Pancasila, Ibu Seluruh Hukum Indonesia

Ilustrasi: Ahmad Basarah ketika sidang ujian doktor di Universitas Diponegoro Semarang/Akun Facebook Eva Kusuma Sundari

Koran Sulindo – Siti Hinggil, Kraton Yogyakarta, 19 September 1951. Saat itu kampus Universitas Gadjah Mada memang masih menumpang di bagian depan istana kerajaan Mataram Islam itu. Hari itu Presiden Soekarno dianugerahi gelar Dr Honoris Causa oleh universitas tertua di Indonesia itu. Menggunakan data mentah notulensi Sidang BPUPKI/PPKI, Notonegoro menyimpulkan Soekarno adalah pencipta Pancasila. Acara itu hanyalah seremoni penyempurna saja.

“Paduka yang Mulia adalah pencipta Pancasila. Paduka yang Mulia adalah yang untuk pertama kalinya melahirkan dan mengusulkan Pancasila sebagai dasar filsafati negara pada tanggal 1 Juni 1945 dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia,” pidato Guru Besar UGM Notonagoro ketika membuka acara.

UGM dalam promosi Dr HC itu menyatakan, “Maka oleh karena itu Pancasila yang tercantum dalam masing-masing Undang-Undang Dasar kita dalam isi-artinya yang pokok adalah Pancasila ciptaan Paduka Yang Mulia. Tidak kita kurangkan, bahkan kita hargai jasa para Pembentuk Undang-Undang Dasar masing-masing”.

Maksud Notonagoro, penyusun pidato promosi itu, dalam ketiga konstitusi yakni UUD 1945, UUDS 1945, Konstitusi RIS, yang dalam Pembukaan UUD-nya menyebutkan Pancasila adalah keseluruhannya Pancasila yang “diciptakan” Bung Karno pada 1 Juni 1945 di depan BPUPKI.

Namun Soekarno menolak disebut pencipta Pancasila.

Dalam pidatonya yang kelak dibukukan dan diberi judul Ilmu dan Amal, Bung Karno menyebut hanyalah penggali Pancasila. Kelak, dalam buku autobiografinya yang disusun Cindy Adams (Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia; 1966) dalam satu bab utuh, yaitu Bab 25, menggambarkan kegelisahan Bung Karno ketika mempersiapkan diri sebelum pidato pada 1 Juni 1945 itu. “Di Pulau Bunga yang sepi tidak berkawan aku telah menghabiskan waktu berjam-jam lamanya merenungkan di bawah pohon kayu. Ketika itu datang ilham yang diturunkan oleh Tuhan mengenai lima dasar falsafah hidup yang sekarang dikenal dengan Pancasila. Aku tidak mengatakan, bahwa aku menciptakan Pancasila. Apa yang kukerjakan hanyalah menggali tradisi kami jauh sampai ke dasarnya dan keluarlah aku dengan lima mutiara yang indah,” kata Bung Karno.

Ilustrasi: Suasana pemberian gelar Doktor Honoris Causa kepada Soekarno (Rabu, 19 September 1951)/Arsip UGM Yogyakarta

Penemu atau penggali, apa pun sebutannya, tapi bukti sejarah yang tercatat memang membuktikan Pancasila  adalah buah fikiran Bung Karno. Sejarawan Universitas Indonesia, Ananda B. Kusuma, mempertegas dengan penemuan Pringgodigdo Archive yang semula berada di Belanda dan saat itu tersimpan di Puro Mangkunegaran Surakarta. Arsip itu berisi notulensi lengkap sidang BPUPKI.

Bukti Akademis

Sebelum 1968, setiap 1 Juni selalu diperingati sebagai Hari Lahirnya Pancasila. Di samping itu, berbagai kalangan, baik sipil maupun militer, juga telah mengakui bahwa Penggali Pancasila adalah Bung Karno. Namun sejak 1968 terjadi praktik de-Soekarnoisasi: lahirnya Pancasila 1 Juni 1945 tidak lagi diperingati, Bung Karno sebagai Penggali Pancasila juga tidak lagi diakui.

Setelah Orde Baru jatuh pada 1998, UUD 1945 telah diamandemen empat kali, Pancasila tetap diakui sebagai ideologi negara.

Tahun ini Presiden Joko Widodo yang telah menetapkan 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila.

Ketua Fraksi PDI Perjuangan MPR, Ahmad Basarah, menyelidiki secara akademis kedudukan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber pembentukan hukum nasional maupun tolok ukur pengujian UU di MK. Selain itu juga hendak melakukan objektifikasi dan penyelidikan ilmiah atas kelahiran Pancasila.

“Pancasila lebih baik dari Manifesto Komunis karena punya sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Pancasila lebih baik dari paham Liberalisme/Kapitalisme karena punya sila Keadilan Sosial dan Pancasila juga lebih baik dari sistem Khilafah karena punya sila Persatuan Indonesia,” kata Basarah.

