Mantan Ketua KPK Antasari Azhar ketika menerima kunjungan wartawan Koran Suluh Indonesia di rumahnya. [Foto: Koran Suluh Indonesia]

Ada indikasi, kasus yang menjerat Antasari Azhar terkait dengan keluarga Cikeas. Antasari “dihancurkan” karena akan mengungkap kasus hukum anak SBY?

Koran SulindoJANGANKAN bertahun-tahun, menjalani hukuman penjara selama sehari saja jelas bukan hal mudah bagi kebanyakan manusia—apalagi bila vonis hukuman yang dijatuhkan berdasarkan dakwaan yang banyak kejanggalannya, baik menurut terpidana sendiri, penasihat hukumnya, maupun ahli-ahli hukum lain. Karena, menjadi makhluk yang merdeka adalah fitrah manusia sejak dilahirkan dan penjara membuat sebagian besar kemerdekaan itu terenggut.

Itu sebabnya, penjara bukan hanya dapat mengantam kesehatan fisik terpidana, tapi juga psikisnya. Namun, mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar tampaknya dapat menghadapi “prahara besar” semacam itu dalam hidupnya. Pada 11 Februari 2010, Antasari divonis hukuman penjara 18 tahun oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang diketuai Herry Swantoro. Majelis hakim menyatakan Antasari terbukti bersalah turut melakukan pembujukan untuk membunuh Nasrudin Zulkarnaen, Direktur Putra Rajawali Banjaran.

Pada 10 November 2016 lalu, bertepatan dengan Hari Pahlawan, Antasari resmi menjalani pembebasan bersyaratnya, karena telah menjalani dua pertiga dari total masa hukuman. Ia telah dipenjara selama 7 ½ tahun, ditambah dengan remisi yang diperolehnya setiap tahun yang totalnya 4 ½ tahun, sehingga itu diartikan masa hukumannya telah 12 tahun.

Namun, rupanya, dikurung dalam penjara hampir delapan tahun tak membuat Antasari menjadi “ayam sayur”, apalagi “membusuk di dalam”. “Mereka menginginkan saya membusuk di penjara,” ungkap Antasari ketika ditemui wartawan Koran Suluh Indonesia di rumahnya di kawasan Tangerang, Banten, 9 Desember 2016 lalu. Ketika ditanyakan siapa yang dimaksud dengan “mereka”, Antasari belum mau memberi tahu.

Antasari merasa, dirinya ketika itu ibarat kapal yang akan tenggelam karena menabrak karang dan banyak pihak justru berusaha agar kapal itu segera tenggelam. “Kasus yang menyangkut Aulia Pohan hanya dijadikan pemantik untuk menghantam diri saya,” tuturnya.

Aulia Pohan adalah besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Karena itu, ketika KPK menahan Aulia dalam dugaan kasus suap yang juga melibatkan banyak petinggi BI, Indonesia geger.

Berkembang cerita, Presiden SBY murka atas tindakan Antasari tersebut. Bahkan, desas-desusnya, SBY memanggil Antasari ke Istana Negara untuk menanyakan perihal kasus yang membelit besannya itu.

Fahri Hamzah anggota DPR dari Partai Keadilan Sejahtera membenarkan hal tersebut pada medio 2013. Cerita yang berkembang di publik itu pula yang kemudian dikait-kaitkan dengan kasus yang membelit Antasari.

Namun, Antasari tak mau menjawab soal kebenaran rumor tersebut. Ia hanya menjawab, “Saya kira yang marah pada waktu itu bukan SBY, karena saya tahu persis beliau seperti apa. Tidak mungkin ia seperti itu. Tapi saya cenderung dengan orang ‘dekat’ beliau,” kata Antasari pada 9 Desember 2016 lalu di rumahnya di Tangerang. Tak ia jelaskan maksud dari orang “dekat” SBY itu, apakah merujuk ke istri, Ani Yudhyono, atau orang kepercayaan SBY.

Kami juga mencoba menanyakan soal tersebut ke Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Syarief Hasan. Namun, pesan singkat yang kami kirimkan hanya dibaca, tak dibalas atau ditanggapi.

Tapi, pengurus Partai Demokrat yang lain, Amir Syamsuddin, tak lama setelah Antasari mendapat pembebasan bersyarat sempat memberi peringatan kepada agar Antasari menjaga ucapan dan pernyataannya. “Kalau bisa (Antasari) menjauhi hal-hal, ucapan-ucapan, atau pernyataan yang kemudian bisa mengganggu posisinya sebagai narapidana bebas bersyarat,” kata mantan Amir Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia di era pemerintahan Presiden SBY itu, di Balai Sidang Universitas Indonesia, Depok, Sabtu, 12 November 2016.

