Bung Karno ketika berpidato di Sidang Majelis Umum Ke-15 Perserikatan Bangsa-Bangsa, 30 September 1960. Foto: Life
Bung Karno ketika berpidato di Sidang Majelis Umum Ke-15 Perserikatan Bangsa-Bangsa, 30 September 1960. Foto: Life

Koran Sulindo – Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni akhirnya akan ditetapkan sebagai hari libur nasional oleh pemerintah. Menurut Sekretaris Kabinet Pramono Anung, rancangan peraturan presiden yang mengatur hal itu sedang difinalisasi. “Presiden Jokowi tak hanya menginginkan Pancasila dikenang dan diperingati atau hanya dilestarikan, tetapi juga benar-benar menjadi realitas dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia di berbagai aspek kehidupan,” tutur Pramono, 25 Mei 2016 lalu.

Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri pun bersyukur mendengar kabar menggembirakan tersebut. “Pancasila akhirnya dihormati, untuk itu implementasinya bisa dirayakan, karena dijatuhkan hari libur, sungguh bersyukur sekali,” ujar Megawati, 26 Mei 2016 lalu.

Bangsa ini, katanya lagi, harus berterima kasih dengan keberadaan Pancasila. Karena, Indonesia yang terdiri dari 17 ribu pulau ini tidak terpecah-belah karena ideologi tersebut. “‎Sampai hari ini, Indonesia masih bersatu-padu. Akibat dari rakyat yang sudah menyadari, Pancasila sebagai perekat bangsa, kita justru solid,” tutur Megawati.

Upaya untuk menjadikan Hari Lahir Pancasila 1 Juni sebagai hari libur nasional sebenarnya telah dilakukan sejak lama, termasuk oleh Taufiq Kiemas semasa menjadi Ketua MPR. Karena itu, penetapan Hari Lahir Pancasila 1 Juni sebagai hari libur nasional dapat dikatakan sebagai kemenangan ideologis bagi kalangan nasionalis. Terlebih bagi kader PDI Perjuangan, yang memang menjadikan Pancasila 1 Juni 1945 sebagai asas partainya.

Pada 1 Juni 1945, di depan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai), Bung Karno memang telah menyiapkan alas agar jalannya bangsa ini terarah dan dapat mencapai tujuan bersama setelah kelak berhasil mendirikan “jembatan emas”: kemerdekaan. Itulah alas yang disiapkan sebagai pengganti alas yang digunakan para penjajah di negeri ini, yang telah melakukan eksploitasi manusia atas manusia, eksploitasi suatu bangsa terhadap bangsa lain.

“Apakah kita mau Indonesia merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang dan pangan?” kata Bung Karno dalam pidatonya pada 1 Juni 1945 tersebut.

Kita ketahui, alas yang disiapkan Bung Karno itu adalah Pancasila. Dan, para pendiri negara ini telah sepakat menjadikan Pancasila sebagai dasar negara, menjadi ideologi negara, hal-hal ideal yang harus diperjuangkan bersama dan terus-menerus agar senantiasa menjadi alas ke mana pun bangsa dan negara ini berjalan untuk mencapai tujuan bersamanya juga.

Bung Karno bahkan meyakini Pancasila dapat menjadi alas bagi tatanan dunia baru, suatu dunia yang tidak mengikuti pandangan para penganut Manifesto Komunis dan Declaration Of Independence. Karena, menurut Bung Karno, telah terjadi suatu konfrontasi di antara kedua pandangan itu dan konfrontasi itu membahayakan, tidak hanya untuk mereka yang berhadapan, tapi juga untuk bagian dunia lainnya. Hal itu diungkapkan Bung Karno ketika berpidato di Sidang Majelis Umum Ke-15 Perserikatan Bangsa-Bangsa,  30 September 1960.

“Saya percaya bahwa ada jalan keluar dari konfrontasi ideologi-ideologi ini. Saya percaya jalan keluar itu terletak pada dipakainya Pancasila secara universal!” demikian kata Bung Karno dalam pidatonya yang diberi tajuk “To Build the World Anew” tersebut. [Purwadi Sadim, Redaktur Pelaksana Koran Suluh Indonesia]