Koran Sulindo – Pada Rabu, 25 Mei 2016 ini, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan Megawati Soekarnoputiri, yang juga merupakan perempuan pertama yang menjadi presiden di republik ini, kembali mendapat gelar doktor honoris causa. Yang memberi augerah doktor kehormatan tersebut kali ini adalah almamaternya, Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung, Jawa Barat. Megawati pernah menimba ilmu di Jurusan Pertanian Unpad, angkatan tahun 1965.
Sebelumnya, Megawati juga telah tiga kali mendapat gelar yang sama. Anugerah pertama diberikan oleh Wasseda University, Jepang. Yang kedua dari Moscow State Institute, Rusia. Yang ketiga dari MIT Ocean University, Korea Selatan.
Penganugerah gelar itu dari Unpad kepada Megawati berlangsung di Grha Sanusi Hardjadinata Unpad. Berikut teks orasi ilmiah Megawati Soekarnoputri yang dikemukakan di hadapan Senat Guru Besar dan civitas akademica Unpad dan para tamu undangan.
Assalammualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Salam Damai Sejahtera untuk Kita Semua. Om Swastyastu. Namo Buddhaya.
Sebelumnya, marilah kita terlebih dahulu bersama-sama memekikkan salam nasional kita. Merdeka! Merdeka! Merdeka!
Yang saya hormati Wakil Presiden Republik Indonesia; para pemimpin lembaga negara; Senat Guru Besar Universitas Padjadjaran; Menteri Kabinet Gotong-royong; rektor beserta seluruh Civitas Akademika Universitas Padjadjaran; para menteri Kabinet Kerja; tamu undangan, dan; rekan-rekan media
Puji Syukur kita panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu Wataala sehingga kita dipertemukan di Universitas Padjadjaran ini. Saya mengucapkan terima kasih atas pemberian gelar doktor honoris causa di bidang politik dan pemerintahan ini. Saya terharu dan sekaligus bangga.
Keseluruhan kenangan saya pun kembali pada peristiwa pertama ketika saya dilantik sebagai mahasiswi di tempat ini. Peristiwa itu terjadi 51 tahun yang lalu. Saat itu, usia saya 18 tahun. Oleh Bung Karno, saya diharuskan masuk ke fakultas pertanian, sebab urusan pangan merupakan urusan mati-hidupnya bangsa.
Meskipun saya sangat tertarik pada ilmu psikologi, Bung Karno sangat kukuh dan meyakinkan saya untuk memasuki dunia yang menjadi mata pencarian terbesar seluruh rakyat Indonesia. Akhirnya, melalui praktik membumikan ilmu pertanian secara langsung besama para petani, saya tidak hanya mengerti secara ideologis tentang hakikat kedaulatan pangan. Melalui ilmu pertanian, saya memahami bahwa fondamen terpenting bagi bangsa Indonesia untuk maju antara lain diukur dari kemampuan untuk berdiri di atas kaki sendiri di bidang pangan bagi rakyatnya.
Bagi saya, ilmu pertanian menjadi jalan kerakyatan yang terbuka lebar untuk memahami keseluruhan peri-kehidupan rakyat Indonesia. Di situlah saya semakin paham bahwa hakikat politik sejatinya adalah membangun peradaban yang berangkat dari realitas kehidupan rakyatnya.Petani adalah gambaran nyata wong cilik, di mana seluruh keberpihakan politik seharusnya ditujukan kepadanya. Inilah kesadaran yang muncul ketika saya belajar di kampus ini.
Namun, malang tidak dapat ditolak. Badai politik yang terjadi pada tahun-tahun itu akhirnya berimbas pada status kemahasiswaan saya. Hanya dua tahun kesempatan untuk belajar di Universitas Padjadjaran ini. Kesemuanya memaksa saya untuk tidak melanjutkan kuliah di kampus ini (intermezo: kenangan dipaksa menandatangani surat atau mundur dari kuliah).
