Ilustrasi/setkab.go.id

Koran Sulindo – Lewat tengah malam itu gedung parlemen di kawasan Senayan masih ramai. Sudah sejak pagi hari negoisasi dan lobi-lobi berlangsung, baik lewat rapat terbuka di Gedung Nusantara II itu, atau di ruang-ruang kantor anggota dewan yang terhormat. Namun hingga hari berganti itu pembahasan Undang-undang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang sudah berlangsung setahun belakangan ini masih alot seperti dalam sidang-sidang Panitia Khusus (Pansus) Pemilu.

Akhirnya serombongan anggota dewan dari fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Gerindra meninggalkan ruangan. Juga wakil dari Gerindra yang waktu itu memimpin sidang, Fadli Zon. Ketua DPR Setya Novanto mengambil alih pimpinan dan dalam hitungan menit UU Pemilu disahkan.

Total suara yang hadir hingga dini hari itu sebanyak 539 buah. Yang memilih paket A sebanyak 322 suara sedang yang memilih  B hanya 217.

“Karena mempunyai pemikiran berbeda maka kita putuskan bahwa opsi A secara aklamasi kita putuskan kita setuju. Apakah setuju?,” kata Setya. Seluruh anggota DPR yang masih ada dalam ruangan menyatakan setuju, lalu Setya mengetukkan palu.

Paket A adalah skema ambang batas pencalonan presiden 20/25 persen, artinya partai politik atau gabungan parpol yang berhak mencalonkan presiden hanya yang memiliki 20 persen suara dalam Pemilu 2014 lalu dan memiliki 25 persen kursi di DPR. Dalam paket ini ambang batas parlemen adalah 4 persen, sistem pemilu terbuka, besaran kursi 3-10, dan konversi suara saint lague murni.

Pansus Pemilu seminggu sebelumnya menawarkan 5 paket setelah pembahasan 5 isu krusial dalam RUU Pemilu berlangsung alot. Dalam paripurna malam itu isu itu mengerucut antara paket A dengan paket B. Paket A mewakili keinginan pemerintah, paket B mewakili koalisi yang tak bergabung dengan pemerintah. Sedang isi paket B adalah presidential threshold (nol persen), parliamentary threshold (empat persen), sistem pemilu (terbuka), alokasi kursi (3-10 kursi), metode konversi suara (quota hare).

Dengan rampungnya UU Pemilu, Pilpres dan Pileg 2019 mempunyai payung hukum. “Ini juga menunjukkan kepatuhan pemerintah atas Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan prinsip UUD 1945,” kata Menteri Dalam Negeri Tjahya Kumolo.

Jokowi vs Prabowo Jilid 3

UU Pemilu yang baru itu disebut-sebut merupakan kemenangan pemerintah, karena poin-poin yang disahkan justru menguntungkan partai besar dan berpotensi menggerus partai kecil dan menengah,” terangnya.

Poin krusial adalah batas minimal presidential threshold 20-25 persen. Aturan ini membatasi partai-partai kecil menentukan calon presiden dan mau tak mau berkoalisi.Tebakan paling dekat, pemilihan presiden (Pilpres) 2019 nanti hanya ada 2 atau 3 calon presiden, atau barangkali calon tunggal. Pilpres 2014 kemungkinan besar juga bisa terulang lagi. Joko Widodo versus Prabowo Subianto Jilid 3 bisa saja terjadi?

Jilid 3? Ya, karena Pemilihan kepala daerah (Pilkada) DKIJakarta lalu bisa dikatakan proxy dari pertarungan Jokowi versus Prabowo. Dalam perang Jokowi vs Prabowo Jilid 2 itu, jagoan mantan Panglima Kostrad dan Koppasus itu, Anis Baswedan-Sandiaga Uno, mengalahkan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok)-Djarot Syaiful Hadi yang diusung Jokowi, dalam perang yang brutal dan menjijikkan. Isu agama menjadi sentral dan meminggirkan hal-hal lebih penting soal program, misalnya. Isu agama itu juga yang dilahap rakyat muslim miskin kota, terutama mereka yang digusur dalam masa pemerintahan Ahok.

