Pahlawan

Koran Sulindo – Oktober dan November adalah bulan penting yang patut kita peringati. Pada bulan-bulan itu ada dua sejarah penting yang terjadi di negeri ini. Pada Oktober, misalnya, para pemuda mendeklarasikan persatuan atas dasar keberagaman pada 27 hingga 28 Oktober 1928. Beberapa tokoh yang ikut terlibat dalam peristiwa itu antara lain Bung Karno dan Amir Sjarifuddin.

Dua tokoh yang benar-benar mengabdikan dirinya untuk kemanusiaan. Mengutip kata-kata Senator Filipina Rita Hontiveros, tindakan kedua orang ini semasa hidupnya memberi penghormatan tertinggi kepada hak asasi manusia. Hanya dengan demikian hidup akan bermakna. Setelah itu, orang-orang demikian, ketika ajal menjemput akan dikenang rakyat sebagai pahlawan sejati.

Selanjutnya, pada November, kita mengenal Hari Pahlawan Nasional sebagai pengingat perlawanan rakyat dan pemuda Surabaya terhadap imperialis. Adalah Soemarsono pengusul hari pertempuran itu untuk dijadikan sebagai Hari Pahlawan dalam rapat Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia (BKPRI) pada 4 Oktober 1946. Rapat menerima usulan Soemarsono.

Lalu, pada 11 Oktober Badan Pekerja BKPRI mengirimkan surat kepada Menteri Dalam Negeri. Surat yang sama dikirimkan kepada Presiden Soekarno dan diberi keterangan perjuangan rakyat Surabaya yang bersifat kolektif itu patut dikenang sebagai Hari Pahlawan. Bung Karno setuju. Pada akhirnya 10 November dijadikan sebagai Hari Pahlawan.

Akan tetapi, mereka yang dicap sebagai “pahlawan” hari ini menjadi polemik. Itu karena pemberian gelar pahlawan selalu bersifat politis. Bung Karno, misalnya – yang meninggal dunia pada 1970 – setelah 42 tahun kemudian  baru diberi gelar sebagai Pahlawan Nasional. Meski saya membayangkan jika si “Bung Besar” masih hidup, ia tidak membutuhkan gelar tersebut. Pasalnya, rakyat telah menghormatinya sebagai pahlawan sejati.

Nasib Amir – mantan Perdana Menteri itu – lebih miris lagi. Setelah menyerahkan jiwa raganya untuk Republik, ia justru menjadi tokoh yang “diharamkan” dalam sejarah bangsa. Penguasa rezim fasis militer Soeharto selalu menempatkannya bagian dari sejarah kelam bangsa. Perjuangan-perjuangannya sama sekali tidak tertoreh dalam perjalanan sejarah nasional. Padahal, kita tahu betapa Amir adalah seorang yang sangat mencintai kemanusiaan. Mendambakan Indonesia sebagai negara yang mendapatkan kemerdekaan sejati.

Ia mencurahkan pikiran dan tenaganya kepada bangsa yang ikut ia dirikan. Namun, ia menjemput ajal karena kecintaannya kepada negara yang diperjuangkannya. Ia menjadi tokoh yang kompleks – disukai sekaligus dibenci. Mungkin itu pula mengapa Amir kemudian menjadi pahlawan yang terlupakan. Kontroversi pemberian gelar pahlawan ini semakin politis ketika tokoh yang dianggap “memberontak” pada zaman Soekarno, justru mendapat gelar pahlawan. Semisal, Syarifuddin Prawiranegara, tokoh yang terlibat dalam PRRI/Permesta menjadi Pahlawan Nasional pada era Susilo Bambang Yudhoyono.