Pada akhirnya, bukan hanya ilmu pertanian yang saya dapatkan. Di kampus ini pula mental saya ditempa untuk belajar memahami dan bertahan pada keyakinan terhadap ideologi dalam arti yang sesungguhnya. Peristiwa yang saya alami di kampus inilah yang kemudian membentuk saya menjadi seorang politisi dan memilih untuk terus mengorganisasi rakyat melalui jalan kepartaian (intermezo: masa-masa mapras/ospek dan kuliah, ada teman-teman satu angkatan yang hadir. Salah satunya Iwan Abdurahman, ojek sepeda saya ke Ciumbuleuit).Para Guru Besar dan hadirin yang saya hormati. Di tempat ini pula pada tanggal 23 Desember 1964, Bung Karno juga dianugerahi gelar doktor honoris causa dalam ilmu sejarah dari Universitas Padjadjaran (gelar doktor honoris causa ke-25).
Sejarah sangat penting bagi perjalanan suatu bangsa. Tentu kita semua ingat kata-kata yang disampaikan Bung Karno: “Jas Merah: Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah!” Never leave history!
Pada saat menerima gelar doktor honoris causa tersebut, dalam orasi ilmiahnya, Bung Karno mengutip pemikiran sejarawan Inggris, Sir John Seeley, penulis buku The Expansion of England: ”… kita harus mempelajari sejarah agar supaya kita bijaksana lebih dahulu, agar supaya kita tahu ke mana kita harus berjalan. Orang yang tidak mempelajari atau mengambil pelajaran dari sejarah sebetulnya orang yang tidak bijaksana, orang yang tidak mengetahui, orang yang tidak mengetahui arah, orang yang tidak mengetahui tujuan.”
Kepada kaum muda, saya berpesan jangan sekali-kali menganggap sejarah sebagai barang rongsokan. Tahun 2019, saya meyakini lahirnya generasi baru, termasuk dalam ranah politik. Tidak dapat saya bayangkan dampaknya apabila generasi muda yang menjadi penentu masa depan bangsa adalah generasi muda yang ahistoris.
Bagi saya, sejarah adalah harta karun yang begitu berharga. Menjadi pekerjaan rumah kita untuk terus melakukan penggalian kebenaran sejarah bangsa ini. Mempelajari sejarah bukan berarti sekadar mengingat peristiwa atau periodisasi dalam sejarah. Bukan itu.
Mempelajari sejarah adalah memahami tentang pemikiran, nilai, keyakinan, dan keseluruhan dialektika yang terjadi di setiap peristiwa penting di masa lalu atas dasar kebenaran sejarah. Memahami kebenaran sejarah memerlukan pisau analisis yang disebut proses berpikir kritis: “tesis, antitesis, yang kemudian menyatu dalam sintesis”. Itulah dialektika dalam filsafat, filsafat dialektika.
Kunci dalam proses berpikir dialektis harus diawali dari pemikiran dan perkataan yang jujur, jujur sejak dalam pikiran. Sebab, “ada” bagi manusia sesungguhnya dimulai sejak dalam pikiran. Cogito ergo sum, ‘aku berpikir, maka aku ada’.
Tanpa kejujuran dalam pikir dan kata tidak akanada dialektika, artinya tidak akan pernah bangsa ini menemukan kebenaran sejarah yang sejati. Dengan kata lain, bangsa ini tidak akan pernah menemukan jatidirinya. Apa yang disampaikan Bung Karno tersebut sangatlah relevan. Sebab, keseluruhan tindakan, pemikiran, dan keputusan politik yang saya lakukan, sebagaimana dibacakan dalam pidato pertangungjawaban akademis tadi, bertitik tolak dari keyakinan kebenaran sejarah.