Pada mulanya keberatan-keberatan terhadap Ahok selaku gubernur non-muslim cuma gerakan remeh yang dipimpin oleh FPI, dalam unjuk rasa sedikit massa pada Oktober 2016. Tetapi gerakan itu terus membengkak, terima kasih pada Buni Yani melalui status di akun Facebook-nya, setelah Ahok dituduh menistakan Islam.

Lawan-lawan Ahok tidak menyia-nyiakan kesempatan. Mereka mengerahkan sumber daya politik dan finansial secara serius dan besar-besaran, untuk menjeratnya dengan persoalan identitas. Dan kegaduhan dimulai.

Kampanye Anies dan Sandi Uno meraup sebanyak-banyaknya keuntungan politis dari pergolakan politik identitas itu. Jaringan pendukungnya tidak segan mengeksploitasi kecemasan dan penderitaan kaum papa dengan ceramah-ceramah yang mencampuradukan kritik terhadap neoliberalisme dan demokrasi dengan kebencian terhadap “asing” dan “aseng”.

Dalam kasus dugaan penodaan agama yang dituduhkan pada Ahok, dan terjelma melalui sidang peradilan yang komikal, dan menjadi titik sentral dinamika Pilkada DKI 2017, tuntutan penegakan hukum dilakukan dengan mobilisasi ratusan ribu peserta (ada yang bilang 7 juta orang).

Setiap langkah penghujatan itu selalu diwarnai beragam bentuk intimidasi. Sama seperti aksi penolakan Ahmadiyah atau Syiah, yang dilakukan juga dengan pengusiran paksa ribuan orang.

Di media sosial, dunia sudah berubah menjadi perang terbuka yang menjijikan. Ungkapan kebencian pada etnis Tionghoa dilakukan tanpa kendali, diwarnai ancaman “halal darahnya”; juga kecaman “kafir” atau “munafik”.

Ini bukanlah persoalan teologis, tapi politisasi agama secara oportunistik dan brutal.

Sebagian dampak Pilkada DKI tak berhenti setelah pilkada usai. Pilkada itu bukan sekadar mencerminkan aspirasi masyarakat, tap melalui proses politisasi agama, mobilisasi, dan “pelintiran kebencian” (hate-spin), telah mengubah keberagamaan masyarakat.

Keberhasilan politisasi agama secara masif bisa dibayangkan akan memotivasi pengulangannya di pilkada-pilkada dan pilpres berikutnya, karena terbukti efektif.

Apakah pola yang digunakan Anis akan dipakai Prabowo dalam Pilpres 2 tahun nanti? Formula yang sudah terbukti sukses mustahil akan dibuang begitu saja. Tapi itu soal nanti. Sekarang ini, yang jelas, Jokowi masih unggul atas Ketua Umum Partai Gerindra itu di berbagai survei.

Survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada awal Juni lampau misalnya, mengatakan elektabilitas Presiden masih terlalu tinggi dari para pesaingnya. Melalui pertanyaan terbuka tanpa diberikan nama calon, responden menempatkan posisi Jokowi berada di urutan pertama 34,1 persen responden, dan Prabowo di tempat kedua dengan 17 persen.

Dalam simulasi situasi head to head seperti Pilpres 2014 lalu, Jokowi juga masih unggul dengan 57,3 persen, Prabowo yang hanya mendapat 37,2 persen: Jokowi presiden periode kedua. Jokowi juga ditopang tingkat kepuasan masyarakat atas kinerjanya. Sebanyak 67 persen responden merasa puas dan hanya 31 persen yang tidak puas. Sebanyak 68 persen responden juga yakin atas kemampuan Jokowi dalam memimpin.

Dan pengesahan UU Pemilu pekan lalu adalah kemenangan pemerintah dalam perang kembang menuju 2019. Dalam khasanah pewayangan di Jawa, perang kembang adalah pengantar sebelum perang sesungguhnya, Baratayuda. Jika Pilpres nanti adalah fotokopi buruk dari Pilkada Jakarta lalu, dengan kebrutalan yang lebih tinggi dan dan lebih memualkan, Pilpres 2019 akan menyaksikan politik Indonesia berubah lagi. [Didit Sidarta]