Pancasila, Bintang Penuntun di Hadapan Politik Identitas

Ilustrasi: Lilin untuk Indonesia/AP

Koran Sulindo – Soekarno melangkah ke tengah dua pilar di gedung Chuo Sangi In di Jalan Pejambon 6 Jakarta itu. Tempat di mana Bung Karno berdiri itu juga tempat dimana Gubernur Jenderal Hindia Belanda biasanya secara resmi membuka Volksraad, DPR bentukan Belanda.

Pagi itu adalah hari keempat sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI (Dokuritsu Junbi Cosakai) di bangunan yang kelak bernama Gedung Pancasila itu.

Sehari sebelumnya, sepanjang hari lelaki yang sekitar seminggu lagi merayakan ulang tahun ke-44 itu menerima sejumlah tamu tak henti-henti, mulai dari kelompok Islam, nasionalis, pendukung negara kesatuan, pendukung negara federal.

“Mereka menuntut wilayah kami mencangkup seluruh bekas jajahan Hindia Belanda membentuk satu kelompok. Yang lain, yang menuntut wilayah lebih luas lagi atau puas dengan wilayah yang lebih sempit, membentuk kelompok yang lain. Kelompok Islam ortodoks mendorong bentuk negara berdasarkan Islam,” kata Soekarno, seperti bisa dibaca dalam buku Cindy Adams (Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia; 1966).

Namun lelaki yang didapuk menjadi presiden pertama Republik Indonesia tetap cemas dan bahkan sempat menangis saat memikirkan harus berpidato menawarkan dasar negara pada sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945 itu.

Dan dari pagi pukul 09.00 WIB hingga sekitar 2 jam kemudian itulah lahir Pancasila, sebuah “dasar-dasar negara” sebagai landasan “mendirikan satu Nationale staat, diatas kesatuan bumi Indonesia”.

“Dari ujung Sumatera sampai ke Irian. Saya yakin tidak ada satu golongan di antara tuan-tuan yang tidak mufakat, baik Islam maupun golongan yang dinamakan golongan kebangsaan. Ke sinilah kita harus menuju semuanya,” kata Bung Karno dalam pidato yang ketika ditranskrip menjelma menjadi catatan 13 halaman folio spasi tunggal itu.

Menurut Bung Karno, dengan dasar itu bangsa Indonesia bukanlah sekadar satu golongan orang yang hidup di atas daerah kecil seperti Minangkabau, atau Madura, atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis.

“Tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh manusia-manusia yang, menurut geopolitik yang telah ditentukan Allah s.w.t., tinggal di kesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatra sampai ke Irian! Seluruhnya!”

Bintang Penuntun

Menurut Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri, pidato Bung Karno tersebut sangat penting bagi Indonesia sebagai bangsa, dengan 2 alasan mendasar. Pertama, Pancasila telah menjadi norma fundamen, filsafat, pikiran yang sejernih-jernihnya, jiwa, serta hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi. Dasar yang diperlukan sebagai syarat agar kita bisa mengklaim diri sebagai sebuah negara merdeka.

“Pancasila telah menjadi bintang penuntun bagi bangsa ini dalam mengarungi masa depan yang masih jauh membentang di hadapan berlapis-lapis generasi yang akan datang,” kata Ketua Umum PDIP tersebut dalam perayaan hari lahir Pancasila lalu.

Pancasila sekaligus telah berfungsi sebagai alat efektif yang mempertautkan bangsa yang bhinneka ke dalam ke-ika-an yang kokoh. Pancasila juga telah menjadi magnet yang memberikan alasan bagi bangsa Indonesia untuk menerima kemajemukan sebagai suatu anugerah.

Dengan penetapan 1 Juni 1945 sebagai hari lahir Pancasila, menurut Megawati, secara resmi negara telah mengakui Pancasila 1 Juni 1945 sebagai ideologi bangsa Indonesia.

Perjuangan untuk Bertahan

Beberapa bulan belakangan politik Indonesia sedang menghadapi prahara ke arah makin terpecahnya kesatuan antar anak bangsa. Potret terdekat adalah pertarungan brutal pada Pilkada DKI Jakarta.

Bangsa ini seolah sedang berada dalam “struggle to survive, dalam perjuangan untuk bertahan, bertahan secara fisik dan mental! Bertahan agar tetap hidup, secara badaniah dan mental.”

Politik identitas yang mencengkram keras dalam dalam pemilihan gubernur baru ibu kota itu seolah menghadap-hadapkan antara kekuatan Islam melawan kekuatan nasionalis. Pertarungan itu dipertontonkan tidak hanya di jalanan namun hingga ke ruang-ruang media sosial di dunia maya.

Mungkin tak mirip benar, tapi situasi kini seperti yang dihadapi Bung Karno ketika hendak berpidato 72 tahun lalu itu ketika bahkan Indonesia belum diproklamasikan. Dan Bapak bangsa itu pernah memberitahu bahwa Pancasila bisa menjadi Leit Star menghadapi gaduh rusuh mencoba mengoyak keindonesiaan itu.

“Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara “semua buat semua”, “satu buat semua, semua buat satu”,” kata Bung Karno dalam pertengahan pidato di sidang BPUPKI itu.

Kegaduhan dalam politik ihwal yang biasa namun selalu harus dikembalikan kepada maksud pendirian Indonesia.

“Allah subhanahuwa Ta’ala memberi pikiran kepada kita, agar supaya dalam pergaulan kita sehari-hari, kita selalu bergosok, seakan-akan menumbuk membersihkan gabah, supaya keluar dari padanya beras, dan beras akan menjadi nasi Indonesia yang sebaik-baiknya,” kata Bung Karno. [DAS]