Hadirin yang saya hormati. Pertanggungjawaban ilmiah dari Universitas Padjadjaran didasarkan pada kajian terhadap naskah pidato dan undang-undang yang lahir selama saya menjabat sebagai presiden kelima. Satu hal penting yang ingin saya tegaskan dan hendaknya menjadi pembeda adalah bahwa saya adalah presiden mandataris MPR yang terakhir. Saya dipilih, diangkat, dan ditetapkan oleh MPR. Semua kebijakan politik yang saya ambil merupakan pelaksanaan ketetapan MPR.Jadi, bukan presiden yang dipilih langsung dengan visi-misinya.
Meskipun demikian, sebagai Presiden Republik Indonesia, saya memegang tanggung jawab penuh ketika di pundak saya dibebankan tugas untuk memimpin negara, pada saat krisis multidimensional terjadi. Gambaran nyata di bidang ekonomi adalah bagaimana saya harus menyelesaikan lebih dari 300 ribu kasus kredit macet di BPPN hanya dalam waktu tiga tahun. Sementara, saat itu ketidakpercayaan begitu besar terhadap institusi negara. Belum lagi berbagai ancaman disintegrasi dan kerawanan konflik sosial akibat keterpurukan di bidang ekonomi serta rendahnya kohesivitas sosial.
Tugas yang begitu berat tersebut hanya bisa dijalankan ketika pemimpin menempatkan kedaulatan negara sebagai hukum tertinggi. Dengan demikian, kepentingan nasional Indonesia tidak boleh dikorbankan oleh kekuatan lain yang berniat mengendalikan negara baik melalui regulasi global maupun perjanjian yang tidak adil akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan saat itu. Atas dasar hal tersebut, penguatan institusi negara menjadi prinsip kepemimpinan saya—suatu prinsip yang berdiri kukuh pada konstitusi. Penguatan legitimasi negara sebagai pijakan pengambilan kebijakan politik terus saya jalankan, termasuk menyelesaikan kerja sama dengan IMF dan World Bank agar sepenuhnya kita hadir kembali sebagai bangsa yang berdaulat.Saudara-saudara sekalian. Stabilitas politik merupakan syarat pokok berlangsungnya pembangunan ekonomi. Melihat realitas bagimana sistem pemerintahan presidensial bekerja dalam era multipartai yang kompleks, tidak ada lain kecuali memastikan bagaimana konsolidasi demokrasi yang ditopang oleh kehidupan partai politik yang sehat dan kuat. Pelembagaan partai politik sebagai persemaian para pemimpin melalui fungsi kaderisasi; mewujudkan pemilu presiden dan wakil presiden secara langsung dan demokratis, serta; menyiapkan fondamen politik dan ekonomi yang kuat bagi keberlangsungan pemerintahan selanjutnya adalah contoh dari berbagai konsolidasi demokrasi yang saya jalankan.
Demikian pula untuk memenuhi tanggung jawab politik luar negeri. Ketegasan Pemerintah Indonesia di dalam menentang berbagai politik intervensi dari negara adidaya, sebagaimana terjadi pada Perang Irak; konsistensi di dalam memperjuangan kemerdekaan Palestina, dan; kegigihan Indonesia di dalam memperkuat tatanan dunia baru, temasuk menggelorakan kembali spirit Gerakan Nonblok dan membangun dialog Selatan-Selatan, adalah pelaksanaan nyata dari politik luar negeri bebas aktif.
Senat Guru Besar, Rektor, dan hadirin sekalian. Gelar doktor honoris causa yang diberikan kepada saya ini sesungguhnya adalah penghargaan pula kepada kabinet yang saya pimpin, yaitu Kabinet Gotong Royong. Izinkan saya mengucapkan terima kasih kepada para menteri yang telah membantu saya dengan memberikan pengabdian terbaiknya kepada bangsa ini. Alhamdulillah, kita dapat melalui masa transisi dan meletakkan fondasi perekonomian nasional yang jauh lebih baik. Kita juga menampilkandemokrasi politik yang lebih terbuka, tanpa disintegrasi, dan berdiri kukuh melalui pelembagaan politik. Pada kesempatan ini izinkan saya menyampaikan “pertangungjawaban sejarah” atas berbagai persoalan penting ketika saya menjadi presiden.
