Pancasila, Orde Baru, dan Orde Jokowi

Ilustrasi: Soeharto di museum Pancasila Sakti Lubang Buaya jakarta/g30spki.com

Koran Sulindo – Belum setahun naik ke tampuk kekuasaan, pada 27 September 1967, Soeharto menetapkan hari Kesaktian Pancasila. Melalui Keputusan Presiden (Nomor 153 Tahun 1967) itu, ia mewajibkan hari itu diperingati dengan khidmat dan tertib. Sejak itu tak ada lagi peringatan hari lahir Pancasila, yang biasanya dilangsungkan setiap 1 Juni, digantikan upacara Kesaktian Pancasila setiap 1 Oktober.

Soeharto kelak menamakan praktik pemerintahannya sebagai Demokrasi Pancasila. Pada 1968, saat usia Pancasila yang saat itu baru 23 tahun, dasar negara itu ditafsirkan berulangkali dan tidak selalu konsisten dengan keinginan penciptanya, Soekarno, yang dilengserkan jendral yang saat-saat itu masih Panglima Kostrad itu.

Dan Soeharto juga mengalami nasib sama. Hambatan terbesarnya justru adalah citra Soekarno melekat pada Pancasila. Satu-satunya cara tak lain tak bukan dengan mengubah imaji bangsa ini pada Pancasilanya-Soekarno, dan sejak itu hingga kelak jatuh pada 1998, hal inilah tanpa sadar upaya keras dan terbesar Soeharto dan Orde Barunya.

Pada 1968, Soeharto mendirikan Laboratorium Pancasila di kampus IKIP Malang. Laboratorium yang dikomandani Letkol Darji Darmodihardjo, saat itu perwira di Kodam Brawijaya, bertujuan membersihkan Pancasila dari interpretasi komunisme.

Para ideolog Orde Baru memang sejak awal menegaskan batasan antara Pancasila dan komunisme yang sering dikatakan sebagai “tak bertuhan” itu. David Brourchier, dalam “Pancasila Versi Orde Baru dan Asal Muasal Negara Organis”(Pusat Studi Pancasila UGM; 2007), mengatakan model penafsiran ini membuat masing-masing sila tersusun bak piramida, dengan sila pertama sebagai sila paling pokok. Ketuhanan yang Maha Esa menjadi segalanya.

Pada 1975, rezim yang bersandar pada kekuatan militer itu mulai mengajarkan Pendidikan Moral Pancasila (PMP) sebagai pengganti Pendidikan Kewarganegaraan dan Budi Pekerti. Dalam 3 tahun setelah itu, Orba pelan-pelan membalikkan percakapan Pancasila dari semula sebagai konsep politik menjadi pedoman berperilaku. Lalu dalam 3 tahun setelah itu, Soeharto mencanangkan pendidikan P4 diwajibkan pada seluruh pelajar dan pegawai pemerintah melalui keputusan MPR no. II/1978.

Ali Moertopo, think tank Orba, mengatakan P4 didesain “mengindonesiakan masyarakat Indonesia.” Menurut Ali, bangsa Indonesia tak butuh ideologi politik seperti sosialisme, komunisme, liberalisme, ideologi agamis, bahkan nasionalisme.

Pendefinisian ulang Pancasila versi Orba itu, atau pemiskinan makna jika dilhat dari perspektif lain, membuat dasar negara itu menjadi tak lebih dari sekadar himpunan nilai-nilai etis bangsa; namun di titik sama mampu digunakan menjadi palu gada bagi yang menentangnya.

Dan memang penentangnya segera muncul. Pada Mei 1980 sekumpulan jendral pensiunan dan bekas pejabat negara menandatangani Petisi 50. A.H. Nasution, Hoegeng, Ali Sadikin, dan Mohammad Natsir, beberapa di antaranya, menyatakan Soeharto telah menyalahgunakan Pancasila sebagai alat untuk mengancam musuh-musuh politiknya. Mereka langsung dipalu Orba, salah satunya dengan memiskinkan secara perdata, tak bisa berdagang dan beraktivitas politik.

