempar karena tak percaya kata-kata tersebut bisa keluar dari mulut Suu Kyi, pejuang demokrasi dari Myanmar yang telah dianugerahi Nobel Perdamaian pada tahun 2012. Meski pernyataannya terbilang pendek, maknanya melukai hati banyak orang yang mencintai perdamaian.

Padahal, banyak sekali orang, termasuk di Indonesia, yang tadinya mengagumi sosok Suu Kyi, yang selama ini dikenal sebagai figur penyabar, berjuang dalam damai, dan hingga akhirnya dapat merebut kekuasaan di Myanmar. Tapi, pernyataan Suu Kyi yang mempermasalahkan seorang jurnalis Muslim itu telah membikin banyak orang kecewa dan marah.

Menurut mereka, pernyataan Suu Kyi yang bersifat rasis itu sungguh tidak pantas, karena dia dia dikenal sebagai pejuang demokrasi. Pernyataannya dapat merusak nilai-nilai demokrasi yang menghargai perbedaan keyakinan dan perbedaan.  Sebagai peraih Nobel Perdamaian, pernyataan rasis dari Suu Kyi justru membuat perdamaian menjadi semu, memunculkan sikap saling curiga, bahkan konflik.

Para penandatangan petisi itu bertanya kepada Suu Kyi, apa yang salah dari seorang muslim. Bukankah demokrasi dan hak asasi manusia mengajarkan untuk menghormati setiap perbedaan keyakinan dan menjunjung tinggi persaudaraan? “Apa pun agamanya, harusnya Suu Kyi dan kita semua harus tetap saling menghormati setiap orang dan tidak bertindak diskriminatif sebagai sesama manusia,” demikian antara lain pengantar untuk petisi online yang dimuat di www.change.org.

Pernyataan Suu Kyi itu juga membuka kembali pertanyaan dunia internasional tentang sikapnya terhadap kaum minoritas muslim di Myanmar. Apalagi, Suu Kyi tidak mengeluarkan pernyataan apa pun terkait pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dialami etnis minoritas muslim Rohingya.  Padahal, Nobel Perdamaian adalah penghargaan tertinggi yang diberikan khusus “untuk orang-orang yang memberikan upaya terbesar atau terbaik bagi persaudaraan antar-bangsa….” Karena itu, nilai-nilai perdamaian dan persaudaraan ini harus tetap dijaga para penerima Nobel Perdamaian,  termasuk Suu Kyi, hingga akhir hayatnya. [AFP/AP/RAF]