Pertama terhadap Sengketa Sipadan dan Ligitan. Mari kita berdialektika. Betulkah Sipadan-Ligitan serta-merta lepas pada saat saya menjabat menjadi presiden? Peristiwa sejarah apa yang sebetulnya melatarbelakangi Sipadan dan Ligitan kemudian dinyatakan sebagai wilayah Malaysia?
Di sini ada Menteri Luar Negeri Kabinet Gotong Royong, Doktor Hassan Wirajuda. Silakan dikoreksi jika yang saya sampaikan ini kurang tepat. Hal ini pernah disampaikan beliau dalam kuliah umum bertajuk “Perundingan Batas Wilayah Maritim dengan Negara Tetangga”, yang diadakan oleh Fakultas Hukum Universitas Airlangga.
Pada dasarnya, Sipadan-Ligitan bukan merupakan wilayah Indonesia jika didasarkan pada Undang-Undang Nomor 4/Perppu/1960 tentang Negara Kepulauan, tetapi juga bukan merupakan wilayah Malaysia, sehingga keduanya kemudian memperebutkannya dengan berbagai argumentasi. Sengketa kedua pulau tersebut sebenarnya telah terjadi sejak tahun 1967. Pada tahun 1996, Pemerintah Indonesia (Presiden Soeharto) melunak dan menyepakati untuk membawa sengketa ini ke Mahkamah Internasional (International Court of Justice) di Den Haag, Belanda—suatu jalan dan cara penyelesaian yang tidak dapat ditarik kembali.Pada tahun 1997, masalah tersebut resmi memasuki proses persidangan.
Pada saat saya menjadi presiden, saya memerintahkan Menteri Luar Negeri untuk terus memperjuangkan agar Sipadan dan Ligitan menjadi bagian dari wilayah Indonesia. Akan tetapi, argumentasi yang diterima Mahkamah Internasional bukan karena Malaysia yang lebih dahulu masuk ke Sipadan/Ligitan. Bukti sejarah yang diterima Mahkamah Internasional adalah dokumen dari pihak Malaysia yang membuktikan bahwa Inggris (negara yang menjajah Malaysia dan menjadi bagian dari Commond Wealth) paling awal masuk Sipadan-Ligitan dengan bukti berupa mercusuar dan konservasi penyu. Sedangkan Indonesia dianggap tidak memiliki hak atas wilayah kedua pulau tersebut, karena Belanda (negara yang menjajah Indonesia), hanya terbukti pernah masuk ke Sipadan Ligitan, namun hanya singgah sebentar tanpa melakukan apa pun. Dan putusan Mahkamah Internasional tersebut kebetulan ditetapkan pada tahun 2002, saat saya menjabat sebagai presiden. Intermezo: belajar dari hal tersebut, saya saat itu memerintahkan Menteri Dalam Negeri untuk melakukan langkah progresif bersama pemerintah daerah untuk memberi nama pulau-pulau tidak berpenghuni dan terluar sekaligus mengarsipkan semua dokumen penting untuk menjaga kedaulatan wilayah NKRI. Semoga di masa pemerintahan sekarang dan yang akan datang, kebijakan tersebut dilanjutkan.
Kedua: Pulau Nipah. Ada satu catatan sejarah yang hampir terlupakan mengenai kedaulatan wilayah RI, yaitu terkait Pulau Nipah. Pulau ini berbatasan dengan Singapura. Saat itu, Pulau Nipah hampir tenggelam karena pengerukan pasir oleh Singapura. Jika pulau itu tenggelam dan hilang, tentu saja wilayah Singapura akan semakin luas. Saya segera perintahkan untuk menimbun kembali pulau itu. Ketika berkunjung ke Singapura, pada saat kembali ke Tanah Air, saya meminta dijemput dengan Kapal Perang Republik Indonesia untuk meninjau Pulau Nipah. Hal itu saya lakukan dengan sengaja untuk menunjukkan kepada Singapura bahwa Pulau Nipah adalah bagian dari wilayah kedaulatan Indonesia.