Murni dan Konsekuen

Mantra Orba adalah melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Pengejawantahannya? Pancasila tak lebih tak bukan hanya menjadi alat pembenar rezim brutal itu.

Setelah sukses dijadikan palu, pancasila dikultuskan, tak boleh diganggu gugat seperti makam keramat. Pancasila yang benar adalah yang versi pemerintah. Konsep ini diteruskan hingga ke titik yang paling ekstrim: Pada 1985 seluruh organisasi sosial politik digiring menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas tunggal. Setiap warga negara yang mengabaikan Pancasila, organisasi massa dan sosial yang menolak Pancasila sebagai asas tunggal, sudah pasti selesai nasibnya. Dicap melawan pemerintahan yang sah. Orba tidak hanya memonopoli kekuasaan tetapi juga kebenaran.

Selain mekultuskan Pancasila, Orba secara formal juga mensosialisasikan nilai-nilai Pancasila melalui TAP MPR NO II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) tadi. Pekerjaan ini menjadi tanggungjawab Badan Penyelenggara Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7).

Orba Rasa Baru?

Hingga tahun-tahun ini Keppres Pancasila Sakti Soeharto itu seolah masih berlaku. Pada 1 Oktober 2015 lalu, misalnya, Mensesneg mengeluarkan surat edaran Penyelenggaraan Upacara Peringatan Hari Kesaktian Pancasila, menganjurkan kepada setiap instansi pemerintahan termasuk perwakilan RI di luar negeri, untuk menggelar upacata peringatan. Peringatan Hari Kesaktian Pancasila itupun disesuaikan dengan slogan pemerintahan Presiden Joko Widodo, “Kerja Keras dan Gotong Royong Melaksanakan Pancasila.”

Kecenderungan Orba memandang Pancasila sebagai doktrin yang komprehensif terlihat pada anggapan ideologi sebagai sumber nilai dan norma dan karena itu harus ditangani secara terpusat. Nampaknya, hal itu pulalah yang memberi ide Presiden Jokowi membentuk Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP PIP), yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2017. UKP PIP adalah badan negara semacam BP 7 yang bertugas menghidupkan pancasila lagi dalam kehidupan berbangsa di abad ke-21 ini.

Puncaknya, Jokowi meneken Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2/2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Perppu ini digagas sejak awal untuk membubarkan ormas yang bertentangan dengan Pancasila. Alasannya, karena UU Ormas yang diciptakan Soeharto pada 1985, yang secara hukum belum pernah dihapus, tak mencukupi lagi untuk zaman gaduh sekarang ini.

“UU Ormas tak lagi memadai sebagai sarana untuk mencegah meluasnya ideologi yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945,” Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto, 12 Juli lalu.

Sedikitnya ada hampir 20 pasal yang dipangkas dari UU Ormas, dalam Perppu yang diteken Jokowi per 10 Juli 2017 lalu. Pasal yang banyak dihapus perihal pemberian sanksi hingga tata cara pembubaran sebuah Ormas.

Ketentuan tentang cara pembubaran Ormas yang perlu dilakukan melalui pengadilan, sebagaimana diatur Pasal 68 UU Ormas pun dihapus dalam Perppu Ormas.

Setelah penerbitan Perppu itu, pemerintah langsung mendata Ormas yang anti-Pancasila. Ada sebanyak 344.039 ormas tercatat di buku Kemendagri atau Kemenkumham. Yang bukan berasas Pancasila siap-siaplah segera dibubarkan.

Pancasila seolah kembali menjadi mantra, kembali dikultuskan dan dikeramatkan. Pancasila kembali dijadikan palu gada untuk memberangus kelompok-kelompok yang dicap mengancam negara. [DAS]