Dalam penelitian Basarah ditemukan keputusan Presiden Jokowi melalui Keppres Nomor 24 tahun 2016 itu menemukan dasar pijakan argumentasinya yang kokoh.

Disertasi Basarah berjudul “Eksistensi Pancasila Sebagai Tolok Ukur Dalam Pengujian Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Di Mahkamah Konstitusi: Kajian Perspektif Filsafat Hukum Dan Ketatanegaraan.”

Majelis penguji dalam sidang promosi doktor ini antara lain Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat, Adji Samekto (Ketua Program S3 FH Undip), mantan Ketua MK Mahfud MD., Dekan FH Undip Benny Riyanto, Guru Besar FH Unjem Widodo Ekatjahjana, dan Guru Besar FH Unhas M. Guntur Hamzah.

Basarah dinyatakan layak memperoleh gelar doktor dengan predikat cumlaude.

Dalam disertasinya, pria kelahiran Jakarta, 16 Juni 1968 itu mengatakan posisi dan kedudukan hukum Pancasila adalah sebagai norma dasar yang sifatnya metalegal dan berada di atas UUD 1945.

Disertasi ini pada intinya mengupas persoalan apakah Pancasila sebagai dasar negara dan cita hukum (rechtsidee) Indonesia telah dijadikan tolok ukur untuk memutuskan perkara pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Sebagai dasar filosofi (philosofische grondslag), Pancasila juga memiliki kualitas sebagai cita hukum yakni ius constituendum (hukum yang dicita-citakan) yang diarahkan agar menjadi ius constitutum (hukum yang berlaku saat ini).

Fokus studi disertasi itu adalah mencoba menjawab mengapa Pancasila sebagai cita hukum Indonesia harus dijadikan sebagai tolok ukur dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 di MK? Selain itu juga bagaimanakah praktik Pancasila sebagai cita hukum Indonesia dijadikan sebagai tolok ukur dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 (khususnya pengujian undang-undang di bidang politik, ekonomi, sosial, dan agama) pada kurun waktu 2003-2013?

Fokus lainnya bagaimana agar Pancasila sebagai cita hukum Indonesia dapat selalu digunakan oleh MK sebagai tolok ukur dalam memutus setiap perkara pengujian undang-undang terhadap UUD 1945?

Tujuan penelitian disertasi ini, selain menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas juga menyelidiki kedudukan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber pembentukan hukum nasional maupun tolok ukur pengujian UU di MK. Disertasi ini juga hendak melakukan objektifikasi dan penyelidikan ilmiah atas kelahiran Pancasila.

Seluruh upaya tadi berbasis pendekatan ilmiah dalam kajian ilmu hukum.

Menurut Basarah, rumusan Pancasila, sejak Pidato Soekarno 1 Juni 1945, Rumusan Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 oleh Panitia Sembilan yang diketuai oleh Soekarno hingga rumusan final oleh PPKI tanggal 18 Agustus 1945 yang juga diketuai oleh Soekarno, adalah satu kesatuan proses lahirnya Pancasila sebagai Dasar Negara.

Mengutip Muhammad Taufiq Kiemas dalam disertasi Doktor Honoris Causanya di Universitas Trisakti Jakarta, Basarah mengatakan, konsensus bersama tentang Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara telah melalui proses yang panjang, berliku, dan menggugah kesadaran kebangsaan kita. Pancasila telah menjadi common denominator (titik persetujuan) di antara seluruh elemen kelompok bangsa, karena karakternya sebagai falsafah yang mempersatukan perbedaan arus politik, agama, dan etnis yang sangat majemuk di negeri ini.

Posisi dan kedudukan hukum Pancasila bukanlah terletak di dalam Pembukaan UUD 1945, karena hal itu berarti menempatkan posisi Pancasila bukan hanya sejajar dengan UUD tetapi justru menjadi bagian dari UUD. Padahal, posisi dan kedudukan hukum Pancasila adalah sebagai norma dasar yang sifatnya meta legal dan berada di atas UUD.

Atas dasar itu, dengan kedudukan Pancasila yang bersifat tetap dan tidak bisa berubah-ubah, maka tidak ada mekanisme hukum apapun yang dapat dilakukan untuk mengubah apalagi mengganti Pancasila sebagai dasar (grundnorm) negara Indonesia, kecuali dengan cara revolusi politik ataupun dengan cara makar atau kolonialisasi oleh bangsa asing seperti jaman penjajahan sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 dahulu.

Lembaga MPR RI sekalipun sebagai lembaga pembentuk UUD tidak dapat merubah atau mengganti Pancasila karena menurut pasal 3 ayat (1) UUD 1945, wewenang MPR RI hanya “merubah dan menetapkan UUD”, sementara posisi Pancasila bersifat meta legal dan berada di atas serta menguasai UUD. [Didit Sidarta]