Pandemi Covid-19 Membawa Kemiskinan Akut

Ilustrasi tingkat kemiskinan di Indonesia [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Dunia masih memendam kekhawatiran terhadap pandemi Covid-19. Tak terkecuali Indonesia. Data laju kasus positif Covid-19 di Indonesia bukannya berhenti malahan semakin kencang berlari. Jumlah pasien positif virus corona bertambah 1.882 kasus per hari Rabu (22/7). Dengan tambahan itu, total kumulatif positif virus corona di Indonesia mencapai 91.751 kasus.

Dilansir dari situs resmi Kementerian Kesehatan, dari jumlah tersebut, 50.255 orang sembuh dan 4.459 orang lainnya meninggal dunia. Lonjakan kasus hingga 90 ribuan orang ini terjadi hanya kurun 4 bulan sejak pasien positif pertama diumumkan pemerintah pada awal Maret lalu.

Jika melihat sebaran per bulannya, di Juli 2020 tercatat sebagai bulan dengan penambahan kasus positif tertinggi. Beberapa kali rekor angka tertinggi kasus positif harian pecah pada bulan ini.

Seperti pada 8 Juli, kasus positif virus corona bertambah 1.853 orang. Sehari kemudian, kasus positif baru melonjak drastis hingga mencapai 2.657 orang.

Keinginan pemerintah ingin menekan kasus Covid-19 tampaknya belum membuahkan hasil. Seiring dengan kenaikan kasus, ternyata perekonomian dalam negeri juga masih belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Data yang seharusnya paling dikhawatirkan dari penyebaran pandemi ini adalah kenaikan jumlah orang miskin di Indonesia.

Beberapa waktu lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin di Indonesia per Maret 2020 sekitar 26,42 juta orang. Jumlah penduduk miskin tersebut bertambah sekitar 1,63 juta dari jumlah penduduk miskin per September 2019. Dalam sembilan bulan pertama tahun lalu, jumlah penduduk miskin di Indonesia tercatat 25,14 juta orang.

Secara tahunan (yoy) dari Maret 2019, terjadi tambahan 1,28 juta dari 25,4 juta orang. “Jumlah penduduk miskin Maret 2020 sebesar 26,42 juta orang naik 1,28 juta orang jika dibandingkan dengan Maret 2019 secara yoy,” kata Kepala BPS Suhariyanto.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sempat memprediksi jumlah pengangguran dan angka kemiskinan di Indonesia akan naik. Dalam situasi yang sangat berat saat pandemi Covid-19, jumlah warga miskin akan bertambah 3,78 juta orang dan pengangguran bertambah 5,23 juta orang.

Sementara data produk domestik bruto (PDB), Sri Mulyani memperkirakan PDB bisa melambat ke level 2,3% dari asumsi dasar sebelumnya 5,3% dalam kondisi berat.

Namun proyeksi Sri Mulyani itu masih bisa lebih parah lagi. Misalnya, berkaca data dari SMERU Research Institute dalam publikasi terbarunya berjudul The Impact of Covid-19 Outbreak on Poverty: An Estimation for Indonesia yang memprediksi akan ada penambahan 8,5 juta penduduk miskin akibat dari pandemi ini. Ini proyeksi terburuk, jika wabah tidak bisa dikendalikan dalam jangka pendek.

Ada juga proyeksi Indef yang menyebutkan hingga akhir 2020, jumlah penduduk miskin akan bertambah lebih dari 5 juta orang. Artinya bisa mencapai 30 juta sampai 31 juta orang miskin hingga akhir tahun nanti.

Sementara Bank Dunia memprediksi akan terjadi penambahan 71 juta hingga 100 juta orang miskin pada 2020, angka kemiskinan ekstrem (extreme poverty rate) naik dari 8,23% pada 2019, menjadi 8,82% pada 2020. Ini peningkatan kemiskinan global terburuk, setelah krisis keuangan global pada 1998.

Artinya jumlah orang miskin Indonesia akan meledak. Alih-alih menghindari resesi seperti Singapura, Indonesia lebih banyak berkutat soal peningkatan ekonomi dengan tidak memperhitungkan soal kenaikan jumlah orang miskin.

Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah menilai, ancaman resesi sejatinya tak perlu dikhawatirkan. “Resesi adalah kenormalan baru di tengah wabah Covid-19. Hampir semua negara mengalami atau akan terkena resesi,” kata Piter.

Persoalan lainnya juga masih seputar soal data orang miskin ini. Proyeksi kenaikan jumlah orang miskin dari beberapa lembaga itu belum tercatat. Dari data jumlah orang miskin di BPS yang tercatat baru sampai Maret itu bisa membuat pemerintah semakin kesulitan mengantisipasinya dengan memberikan bantuan sosial. Rekaman soal data orang miskin semakin sulit didapatkan.

Bansos
Padahal menghadapi persoalan kemiskinan ini secara cepat satu-satunya jalan agar masyarakat bisa bertahan hidup adalah menyalurkan bansos, terutama bagi masyarakat yang terkena dampak terparah dari krisis ini. Pemerintah telah mengalokasikan program bansos untuk penanganan dampak Covid-19 dalam APBN 2020, totalnya sebesar Rp 78,9 triliun.

Realisasi penyaluran bansos masih minim. Persoalan pun terjadi di lapangan. Salah satunya, terjadi kesemrawutan data penerima bantuan, yang target utamanya rumah tangga miskin.

Ini persoalan klasik yang berulang terjadi dalam penanganan kemiskinan di Tanah Air. Data kemiskinan tak pernah valid. Padahal, sudah banyak kementerian/lembaga dan pemerintah daerah yang terlibat dalam akuisisi data kemiskinan, tapi tetap saja tak kunjung berhasil membangun sistem database kemiskinan.

Bahkan, saking semrawutnya database kemiskinan, ada pejabat pemerintahaan yang juga menerima bansos. Presiden Joko Widodo pun sempat berang yang bisa dilihat dari video yang sempat viral karena lambatnya penyerapan anggaran.Walau kemarahannya itu tak juga menyelesaikan persoalan kenaikan jumlah orang miskin ini hingga data bantuan sosial yang tak pernah valid.

Sayangnya belum ada usaha yang jelas dari pemerintahan sebelumnya hingga kini untuk bisa menyusun big data soal orang miskin. Semua orang boleh saja latah mengatakan big data ataupun artificial intelligent untuk menunjukkan ia mengerti betapa pentingnya data. Tapi nyatanya kesadaran pengumpulan data-data belum tentu berjalan pararel dengan analisis data dan pemanfaatannya.

Persoalan orang miskin yang belum bisa dihentikan ditambah data yang tak tersaji dengan konkret membuat kita akan semakin berkutat dengan persoalan dampak corona yang tak akan selesai-selesai. Butuh tak sekadar marah-marah ataupun cuma diselesaikan dengan bagi-bagi kursi di kabinet. [Kenourios Navidad]