Panembahan Maduratna dan Runtuhnya Kekuasaan Mataram

Museum Sejarah Purbakala Pleret yang menempati lokasi Kedaton Raja Kesultanan Mataram atau Mataram Baru.

Koran Sulindo – Kerajaan atau Kesultanan Mataram pecah.  Padahal, di masa kejayaannya, di bawah kendali Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo atau lebih dikenal dengan sebutan Sultan Agung, wilayah kekuasaannya meliputi sebagian Pulau Jawa dan Madura, yang pada masa sekarang mencakup sebagian besar Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur, kecuali daerah Blambangan atau yang sekarang masuk wilayah Probolinggo hingga Banyuwangi.

Adalah Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 yang memecah Kesultanan Mataram menjadi Kasunanan Surakarta Hadiningrat (Solo) dan Kasultanan Yogyakarta. Perjanjian Giyanti adalah kesepakatan dibuat antara Perusahaan Dagang Hindia Timur (VOC, Vereenigde Oost-Indische Compagnie), pihak Kesultanan Mataram yang diwakili Sunan Pakubuwana III, dan kelompok Pangeran Mangkubumi. Perjanjian yang dikenal juga dengan sebutan The Treaty of Giyanti, The Treaty of Gianti Java, The Gianti Agreement, dan The Giyanti Treaty ini dibuat di Desa Giyanti, yang sekarang terletak di Dukuh Kerten, Desa Jantiharjo, sebelah tenggara Karanganyar, Jawa Tengah.

Ada sembilan kesepakatan yang dibuat dalam perjanjian tersebut. K.P.H. Soedarisman Poerwokoesoemo dalam buku Kasultanan Yogyakarta: Suatu Tinjauan tentang Kontrak Politik 1877-1940 (1985) telah menerjemahankan isi perjanjian itu.

Pertama: Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sultan Hamengkubuwono Senopati Ingalaga Ngabdurrachman Sajidin Panotogomo Kalifatullah dan diberi separo dari kekuasaan Kesultanan Mataram, dengan hak turun-temurun kepada ahli warisnya, yakni Pangeran Adipati Anom Bendoro Raden Mas Soendoro. Kedua: akan senantiasa diusahakan adanya kerja sama antara rakyat yang berada di bawah kekuasaan VOC dengan rakyat kesultanan. Ketiga: sebelum pepatih dalem (rijks-bestuurder) dan para bupati mulai melakukan tugas masing-masing, mereka harus melakukan sumpah setia kepada VOC di hadapan Gubernur Jenderal VOC.

Keempat: Sri Sultan tidak akan mengangkat atau memberhentikan pepatih dalem dan bupati sebelum mendapatkan persetujuan dari VOC. Kelima: Sri Sultan akan mengampuni para bupati yang selama dalam peperangan memihak VOC. Keenam: Sri Sultan tidak akan menuntut haknya atas Pulau Madura dan daerah-daerah pesisiran yang telah diserahkan oleh Sri Sunan Pakubuwono II kepada VOC dalam kontraknya pada tanggal 18 Mei 1746. Sebaliknya, VOC akan memberikan ganti rugi kepada Sri Sultan senilai 10.000 real setiap tahun.

Ketujuh: Sri Sultan berjanji akan memberikan bantuan kepada Sri Sunan Pakubuwono III apabila sewaktu-waktu diperlukan. Kedelapan: Sri Sultan berjanji akan menjual bahan-bahan makanan yang diperlukannya dengan harga tertentu kepada VOC. Kesembilan: Sri Sultan berjanji akan menaati segala macam perjanjian yang pernah diadakan antara raja-raja Mataram yang terdahulu dengan VOC, teristimewa perjanjian-perjanjian dalam tahun 1705, 1733, 1743, 1746, dan 1749.

Dengan adanya Perjanjian Giyanti, Kerajaan atau Kesultanan Mataram pun secara resmi berakhir.  “Dengan Perjanjian Giyanti, Mangkubumi digelari sultan untuk setengah wilayah Jawa Tengah, yang diakuinya sebagai suatu lungguh dari Kompeni. Putra-putranya diberi hak untuk mewarisi takhta,” demikian ditulis Merle C. Ricklefs dalam buku Jogjakarta under Sultan Mangkubumi 1749-1792: A History of the Division of Java (1974).KALAU ditelusuri lebih jauh, berakhirnya Mataram dengan perjanjian tersebut tak bisa dilepaskan dari perlawanan Pangeran Trunajaya atau Trunojoyo di Madura terhadap kekuasaan Kesultanan Mataram dan wakilnya di tanah Madura, kurang-lebih 80 tahun sebelum Perjanjian Giyanti. Ketika itu, Madura adalah bagian dari wilayah kekuasaan Mataram, yang ditaklukkan pada tahun 1624, dengan pusatnya di Keraton Arosbaya.

