SEBELUMNYA, dalam sidang 13 Agustus 2018, Guru Besar Hukum Administrasi Negara Universitas Padjadjaran Bandung, I Gde Pantja Astawa, dalam keterangannya di pengadilan mengatakan, pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) harus mengonfirmasi pihak yang diperiksa (auditee ) dalam pemeriksaan apa pun sesuai asas asersi pemeriksaan.
Dijelaskan Pantja, dalam suatu pemeriksaan itu sekurang-kurangnya harus ada tiga unsur. Pertama: Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) harus diterbitkan oleh lembaga berwewenang dalam hal ini BPK. Karena akhirnya harus diterbitkan dalam bentuk keputusan BPK.
“Kedua: dia harus memperhatikan dan menjadikan standard pemeriksaan negara sebagai pegangan atau dasar pemeriksaan dengan segala penjelasan di SPKN [Standard Pemeriksaan Keuangan Negara]. Ketiga: harus memperhatikan satu prinsip asas asersi. Asas asersi ini, yakni mewajibkan pemeriksa, dalam hal ini auditor, memeriksa entitas yang diperiksa karena yang diperiksa harus dikonfirmasi tanpa melihat apa pun jenis pemeriksaan yang dilakukan BPK,” kata Pantja.
Menurut dia lagi, pemeriksaan itu ada tiga jenis, yakni pemeriksaan keuangan, kinerja, dan Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu (PDTT). Pemeriksaan investigasi merupakan salah satu jenis dari PDTT. “Tidak melihat apa pun jenis pemeriksaannya, harus dikonfirmasi kepada entitas yang diperiksa,” tutur Pantja.
Itu dimaksudkan agar entitas yang diperiksa memiliki kesempatan mengkaji, menelaah, dan membela diri (defence). Asas ini tidak bisa ditawar lagi dalam suatu pemeriksaan jenis apa pun, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang BPK.
“Ada ketentuannya, asas ini mutlak. Asas asersi ini mutlak, sebagaimana diatur atau dinormatisasi di Pasal 6 Ayat (5) Undang-Undang tentang BPK Nomor 15 Tahun 2006. Jadi, kalau tiga hal mendasar ini sudah ditempuh, saya katakan itulah LHP yang sah secara hukum,” ujarnya.