Bertekad Mengungkap Rekayasa Perkaranya
Antasari pun bercerita, ada perdebatan yang keras di jajaran kepemimpinan KPK ketika ingin memutuskan penahanan Aulia Pohan. Sebagai Ketua KPK, Antasari justru mencoba menghormati kedudukan Aulia Pohan sebagai besan presiden, sehingga ia mencoba mempertanyakan, apa perlu Aulia ditahan sebagaimana tersangka KPK umumnya. “Apa pun status hukum yang disandang Aulia, ia tetaplah besan dari presiden yang juga kepala negara,” kata Antasari.

Namun, pandangan Antasari itu langsung ditentang Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan,  M. Jasin. Menurut Jasin, sistem yang sudah baku di KPK jangan diubah hanya karena seorang besan presiden. Jasin berkeras agar Aulia Pohan ditahan.

Karena perbedaan pendapat yang semakin meruncing, jajaran kepemimpinan KPK lantas mengambil suara untuk itu. Hasilnya: Aulia ditahan. Mereka pun sepakat meneken surat penetapan penahanan Aulia.

Namun, keesokan harinya, Deputi Penindakan KPK Ade Rahardja mendatangi Antasari. Ia menyodorkan surat penahanan Aulia Pohan yang seharusnya ditandatangani seluruh komisioner KPK atau setidaknya Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan, Chandra Marta Hamzah, yang memang diberi kewenangan soal seperti itu. Namun, tidak seperti biasanya, ketika itu semua komisioner KPK tak ada di kantor, memiliki agenda di luar, kecuali Antasari.

Awalnya, Antasari menolak menandatangani surat tersebut dengan alasan berdasarkan standar operasional prosedur KPK, ketua tidak mengurusi hal yang bersifat teknis. Ketua KPK hanya mengurusi hal-hal kebijakan. Kewenangan teknis, telah didelegasikan kepada pimpinan KPK lainnya. Karena itu, ia meminta Ade untuk memastikan komisoner lain yang akan tanda tangan.

Setelah menghubungi empat komisioner lainnya, Ade mengatakan, keempat pemimpin KPK itu mengatakan tidak akan kembali ke gedung KPK setelah menjalani agenda masing-masing. Tanpa berprasangka buruk, Antasari akhirnya menandatangani surat penahanan Aulia Pohan.

“Sebagai Ketua KPK hanya sekali itu saja saya tanda tangan surat penahanan. Pekerjaan teknis di KPK sudah didelegasikan ke tiap-tiap pimpinan. Juga soal berbicara ke publik, hanya humas dan Ketua KPK yang berwenang. Tapi, entah mengapa, Jasin itu kerap sekali berbicara ke publik, ke wartawan,” kata Antasari.

Sejak dipenjarakannya Aulia Pohan, Antasari mengaku mendapat ancaman dan teror melalui pesan singkat (SMS) saban hari. Bahkan, sebelum terjadinya pembunuhan Nasrudin, mobil istrinya pernah disalip dan dipalangi orang yang tidak dikenal seraya mengancam dan memaki-maki Antasari.

Ketika Antasari di penjara, keluarganya pun masih kerap menerima teror. Ia pun semakin meyakini, kasus yang membelit dirinya pastilah tak bisa dilepaskan dari kasus yang menimpa Aulia Pohan, besan presiden. “Saya sempat berpikir, masa presiden seperti itu. Tapi, setelah sekian lama di dalam sel, saya yakin, keluarga Presiden SBY ada kaitannya dengan  kasus saya ini. Apalagi, Presiden SBY juga tak pernah menyatakan keprihatinannya atas kasus yang menimpa saya, padahal saya masih pejabat negara ketika itu. Dari sana kemudian ada pihak-pihak lain yang mencoba memanfaatkan momentum ini untuk membuat saya hancur,” ungkap Antasari.

Ia pun bertekad untuk mengungkap rekayasa apa sebenarnya yang sedang menimpa dirinya. Antasari mulai mengumpulkan berbagai informasi yang berkaitan dengan upaya menjatuhkan dirinya dari kursi Ketua KPK dan menghancurkan hidupnya serta keluarganya.

“Kebetulan ada teman yang membawakan DVD film The Hurricane (Sang Badai) yang dibintangi Denzel Washington. Teman saya itu mengatakan, film ini berdasarkan kisah hidup  Rubin ‘The Hurricane’ Carter, seorang mantan petinju kelas berat-menengah yang dituduh melakukan pembunuhan terhadap tiga orang di sebuah bar di New Jersey, Amerika Serikat. Dua puluh tahun ia mendekam di penjara untuk kejahatan yang tak pernah ia lakukan,” tutur Antasari.