Perlawanan Pangeran Trunajaya terhadap Kesultanan Mataram pada masa Raja Mataram dipegang oleh Raden Mas Sayidin atau dikenal sebagai Amangkurat I. Berbeda dengan raja sebelumnya, Sultan Agung Hanyakrakusuma yang bermusuhan dengan VOC—bahkan dua kali menyerang maskapai dagang VOC Belanda di Batavia—Amangkurat I justru berhubungan dekat dengan VOC. “Amangkurat I, segera setelah naik takhta, langsung mengikat perdamaian dengan Kompeni (VOC). Meneruskan perang sudah tidak ada gunanya,” demikian ditulis sejarawan Bernard Hubertus Maria Vlekke dalam bukunya, Nusantara: Sejarah Indonesia (2008).

Dari VOC, Amangkurat I kerap mendapat banyak senjata, berlian, dan bermacam barang lain. Sementara itu, Amangkurat I rutin mengirimkan kayu dan beras ke VOC.

Bukan hanya senang mengumpulkan kekayaan, Amangkurat I juga terkenal kejam. Ia memiliki lebih dari 40 selir, seperti diungkap Parakitri Simbolon dalam buku Menjadi Indonesia (2006). Selir yang paling dimanjakannya adalah Ratu Malang—yang tadinya istri seorang dalang.

Waktu Ratu Malang meninggal dunia pada 1667, Amangkurat I marah. Ia mencurigai 40 selir lainnya berkomplot membunuh Ratu Malang karena cemburu. Maka, Amangkurat I pun membunuh 40 orang selir itu.

Perangainya yang suka mengumbar syahwat dan kejam itu sebenarnya sudah terlihat sejak ia menjadi putra mahkota. “Tahun 1637, ketika masih berstatus Putra Mahkota, dia telah terlibat skandal yang melibatkan istri seorang abdi dalem senior, Tumenggung Wiraguna. Setelah naik takhta, di tahun 1647, Wiraguna diutus ke Jawa bagian ujung timur, seolah mengusir pasukan dari Bali, di sana juga Wiraguna terbunuh,” tulis Merle C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008).

Yang menjadi permaisuri Amangkurat I adalah Ratu Kulon, putri Pangeran Pekik dari Surabaya. Dari Ratu Kulon, Amangkurat I memiliki seorang anak, Raden Mas Rahmat. Namun, karena ibunya wafat, Raden Mas Rahmat sejak kecil tinggal di Surabaya bersama kakeknya, Pangeran Pekik.

Amangkurat I kemudian mencari selir baru. Di daerah sekitar Surabaya ditemukanlah Rara Oyi, tapi masih belum cukup umur. Kendati demikian, ayah Rara Oyi, Ki Mangunjaya, setuju putrinya dijadikan selir Amangkurat I.

“Karena masih kecil, perawan itu dititipkan kepada satu keluarga bangsawan,” demikian ditulis Parakitri dalam bukunya. Rara Oyi, menurut Hermanus Johannes de Graaf dalam bukunya Runtuhnya Istana Mataram (1987), dititipkan ke pembesar setempat, Tumenggung Wirareja.

Ketika dititipkan itulah, kecantikan Rara Oyi dilihat oleh Raden Mas Rahmat atau Adipati Anom, sang putra mahkota. Raden Mas Rahmat jatuh hati dan sang kakek yang sangat menyayangi dirinya, Pangeran Pekik, mengetahui perasaan cucunya kepada Rara Oyi. Dipertemukanlah sepasang pemuda-pemudi itu oleh Pangeran Pekik, sampai kemudian mereka menjalin kisah asmara.

Rupanya, Amangkurat I mendapat informasi soal ini. Ia pun murka. Pangeran Pekik dan keluarganya pun dibunuh. Juga para pendukung Pangeran Pekik. Tragedi ini terjadi pada tahun 1668.