Ketiga: Proyek LNG Tangguh antara Indonesia dengan RRT. Saudara-saudara silakan dibuka catatan sejarah, berapa harga gas dunia saat itu. Jangan dilihat harga sekarang, karena saat itu supply minyak internasional masih melimpah.Saat itu tidak ada satu pun negara yang mau membeli gas Indonesia. Sekarang ini juga hadir Menteri ESDM Kabinet Gotong Royong, Profesor Doktor Insinyur Purnomo Yusgiantoro. Bisa ditanyakan kepada beliau kondisi saat itu. Bukan hanya Indonesia yang dalam keadaan krisis, tapi dunia pun sedang dilanda resesi. Konsumsi gas domestik juga belum siap karena perlu dibangun infrastruktur. Gas bumi Indonesia untuk dapat diekspor harus dalam bentuk LNG.
Kita pun dalam kondisi harus bersaing dengan Rusia dan Australia yang langsung bertetangga dengan Tiongkok dan sudah berencana membangun pipa gas ke negara tersebut. Saya akhirnya memutuskan untuk melakukan lobi diplomatis “Lenso Bengawan Solo” secara langsung dengan Presiden RRT Jiang Zemin.
Peristiwa tersebut mengingatkan kembali sejarah hubungan baik antara RRT dan RI pada masa pemerintahan Bung Karno. Akhirnya, RRT membatalkan kerja sama dengan Rusia dan Australia dan memilih bekerja sama dengan Indonesia.
Selain hal tersebut, beberapa kerja sama strategis juga dijalankan. Pertama: RRT harus memberi bantuan diplomasi di forum internasional atas kedaulatan Indonesia. Kedua: RRT menanamkan investasi dalam bentuk megaproyek padat karya, seperti Jembatan Suramadu, Jembatan Selat Sunda, pelabuhan di Papua, membantu pembangunan pembangkit listrik 10.000 Megawatt, dan jalan ke desa sepanjang 5.000 kilometer.
Ketiga perjanjian itu dapat diperbaiki pada masa depan dengan melakukan penyesuaian harga setiap lima tahun setelah delapan tahun perjanjian awal. Selain itu, ada nilai solidaritas internasional, yaitu Indonesia dari hasil penjualan gas Tangguh dapat membantu rakyat Korea Utara yang sedang tertimpa bencana kelaparan—1,2 juta rakyat Korea Utara kelaparan. Satu hal yang saya tekankan pula, kerja sama tersebut melibatkan bank milik Pemerintah RRT, bukan bank swasta. Hal lain yang selalu saya tekankan bahwa semua pembangunan harus melalui uji kelayakan, amdal, serta memperhitungan keuntungan secara ekonomi dan sosial bagi rakyat Indonesia, tanpa mengorbankan kedaulatan politik dan ekonomi bangsa Indonesia.
Hadirin yang saya hormati. Itulah beberapa hal yang ingin saya luruskan. Catatan sejarah lainnya sedang disusun oleh para menteri Kabinet Gotong Royong. Saya ingin tekankan sekali lagi, betapa penting sejarah bagi kehidupan bangsa ini ke depan, terutama keputusan-keputusan politik untuk mengelola pemerintahan dan negara. Penting, sangatlah penting,agar sejarah bangsa terus diperkenalkan, dari perjuangan merebut kemerdekaan, hingga fondasi Indonesia Merdeka diletakkan oleh para pendiri bangsa.