Karena bersifat politis, sebagian orang menilai pemberian gelar pahlawan sesungguhnya hanya mengecilkan arti dari kepahlawanan. Mengerdilkan peran seseorang dalam perjalanan sejarah bangsa. Ujungnya hanya menjadi proyek karena untuk mengusulkan dan memasukkan seseorang untuk mendapatkan gelar pahlawan harus ada seminar, penerbitan buku dan lain sebagainya. Karena itu, pemberian gelar pahlawan ini sebaiknya disudahi saja. Karena akan selalu menimbulkan kontroversi. Yang terpenting adalah bagaimana kiprah Bung Karno dan Amir tercatat dalam sejarah sehingga bisa menginspirasi generasi muda.

Prosedur penetapan menjadi pahlawan nasional mewajibkan nama-nama harus diajukan oleh daerah yang bersangkutan, melalui dinas sosial setempat. Dari situ nama-nama diuji Peneliti, Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD) tingkat Provinsi, lalu ke Tim Peneliti, Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP), baru ke Dewan Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan.

Soemarsono, tokoh yang terlibat dalam pertempuran 10 November di Surabaya termasuk yang tidak setuju pemberian gelar pahlawan. Ia menilainya itu salah. Karena pahlawan tidak bersifat perorangan melainkan bersifat kolektif. Ia menilai yang hebat adalah rakyat bukan orang per orang. Dan karenanya akan menjadi mitos.

Ada benarnya apa dikatakan Soemarsono itu. Di Tiongkok, misalnya, kendati tidak mendapat gelar pahlawan dari negara, Mao Tse Tung justru tetap dihormati rakyatnya. Itu karena peninggalannya yang dianggap positif dan bermanfaat bagi rakyat. Ia dihormati karena membebaskan rakyatnya dari penjajahan Jepang dan imperialisme. Lalu apa sebetulnya peninggalan Mao?

Pao Yu Ching, Profesor Emeritus dari Marygrove College, Amerika Serikat mengatakan, pembangunan ekonomi Tiongkok di bawah Mao bersandar sepenuhnya kepada pembiayaan dalam negeri yang datang dari mobilisasi seluruh sumber-sumbernya sendiri. Juga bersandar kepada teknologi sendiri.

Hanya dalam waktu tiga tahun, sejarawan Universitas Wisconsin, AS, Maurice Meisner mencatat industri Tiongkok tumbuh 36 persen terhadap PDB. Jumlah tersebut meningkat menjadi 72 persen pada 1975 . Sementara Pao Yu Ching mencatat luas tanah yang dikerjakan meningkat dari 2,4 persen pada 1957 dan menjadi 42,4 persen pada 1979. Dari semua itu, menurut Raymond Lotta, penulis buku Maoist Economics & the Revolutionary Road to Communism: The Shanghai Textbook harapan hidup rakyat Tiongkok antara 1949 hingga 1975 naik dari 32 tahun menjadi 65 tahun.

Mao lantas dihormati karena warisan dan pengabdiannya terhadap pembangunan rakyat. Pun demikian dengan Vladimir Lenin, ia dikenang karena pengabdiannya kepada kemanusiaan. Seorang Albert Einstein peraih Nobel Fisika pada 1929 bahkan menaruh hormat setinggi-tingginya kepada Lenin. Ia menghormati Lenin sebagai seorang laki-laki yang telah mengorbankan keseluruhan hidupnya untuk mewujudkan keadilan sosial. Einstein yakin akan satu hal terhadap Lenin: sebagai penjaga dan pembaru hati nurani umat manusia.

Pada akhirnya, seseorang menjadi pahlawan bukanlah karena apa dan bagaimana mereka meninggal dunia. Yang membuat orang menjadi pahlawan, kata Profesor Jose Maria Sison, tokoh dari Filipina dalam puisinya berjudul What Makes a Hero adalah karena melayani rakyat hingga ujung usianya. Amir dan Bung Karno termasuk tokoh yang demikian walau dihilangkan dari sejarah. Namun, perjuangan mereka tidak akan sia-sia. Hanya orang-orang revolusioner sejati pula yang mengabdikan hidupnya kepada rakyat. Itulah pahlawan sejati. [Kristian Ginting]