Masalahnya, di penjara, ia tak memiliki televisi, apalagi alat pemutar DVD. Antasari pun meminta sang istri untuk membawa alat pemutar DVD kecil, yang bisa lolos dari pemeriksaan penjaga. Televisinya meminjam yang tersedia dalam blok sel.

“Saya memutarnya tengah malam dengan volume suara yang sangat kecil agar tak diketahui penjaga. Setelah menonton film itu, semangat saya semakin menyala untuk mengungkap kebenaran dan keadilan. Saya mengatakan kepada diri saya untuk tidak patah semangat, karena kebenaran pasti akan muncul juga, seperti yang terjadi pada diri Rubin Carter,” kata Antasari.

Dari upayanya mengumpulkan informasi, seorang teman menceritakan ada sebuah pertemuan dilakukan di Hotel Bellagio, Kuningan, Jakarta Selatan, yang membahas rencana menjatuhkan Antasari. Pertemuan keduanya dilakukan di sebuah tempat karaoke di Menara Thamrin, Jakarta Pusat. Dalam pertemuan itu ada lima orang yang hadir. Dari lima orang itu, ada dua orang yang bekerja sebagai wartawan menolak rencana busuk tersebut.

Sedangkan di Hotel Crown, Senayan, Jakarta Selatan, berdasarkan informasi yang diperoleh Antasari merupakan pertemuan penyidik dan jaksa. Untuk memastikan berkas Antasari segera naik ke penuntutan alias dinyatakan lengkap. Belakangan penyidik hanya butuh waktu dua bulan untuk melengkapi berkas Antasari.

Antasari juga sempat terkejut, ketika kawannya yang lain mengatakan bahwa Antasari memang ingin “dihancurkan” karena dianggap sedang mengincar kasus hukum anak SBY. “Katanya, setelah besannya, saya mau mengincar juga anaknya. Saya bingung dengan ucapannya itu,” tutur Antasari.

Temannya menjelaskan, itu terkait upaya KPK menyelidik laporan adanya penyimpangan dalam pengadaan perangkat teknologi informatika di Komisi Pemilihan Umum. “Kata teman saya, di belakang pengadaan alat tersebut ada anak SBY,” kata Antasari.

Belakangan, ia juga mengetahui,  salah seorang yang ikut dalam pertemuan di karaoke Menara Thamrin bernama Harijadi Munandar, yang mengaku sebagai adik mantan Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung M. Salim.

Salim adalah jaksa senior yang terjungkal akibat kasus Jaksa Urip, yang tertangkap tangan oleh KPK bersama perempuan pengusaha Artalyta. Harijadi juga menjadi anggota Majelis Dzikir An Nurussalam, lembaga dakwah yang didirikan SBY. Antasari mengenal pemmpin Majelis Dzikir An Nurussalam yang bernama Haji Harris Tahir. Kendati kenal, Antasari mengaku kaget ketika Haji Harris menjadi pemimpinan majelis zikir SBY.

Beberapa tahun lalu, Harijadi memang mengatakan, dirinya menyoroti sejak sepak-terjang Antasari yang melambungkan nama KPK. Menurut dia, Antasari semasa menjadi Ketua KPK hanya menargetkan orang-orang tertentu. Ia merasa Antasari lamban ketika KPK mengusut kasus cek pelawat yang melibatkan anggota DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, misalnya. Kasus ini berkaitan dengan pemilihan Deputi Gubernur Senior BI Miranda Swaray Gultom. Kasus ini pada akhirnya menyeret beberapa anggota PDI Perjuangan.

Menurut Harijadi, kasus ini mandek ketika Antasari memimpin KPK. Berdasarkan diskusi internal Majelis Dzikir SBY disimpulkan, Antasari sesungguhnya sedang menargetkan SBY. Terlebih ketika itu Aulia Pohan sudah dijebloskan ke dalam penjara, kata Harijadi.

Antasari membantah pernyataan Harijadi. Ia merasa kasus cek pelawat tidak mandek dan sedang dalam proses pengembangan penyidikan ketika itu. Antasari pun sama sekali tidak mengenal Harijadi, sosok yang mengaku adik Salim, jaksa senior itu. Antasari mengaku mengenal baik Salim karena keduanya seangkatan di Kejaksaan Agung. Karena itu, ia mengetahui betul siapa saja kerabat Salim.

“Sepengetahuan saya tidak ada adik Salim yang bernama Harijadi Munandar. Saya kenal semua adik Salim. Ini informasi baru bagi saya. Melihat semua fakta itu dan semuanya merujuk ke SBY, masihkah mereka berkelit?” kata Antasari.

Akankah Antasari bisa mengungkap kebenaran seperti dilakukan Rubin ‘sang Badai’ Carter? Kita tunggu saja. [Kristian Ginting, Imran Hasibuan, Purwadi Sadim]