Dasar negara Indonesia Merdeka adalah Pancasila, dengan spirit kelahirannya pada tanggal 1 Juni 1945 dan konstitusi yang menjadi kitab kita dalam berbangsa dan bernegara adalah UUD Republik Indonesia 1945. Dalam benang merah sejarah itu ditetapkan tujuan Indonesia Merdeka. Bukan untuk membuka ruang seluas-luasnya bagi liberalisme dan kapitalisme yang terus menggerus nilai-nilai solidaritas, toleransi, gotong-royong, serta mempertajam jurang antara si kaya dan si miskin. Dalam dasar negara dan konstitusi kita telah ditetapkan tujuan sekaligus cita-cita Indonesia Merdeka, yaitu masyarakat adil dan makmur dengan karakter dan kepribadian yang bersumber dari akar budaya kita sendiri.Saudara-saudara, hal lain yang ingin saya sampaikan, syarat penting bagi pemimpin masa depan adalah betapa pentingnya wawasan kebangsaan. Hal ini bersifat wajib. Demikian halnya pemahaman terhadap masalah lingkungan.
Terkait isu lingkungan, saya sejak dulu terus berjuang dan mengkritisi agar jangan sampai pulau-pulau kita diperjualbelikan. Tidak boleh yang namanya pulau menjadi ekkslusif milik pribadi. Pulau-pulau itu adalah simbol kedaulatan bangsa. Pulau-pulau tidak boleh diatasnamakan perorangan. Pemiliknya adalah seluruh rakyat. Itulah perintah konstitusi yang harus selalu kita jaga.
Persoalan lingkungan lainnya di dalam negeri yang harus segera dibenahi mencakup semua undang-undang terkait lingkungan. Saya telah mendorong lahirnya Undang-Undang Tata Ruang, yang implementasinya harus sejalan dengan undang-undang yang mengatur wilayah perairan. Ke depan tidak boleh terjadi lagi konflik kepemilikan lahan, termasuk persoalan reklamasi. Sudah seharusnya secara jelas dan tegas izin pembangunan yang menyangkut wilayah perairan disertai dengan penegakkan hukum lingkungan tanpa tebang pilih.
Saya akan terus memperjuangkan dan mendorong kebijakan politik yang ramah lingkungan. Sudah saatnya paradigma politik ekonomi yang memanfaatkan secara bijak kekayaan alam dikedepankan, termasuk kekayaan hayati Indonesia. Intermezo: hingga sekarang, saya pun terus mendorong penyelamatan kekayaan hayati, flora dan fauna, juga penyelamatan warisan budaya bangsa untuk terus dipatenkan.
Saudara-saudara, secara internasional, masalah global yang juga krusial saat ini adalah terkait isu perubahan iklim. Isu ini sangat signifikan dan kita harus lebih serius terlibat sekaligus mencermati berbagai pejanjian internasional. Yang terbaru adalah Perjanjian Paris 2015. Perjanjian ini mengubah pola struktur penurunan emisi yang sebelumnya diatur dalam Perjanjian Kyoto. Inilah saatnya komitmen nasional, komitmen dari seluruh elemen bangsa, untuk mencapai target penurunan emisi dunia, termasuk menghentikan pembalakan liar. Akan tetapi, di saat bersamaan, kita harus tetap melangkah dalam koridor kepentingan nasional.
Langkah awal yang harus kita perjuangkan dalam isu perubahan iklim adalah “keadilan iklim”. Kita berjuang bersama negara-negara lain agar “utang emisi” diselesaikan negara-negara maju. Mereka terindikasi berkontribusi besar pada perusakan atmosfer akibat menumpuknya gas rumah kaca selama berpuluh-puluh tahun.
Menurut saya, Indonesia pun harus aktif mendorong cara penentuan dan penghitungan emisi yang didasarkan pada penghitungan emisi per kapita. Mari kita perjuangkan kesepakatan internasional: “setiap orang di belahan bumi mana pun memiliki hak yang sama terhadap atmosfer”.