Amangkurat I juga memerintahkan Raden Mas Rahmat untuk membunuh Rara Oyi dengan tangannya sendiri. Perintah itu pun dilaksanakan sang putra mahkota, karena ia diancam akan dibunuh juga bila menolak titah tersebut. Setelah itu, kehidupan Raden Mas Rahmat diawasi ketat oleh sang ayah. Ia juga dipecat sebagai Adipati Anom.

Sebelum itu, tahun 1661, Raden Mas Rahmat juga pernah ingin melakukan kudeta terhadap ayahnya. Karena, ia mendapat informasi jabatan Adipati Anom yang ia pegang akan dipindahkan kepada putra lain Amangkurat I, Pangeran Singasari. Namun, kudeta Raden Mas Rahmat gagal. Seluruh pengikut Raden Mas Rahmat dihabisi tanpa sisa oleh Amangkurat I.

Pangeran Trunajaya atau Raden Nila Prawata mengetahui sepak-terjang Amangkurat I yang seperti itu. Ia juga mendengarkan langsung keluh-kesah rakyat yang menderita di bawah kekuasaan Kesultanan Mataram dan Amangkurat I.

Diungkapkan Raden Soenarto Hadiwijoyo dalam bukunya yang bertajuk Raden Trunojoyo: Panembahan Maduratna, Pahlawan Indonesia (1956), Trunajaya sebenarnya bagian dari bangsawan Mataram, yang berasal dari bangsawan Madura. Bahkan, Trunajaya lahir dan dibesarkan di Mataram.

Dia adalah anak Raden Demang Mloyo Kusumo, yang merupakan anak Cakraningrat I dari seorang selirnya, yang juga bangsawan Madura. Akan halnya Cakraningrat I aslinya bernama Raden Praseno, putra Pangeran Tengah dari Arosbaya. Gelar Cakraningrat I adalah pemberian Sultan Agung, setelah dinobatkan sebagai penguasa Keraton Arosbaya, mewakili Mataram di Madura.

Raden Mas Rahmat yang dendam terhadap ayahnya kemudian dipertemukan dengan Trunajaya oleh Panembahan Rama atau Raden Kajoran, mertua Trunajaya. Dari hasil pertemuan itu disepakati, Raden Mas Rahmat akan membiayai pemberontakan Trunajaya terhadap Amangkurat I.

Pada masa ini, Keraton Arosbaya di Madura telah berganti penguasa. Setelah Cakraningrat I, penggantinya adalah putranya, Raden Undakan, yang kemudian bergelar Cakraningrat II. Namun, Cakraningrat II tak peduli dengan urusan di daerah kekuasaannya dan lebih sering di Keraton Mataram. Hampir semua urusan di Madura diserahkan ke para bawahannya, yang kerap menindas rakyat.

Karena kerap mendapat laporan dari rakyat Madura dan rakyat Jawa yang tertindas, Pangeran Trunajaya pun mulai bergerak. Ia menggalang kekuatan rakyat Madura, dari Bangkalan sampai Sumenep, yang kemudian memberi dia gelar Panembahan Maduratna. Pemberontakan terbuka pun mulai dilakukan Pangeran Trunajaya dan para pendukungnya pada tahun 1677, di Madura dan Surabaya, dengan terlebih dulu menculik Cakraningrat II dan kemudian mengasingkannya ke Lodaya, Kediri. Dalam kepemimpinannya, Trunajaya didampingi Macan Wulung, menantu dari Panembahan Sumenep.

Gambar Trunojoyo atau Trunajaya yang diambil dari sampul sebuah buku.

Madura pun berhasil dikuasai Trunajaya. Ia menyatakan Madura sebagai daerah yang berdaulat sendiri, tak lagi di bawah kekuasaan Mataram.

Trunajaya dan pendukungnya terus bergerak, mengarah ke Mataram. Orang-orang Makassar di Jawa di bawah kepemimpinan Kraeng Galesong—yang menyingkir dari kampung halaman mereka di Selebes atau Sulawesi sekarang karena terdesak oleh kekuatan VOC setelah kekalahan Sultan Hasanuddin—bersimpati kepada Trunajaya. Mereka bergabung.

Sedikit demi sedikit, daerah kekuasaan Mataram dapat direbut. Namun, di tengah kemenangan itu, Trunajaya berselisih dengan Raden Mas Rahmat. Mereka pun pecah kongsi, sehingga Trunajaya membatalkan penyerahan kekuasaan kepada Raden Mas Rahmat sebagai rencana sebelumnya.

