Pancasila Jangan Dijadikan Berhala

Koran Suluh Indonesia Volume II Nomor 15

Koran Sulindo – Pancasila kembali digemakan secara massif. Pemerintah juga kemudian mendirikan Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP). Namun, banyak pihak yang menjadi khawatir, terutama orang-orang yang mengalami hidup di masa rezim represif di bawah komando Jenderal (Purn.) Soeharto.

Pada masa itu, Pancasila kerap dijadikan senjata untuk melumpuhkan lawan politik atau orang-orang yang mengkritisi pemerintah. Stigma anti-Pancasila sering disandingkan dengan cap komunis atau ekstrem kanan dan dengan semena-mena bisa dilekatkan kepada siapa saja yang dianggap merongrong kewibawaan pemerintah dan mengganggu stabilitas keamanan negara, jalannya roda pembangunan. Tak jarang pula, atas nama Pancasila, peluru dimuntahkan dari pistol atau senapan, dengan korban bertebaran dari Aceh sampai Papua.

Tentu negara ini tak boleh seperti itu lagi. Masa kegelapan tersebut harus menjadi pelajaran agar tak terulang atau diulangi oleh siapa pun yang diberi amanat menjalankan pemerintahan. Untuk itulah dulu, antara lain, upaya reformasi digerakkan, baik dinyatakan secara terbuka maupun tidak.

Pancasila tak boleh dijadikan berhala, dipuja berlebihan, dan dijadikan ideologi tertutup, dengan hak tunggal penafsiran hanya ada pada penguasa, yang penafsirannya pada masa rezim represif dibatasi sebanyak 36 butir, lalu menjadi 45 butir, di bawah tajuk Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau disingkat P4. Dengan cara seperti itu, Pancasila justru mengingkari semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Apalagi, kemudian, pemerintah di bawah kendali Presiden Soeharto menjalankan politik korporasi dan melakukan upaya represif untuk menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal organisasi masyarakat dan politik.

Padahal, sesungguhnyalah, Pancasila adalah ideologi yang terbuka, yang digali oleh Bung Karno dari Bumi Nusantara, dengan perenungan dan pertimbangan yang penuh hikmat kebijaksanaan, yang sila-silanya bila disarikan merefleksikan karakter khas bangsa ini: suka bergotong-royong. Itu sebabnya, sebagai ideologi terbuka, Pancasila memberi ruang untuk diperbincangkan, didiskusikan, sebagai upaya mendapat formulasi respons atau pengamalan yang sesuai dengan tuntutan zaman.

Memang, upaya tersebut mensyaratkan pemahaman yang memadai terhadap Pancasila. Itu artinya, sosialisasi dan pendidikan Pancasila menjadi keniscayaan, tapi bukan dengan cara memaksakan, apalagi sampai mengintimidasi.

Patut diapresiasi apa yang dilakukan oleh Taufiq Kiemas (almarhum) ketika menjadi Ketua MPR. Dia membuat program sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan dengan cara-cara yang persuasif, kontekstual, dan menghindari slogan-slogan kosong makna.

Juga patut didukung rencana UKP-PIP yang akan menggunakan pendekatan soft power untuk memberikan pemahaman kepada generasi muda mengenai Pancasila, sebagaimana dikatakan Ketua UKP-PIP Yudi Latif saat berbicara dalam Kongres Pancasila IX di Balai Senat Universitas Gadjah Mada-Yogyakarta, 22 Juli 2017 lalu. Bahkan, Yudi juga mengatakan, penanaman nilai-nilai Pancasila dengan cara top-down, dari atas ke bawah, cenderung memaksa dan tidak bisa dilakukan. Pendekatan soft power itu, menurut Yudi, antara lain melalui kesenian.

Yang juga penting dilakukan dan tak boleh dilupakan adalah melakukan konkretisasi gotong-royong sebagai jiwa Pancasila. Menghidup-hidupkan kembali gotong-royong artinya juga merekatkan anyaman kebangsaan, bergandengan tangan bersama, bukan malah menyingkirkan saudara sebangsa. Itu sebabnya, menurut Bung Karno, gotong-royong adalah paham yang dinamis.

“Lebih dinamis dari kekeluargaan, Saudara-Saudara! Kekeluargaan adalah satu paham yang statis, tetapi gotong-royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo satu karya, satu gawe. Marilah kita menyelesaikan karya, gawe, pekerjaan, amal ini, bersama-sama! Gotong-royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama,” ungkap Bung Karno saat berpidato tanpa teks (voor de vuist) pada 1 Juni 1945 dalam sidang pertama Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, yang membahas Dasar Negara Indonesia. [PUR]