Panglima TNI Buka Kemungkinan Pengadilan Sipil bagi Anggota TNI? Kapuspen Membantah

Presiden Jokowi memberikan selamat kepada Marsekal Hadi Tjahjanto usai dilantik menjadi Panglima TNI di Istana Negara, Jakarta, Jumat (8/12/17)/setkab.go.id

Koran Sulindo – Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto mengatakan tidak menutup kemungkinan pengenaan sistem peradilan umum (sipil) terhadap oknum militer yang melakukan pelanggaran hukum, terutama terhadap sipil. Pernyataan Panglima TNI itu dikatakannya setelah bertemu Kapolri Jenderal Tito Karnavian, di Mabes TNI, Cilangkap, Senin 11 Desember lalu.

Tidak banyak media massa online yang memberitakan pernyataan itu. Salah satu media online beralamat jelas yang memberitakan adalah tirto.id. Dalam berita itu dikatakan, “pengadilan militer akan mengadili siapapun yang bersalah.

Selama ini penyelesaian kasus militer, meski melibatkan korban sipil, tetap ditangani polisi militer. Pengadilannya pun diadakan di pengadilan militer yang tertutup.

“Kami yang jelas siapa yang salah kami akan adili, rasa keadilan harus ada. Kami sedang bicarakan masalah harmonisasi antara KUHPM [Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer] dan KUHP [Kitab Undang-undang Hukum Pidana]. Biar tidak ada pasal yang dobel. Dihukum di umum, dituntut di militer,” kata Hadi, di Mabes TNI, Cilangkap, Senin (11/12/2017), seperti dikutip tirto.id dalam berita berjudul, “Hadi Tjahjanto Buka Kemungkinan Pengadilan Sipil Bagi TNI”.

Dibantah

Berita itu dibantah TNI, Sabtu 16 Desember kemarin, walau sudah berjalan hampir seminggu.

Menurut Kapuspen TNI, Mayjen M.S. Fadhilah, pemberitaan yang dilansir oleh beberapa media itu tidak benar dan sudah diplesetkan redaksionalnya.

“Adapun penjelasan Panglima TNI yang sebenarnya adalah,’Kita yang jelas siapa yang salah kita adili, rasa keadilan harus ada. Kita sedang bicarakan masalah harmonisasi antara KUHPM dan KUHP biar tidak ada pasal yang double. Dihukum di umum dituntut di militer. Tapi pada dasarnya kita akan tegakkan (hukum)’,” kata Kapuspen TNI, seperti dikutip tni.mil.id.

Kapuspen juga mengatakan sesuai pasal 24 ayat 2 UUD 1945, peradilan militer berkedudukan setara dengan peradilan umum berada di bawah Makamah Agung RI.  Sampai saat ini TNI dinilainya telah memiliki perangkat hukum yang sudah mapan dan mampu mewadai serta menangani segala persoalan hukum secara tepat dan berkeadilan.

“Institusi TNI merupakan organisasi yang memiliki kekhususan  dalam pelaksanaan tugasnya (lec spesialis), Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang peradilan militer sampai saat ini masih berlaku dan belum ada perubahan sehingga tindak pidana yang dilakukan oknum TNI dilaksanakan di peradilan militer,” kata Fadhilah.

Soal wacana tindak pidana yang dilakukan prajurit TNI diadili di peradilan umum, Kapuspen mengatakan perlu dilakukan kajian khusus yang mendalam disertai dasar hukum yang jelas. Keberadaan peradilan umum dan peradilan militer sama-sama dijamin oleh konstitusi.

“Semoga dengan pelurusan melalui klarifikasi ini tidak terjadi bias dan menimbulkan interprestasi yang keliru di masyarakat,” kata Kapuspen TNI.

KontraS

Wacana pengadilan sipil bagi tentara yang melakukan kejahatan sipil, sebenaranya bagian dari rencana besar Reformasi TNI yang muncul setelah Reformasi 1998.

Namun setelah hampir 20 tahun berlalu, wacana reformasi TNI jalan di tempat, tertinggal jauh dari Reformasi Polri, misalnya.

Bahkan 2 tahun terakhir di bawah Jenderal Gatot Nurmantyo, Reformasi TNI itu mendapat perlawanan internal di tubuh militer, tanpa dasar penelasan yang ilmiah ataupun yudisial.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), pada 7 Desember 2017 lalu, merilis pernyataan pers berbarengan dengan penggantian Panglima TNI dari Jenderal Gatot ke Marsekal Hadi.

KontraS mendesak TNI bisa menyelesaikan masalahnya di ranah sipil.

Menurut KontraS, terdapat 9 pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Hadi, salah satu poin utama adalah memperbaiki sistem peradilan militer sebagai satu-satunya alat uji akuntabilitas, yang justru sering dijadikan dalih mangkirnya aparat TNI dalam sejumlah tindak pidana maupun pelanggaran HAM.

Selama ini, menurut KontraS, sistem peradilan militer menimbulkan ketidakadilan bagi rakyat sipil, terutama saat menjadi korban. Penyelesaian kasus di peradilan militer cenderung tertutup dan tidak ada sangsi berat terhadap oknum militer. Lebih dari itu, beberapa kasus biasanya diselesaikan secara damai. [DAS]