Toh, perlawanan terhadap Amangkurat I terus dilakukan Trunojoyo. Sampai akhirnya, 2 Juli 1677, Trunajaya dan para pendukungnya berhasil menyerang pusat kekuasaan Mataram di Plered, yang sekarang masuk wilayah Kabupaten Bantul, Yogyakarta.

Amangkurat I melarikan diri ke Batavia untuk meminta bantuan VOC, namun wafat dalam perjalanan. Sebelum kematiannya, ia sempat menyerahkan kekuasaan Kesultanan Mataram ke putra mahkotanya, Raden Mas Rahmat, yang tak lagi berkongsi dengan Trunajaya. Raden Mas Rahmat bahkan ikut melarikan diri ke Batavia dan kemudian diberi gelar Amangkurat II.

Setelah mengalahkan Mataram, Trunajaya dan pendukungnya mendirikan pemerintahan baru. Pusat kekuasaannya di Kediri. Trunajaya diberi gelar Prabu Maduretno Senapati Ingalaga.

Seperti bapaknya, Amangkurat II pun meminta bantuan VOC untuk memerangi Trunajaya. Seperti ditulis Thomas Stamford Raffles dalam The History of Java (edisi bahasa Indonesia, 2008), VOC pun pada Desember 1676 menugaskan Laksamana Cornelis Speelman untuk membawa pasukannya menyerang Trunajaya.

Dalam perjalanannya, Speelman dan 1.500 orang pasukannya berhasil menaklukkan wilayah-wilayah pantai sampai ke daerah Jepara. Karena telah membuktikan keseriusannya dalam membantu Amangkurat II, VOC kemudian mengikat Amangkurat II dengan perjanjian yang disepakati pada 20 Oktober 1677, yang dikenal sebagai Perjanjian Jepara.

Cornelis Speelman

Isi perjanjiannya: Kesultanan Mataram harus menggadaikan pelabuhan-pelabuhannya senilai 310.000 uang Spanyol ke VOC. Biaya perang VOC untuk melawan Trunajaya juga harus dibayar lunas, yang uangnya diambil dari pelabuhan-pelabuhan itu. Menurut Raffles, biaya perang itu sebesar 250.000 uang Spanyol dan juga 3.000 karung beras, yang harus segera dikirim ke Batavia.

Kontrak yang lain: daerah-daerah bawahan Kesultanan Mataram dialihkan penguasaannya kepada VOC. Perdagangan candu dan bahan pakaian di seluruh wilayah Mataram juga menjadi hak monopoli kompeni Belanda.

Setelah ada perjanjiann itu, pasukan VOC semakin agresif dan ganas menyerang ke wilayah kekuasaan Trunajaya. Sedikit demi sedikit wilayah kerajaan Trunajaya pun dapat dikuasai pasukan VOC.

Trunajaya dan pasukannya kemudian menyingkir ke dalam hutan dan terkepung di hutan lereng Gunung Kelud pada 27 Desember 1679. Ia akhirnya ditangkap Kapitan Jonker dan pasukannya. Setelah itu, Trunojoyo diserahkan kepada Amangkurat II yang berada di Payak, Bantul. Pada 2 Januari 1680, Amangkurat II menghukum mati Trunojoyo.

“Buah dari keberhasilannya itu, yang sangat menguntungkan bagi pihak Belanda, adalah sebuah perjanjian yang disepakati pada tahun 1677…,” tulis Raffles.DALAM perkembangannya, VOC terus ingin mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dan kerap mengadu domba para bangsawan Jawa. Itu pula sebabnya, Sultan Hamengkubuwono II dari Kesultanan Yogyakarta tak pernah mau bekerja sama dengan VOC. Bahkan sikap itu sudah ia perlihatkan sejak ia secara resmi dinobatkan sebagai sultan pada Maret 1792, sebagaimana ditulis Djoko Marihandono dan Harto Juwono dalam buku Sultan Hamengku Buwono II Pembela Tradisi dan Kekuasaan Jawa (2008). Apalagi, sultan yang pada masa mudanya bernama Gusti Raden Mas Sundara dan putra kelima Sultan Hamengkubuwono I dari permaisuri Gusti Kangjeng Ratu Hageng itu mengetahui, VOC ketika itu sedang morat-marit karena para pejabatnya korup.