Hal yang tidak kalah pentingnya dalam isu perubahan iklim adalah memastikan penyelamatan dunia melalui penghematan energi dan beralih pada sumber energi yang lebih aman bagi bumi. Jangan sampai isu perubahan iklim berujung pada “perdagangan karbon”. Kesadaran terhadap lingkungan ini yang harus dimiliki oleh setiap pemimpin di dalam menjalankan roda pemerintahan.
Saudara-sudara se-Bangsa dan se-Tanah Air. Keseluruhan pertimbangan akademis yang bertitik tolak dari pemikiran saya dalam bidang politik dan pemerintahan, yang dijadikan dasar pemberian gelar kehormatan, sebenarnya hanya sebagian kecil saja dari konsepsi besar, mencakup haluan pembangunan negara, dirumuskan dengan sangat baikpada masa pemerintahan Bung Karno. Konsepsi tersebut disebut Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana, yang disusun oleh Dewan Perancang Nasional. Di dalamnya bergabung 574 orang ahli dari berbagai bidang. Hal ini menjadi bukti bahwa ilmu tidak hanya untuk ilmu. Ilmu harus berguna bagi kemanusiaan, bermanfaat bagi kepentingan rakyat bangsa dan negara.
Saya yakin, spirit tersebut dapat tumbuh kembali, suatu spirit yang melahirkan para pemikir, para akademisi “organik”, yaitu mereka mengabdikan diri dalam dunia akademis tidak untuk menghuni menara gading. Para akademisi tersebut secara nyata terlibat dalam memberikan pemikiran dan pengetahuan terbaiknya untuk terwujudnya Indonesia yang berdaulat di bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Sudah saatnya ide, pemikiran, dan gagasan Bung Karno dihidupkan kembali dan menjadi bintang penuntun bagi kita semua. Jangan hanya karena masalah-masalah politik, berbagai konsepsi penting dari Bung Karno dan para pendiri bangsa lainnya dibuang.
Bung Karno menginginkan bahwa kebijakan politik pembangunan haruslah bersifat ilmiah, berdasarkan riset-riset yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kebijakan politik tersebut harus sesuai dengan kondisi dan realitas rakyat, bangsa, alam, serta budaya Indonesia. Namun demikian, Bung Karno berpesan, konsepsi tersebut hendaknya menggunakan bahasa yang bisa dipahami oleh seluruh rakyat, karena beliau menghendaki pembangunan dijalankankan dengan melibatkan dan mengerahkan seluruh tenaga rakyat. Intermezo: anak-anak muda yang dikirim untuk belajar ke luar negeri, terutama untuk memperdalam ilmu pasti, juga untuk mencetak tenaga-tenaga ahli yang akan berkontribusi dalam pembangunan negara. Kesempatan yang harus diberikan kepada setiap anak bangsa untuk memperoleh pendidikan tidak dapat hanya niat personal, namun harus menjadi kewajiban dan politik tetap negara. Salah satu dokumen penting yang dihasilkan dari hasil penelitian bidang pangan adalah Buku Resep Mustika Rasa.
Pada kesempatan yang baik ini, izinkan saya memberikan kenang-kenangan berupa buku yang berisi pemikiran Bung Karno, Di Bawah Bendera Revolusi, dan dokumen lengkap Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana. Semoga Universitas Padjadjaran tertarik untuk menjadikannya bahan pembelajaran dan kajian. Semoga Universitas Padjadjaran menjadi pelopor berdirinya Pusat Studi Pemikiran Bung Karno. Semoga cita-cita Bung Karno terus menjadi cita-cita dan perjuangan kita bersama, yaitu terwujudnya Indonesia Raya, Indonesia yang sejati-jatinya merdeka!
Wassalammualaikum warahamtullahi wabaraktuh. Syalom. Om santi santi santi om. [CHA/PUR]