PADA hari yang sama, bankir senior yang mantan Ketua Perbanas Sigit Pramono juga dimintai keterangan sebagai ahli. Menurut dia, dalam praktik perbankan, penghapusanbukuan tidak bisa langsung dianggap sebagai bentuk kerugian. Karena, itu sama sekali tidak menghapuskan hak tagih. Kerugian baru terjadi jika hak tagihnya yang dihapus.

“Penghapusbukuan hanya menghapus kredit dari catatan akuntansi, karena itu dampaknya baru sebatas potential lost, belum realized cost atau kerugian yang direalisasi,” tutur Sigit.

Ia menegaskan hal itu menjawab pertanyaan pengacara Temenggung, Yusril Ihza Mahendara, soal apakah perbedaan antara penghapusanbukuan dengan penghapusan hak tagih. Pertanyaan ini terkait dengan dakwaan Jaksa Tipikor kepada Terdakwa bahwa Temenggung sebagai Ketua BPPN telah merugikan negara sebesar Rp 4,8 triliun, karena telah mengusulkan ke Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) untuk menghapusbukukan kredit petani tambak di bank beku operasi (BBO) Bank BDNI. Keputusan penghapusan bukuan utang petambak itu diputuskan oleh Rapat KKSK pada 13 Februari 2004.

Sigit berpandangan, konsekuensi penghapusanbukuan hanya tidak ditampilkannya kredit laporan keuangan dan sifatnya masih potential loss karena hak tagih BPPN terhadap kredit tersebut masih ada. Hak tagih inilah yang pada saat penutupan BPPN pada 2004 dialihkan ke PT (Persero) Perusahaan Pengelola Aset (PAA), yang menampung semua aset BPPN.

Dalam kesaksiannya, Sigit juga mengatakan, apa yang dilakukan Temenggung adalah langkah penyelesaian restrukturisasi perbankan, yang menjadi tanggung jawab BPPN dan belum terselesaikan oleh Ketua BPPN sebelumnya. “Seingat saya, proses restrukturisasi perbankan semasa dia berjalan sesuai prosedur dan lancar, dibandingkan periode sebelumnya. Dengan tuntasnya restrukturisasi itulah, Indonesia kini punya sektor perbankan yang kuat, sehingga seharusnya Syafruddin Arsyad Temenggung perlu diganjar penghargaan,” tutur Sigit.

Dijelaskan Sigit juga di hadapan majelis hakim, BPPN bukanlah lembaga yang mengejar untung atas dana BLBI yang sudah disalurkan sebagai bantuan dana likuidtas pada krisis dahsyat waktu itu. “Jadi, bagi BPPN, ukuran kinerja yang terpenting adalah bagaimana dia bisa sehatkan perbankan. Kedua adalah recovery rate, mereka tidak diukur untung-rugi di situ karena ini bukan lembaga yang mencari untung dan tidak bisa rugi,” katanya.

Apalagi, tambahnya, kondisi kredir macet atau NPL saat itu juga sangat berbahaya, karena sudah mencapai 30%. “NPL juga sangat tinggi secara nasional, lebih dari 30 persen. Maksimum kan 5 persen untuk bank sehat.Dengan dua indikator itu saja semua bank di Indonesia tidak ada yang sehat, itulah situasi perbankan pada saat itu,” tutur Sigit.

Karena tingginya kenaikan kurs dolar Amerika Serikat, yakni dari Rp 2.500 menjadi Rp 16.000 lebih, tidak mungkin nasabah atau siapa pun mampu membayar utang yang langsung menggelembung. “Pasti tidak bisa ditagih karena dolar naik, maka itu yakin tidak bisa ditagih,” ujarnya.

Syafruddin sendiri dalam persidangan 14 Mei 2018 telah menyatakan, kebijakannya menerbitkan SKL kepada obligor pengendali saham BDNI pada tahun 1999 hanya menjalankan keputusan KKSK. Selain itu, lanjut Syafruddin, Sjamsul Nursalim pun sudah melunasi kewajibannya terhadap BPPN sebesar Rp 4,8 triliun.

“Yang jelas, dakwaan tadi itu jelas error in persona, salah alamat, salah orang. Yang menjual bukan saya dan juga saya mengikuti seluruh aturan,” tutur Syafruddin lagi. [PUR]