Memang, pada akhir tahun 1799, VOC akhirnya dibubarkan. Kekuasaan VOC kemudian diambil alih Pemerintah Kerajaan Belanda.

Toh, Sultan Hamengkubowono II tetap tak mau menjalin persahabatan dengan Pemerintah Hindia Belanda. Sikapnya semakin keras ketika Herman Daendels menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda sejak tahun 1808. Bahkan, Hamengkubuwono II juga merestui pemberontakan menantunya, Raden Rangga Prawiradirjo III, Bupati Wedana Madiun.

Belanda berhasil menumpas pemberontakan tersebut sekaligus mendapat informasi bahwa Sultan Hamengkubuwono II berada di balik pemberontakan tersebut. Maka, pada Desember 1810, pasukan Belanda menyerbu Yogyakarta dan melengserkan Hamengkubuwono II dari takhtanya. Daendels mengangkat putra Sultan Hamengkubuwono II, G.R.M. Suraja, sebagai Sultan Hamengkubuwono III.

Adik Hamengkubuwono II, Bendoro Pangeran Haryo Notokusumo, tak senang keponakannya (G.R.M. Suraja) naik takhta karena diangkat Daendels. Sebagaimana ditulis M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Pangeran Haryo Notokusumo pun ingin memerdekakan diri dan terpisah dari kuasa raja.

Kekuasaan Belanda kemudian harus berakhir pada tahun 1811, digantikan Inggris, sesuai dengan perjanjian Kerajaan Inggris dan Kerajaan Belanda. “Tanah jajahan Belanda di Hindia Timur diserahkan kepada Inggris selama negeri Belanda diduduki Prancis,” demikian antara lain bunyi perjanjian tersebut.

Sungguhpun begitu, di Hindia Timur, Daendels tak mau begitu saja menyerahkan kekuasaannya kepada Thomas Stamford Raffles, yang ditunjuk sebagai Letnan Gubernur Jawa. Pertempuran pun terjadi selama dua pekan. Pangeran Haryo Notokusumo berada di pihak Raffles.

Hamengkubuwono II memanfaatkan situasi ini. Ia kemudian merebut kembali tahkta Kasultanan Yogyakarta dari tangan anaknya. Namun, sikapnya kepada Inggris sama seperti sikapnya kepada Belanda. Maka, ketika pasukan Raffles memenangkan pertempuran dari Daendels, Kasultanan Yogyakarta diserbu pasukan Inggris pada 19 Juni 1812.

Keraton Kasultanan Yogyakarta

Hamengkubuwono II ditangkap dan dibuang ke pulau Penang. Hamengkubuwono III kembali diangkat sebagai Sultan Yogyakarta. Akan halnya Pangeran Haryo Notokusumo yang mendukung Inggris kemudian diangkat sebagai Gusti Pangeran Adipati Paku Alam atau Pakualam I oleh Thomas Raffles dan mendapat wilayah berdaulat bernama Pakualaman.

Ketika Inggris menyerahkan kembali kekuasaannya kepada Belanda pada tahun 1816, sesuai Convention of London 1814, raja-raja berharap terjadi pemulihan keadaan kerajaan. Namun, kenyataannya tidak demikian.

Akibatnya, semakin banyak bangsawan yang membenci Belanda, terutama karena Mataram kemudian terbagi menjadi empat: Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran, dan Pakualaman. Belanda juga selalu ikut campur masalah di empat kerajaan itu. Apalagi, Belanda memperlakukan kerja rodi dan pajak tanah yang memberatkan rakyat.

Itulah terutama yang memicu terjadinya Perang Diponegoro atau Perang Jawa, dari tahun 1825 sampai 1830, antara Pangeran Diponegoro beserta pasukan dan pengikutnyan dengan pasukan Pemerintah Kolonial Belanda. Disebut Perang Jawa karena peperangan ini melanda hampir di seluruh Jawa. Pangeran Diponegoro adalah putra Sultan Hamengkubuwono III atau Pangeran Adipati Anom.

Menurut Peter Carey dalam buku Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855 (2014), Belanda dalam Perang Jawa menderita kerugian sangat besar: sebanyak 7 ribu orang lokal yang merupakan serdadu pembantu tewas, 8 ribu serdadu Belanda tewas, dan Belanda menghabiskan dana 20 juta gulden untuk perang ini. [Purwadi Sadim]