Ketika orang-orang Belanda kembali ke Indonesia tahun 1946, pemerintah Sukarno-Hatta yang tak punya modal terpaksa mengungsi ke Yogyakarta atas undangan dan perlindungan Sri Sultan Hamengkubowono IX.
Kosongnya kekuasaan di Hindia membuat Yogyakarta menjadi negeri berdaulat yang diakui oleh kerajaan Belanda.
Tak cuma menawarkan perlindungan, Sri Sultan juga menanggung seluruh biaya pemerintahan termasuk gaji Soekarno-Hatta dan seluruh kabinetnya.
Kraton juga menanggung operasional tentara dan biaya pengiriman delegasi Indonesia ke konferensi internasional.
Meski Sultan tak pernah mengakui berapa uang yang dikeluarkan Kraton untuk itu semua, Mohamad Hatta menyebut angkanya bisa mencapai 5 juta gulden. Jumlah yang kala itu dianggap cukup untuk membiayai pemerintahaan selama setidaknya tiga bulan.
Dari mana dana kontan sebesar itu dikumpulkan Sri Sultan mengingat penghasilannya waktu itu tak mungkin begitu besar. Claude Guillot peneliti dari Centre National de la Recherche Scientifique dari Paris menyebut sebagian dana itu diminta dari orang-orang Kalang yang memang dikenal lazim meminjamkan uang dan berlian dalam jumlah besar.
Siapakah orang-orang Kalang yang disebut oleh H.J Van Mook ini hingga dianggap Rothschild-nya Indonesia karena memiliki kekayaan yang begitu besar?
Tinggal di hutan
Meminjam penggambaran Guillot, di wilayah bekas kerajaan kuno di Jawa cerita tentang orang Kalang masih banyak diingat orang. Mereka dianggap masyarakat ‘lain’ karena memiliki adat dan istiadat ganjil dan dianggap kaya melalui cara-cara yang tidak biasa.
Selain disegani mereka juga dianggap hina. Bahkan dalam beberapa kisah menyebut orang Kalang dianggap memiliki ekor. Mereka dianggap berbeda dengan orang Jawa pada umumnya.
Guillot menyebut yang membuat orang Kalang dianggap berbeda dengan orang Jawa di antaranya adalah nama Kalang dipakai mereka sendiri dan tidak menikah di luar kelompok mereka agar tetap menjadi Kalang sejati.
Selain itu orang Kalang tak pernah bekerja sebagai petani dan tinggal di hutan serta bekerja sebagai pedagang atau tukang. Mereka dianggap terlambat memeluk Islam serta tetap mempertahankan ritus-ritus pra Islam khususnya dalam hal perkawinan atau pemakaman.
Dalam kasus pemakaman, beberapa saat setelah orang Kalang dikuburkan mereka biasanya membuat sebuah boneka dari kayu untuk menggambarkan si mati. Boneka itu diberi pakaian dan ditempatkan di sebuah menara kecil dari bambu. Setelah boneka dibakar, abunya dibuang ke sungai. Orang Kalang menyebut upacara ini disebut sebagai obong.
Sejak abad 19 sifat khas dan asal-usul golongan ini menarik minat banyak pengamat dan sejarawan. Minimnya literatur kadang membuat ‘fantasi’ bebas lebih menjadi pengisi kepala mereka. Beberapa peneliti abad lalu menyimpulkan orang Kalang ini berbeda secara rasial dengan orang Jawa.
Mereka mengelompokkan orang Kalang seperti orang Negrito di Filipina atau orang Semang di Semenanjung Malaya, mereka dipandang sebagai orang Jawa asli yang sedikit demi sedikit terdesak mundur ke wilayah pedalaman oleh pendatang baru. Belakangan penelitian yang lebih baru menunjukkan bahwa pendapat itu benar-benar ngawur.
Peneliti lain menganggap orang Kalang sebagai keturunan tawanan Bali atau Blambangan yang dibawa pulang ke Jawa Tengah sebagai budak. Peneliti lain justru menganggap orang Kalang sebagai orang ‘hukuman’ yang dibuang ke hutan rimba karena alasan kesehatan.
Sedangkan beberapa lainnya menganggap mereka sebagai keturunan orang paria atau ‘tanpa kasta’ seperti masyarakat India lama. Tentu semua cerita itu tidak benar. Orang Kalang secara rasial sama sekali tak berbeda dengan orang Jawa pada umumnya. Perlakuan dan kebiasaan merekalah yang kemudian membuat mereka begitu spesial.
Ahli pengangkutan
Catatan pertama tentang orang Kalang berasal dari zaman kerajaan Mataram Hindu di Jawa Tengah. Sebuah prasasti tahun 804-943 mencatat penciptaan kawasan bebas pajak atau sima yang diberikan kepada orang Kalang atau Tuha Kalang yang dianggap sebagai tetua mereka.
PJ Zoetmulder dalam Old-Javaneses English Dictionary menyebut orang-orang Kalang itu umum berprofesi sebagai golongan tukang.
Nama Kalang kembali ditemukan dalam Piagam Tambang yang diumumkan oleh Hayam Wuruk Raja Majapahit pada tahun 1358. Piagam itu menuliskan, “jika tukang tambang memuatkan pedati Kalang dan kalau muatannya, apapun isinya, jatuh ke air, maka tukang tersebut tidak dapat dituntut, namun dia tidak akan menerima imbalan apapun kalau muatan itu hilang.”
Orang Kalang kembali muncul kembali di abad 17, ketika Sultan Agung memaksakan orang Kalang ‘menetap’ untuk pada tahun 1636.
Beberapa dekade kemudian pencatatan pertama Belanda tentang orang Kalang muncul pada tahun 1675 yang menyebutkan orang Kalang di Rembang dan Pati sebagai penebang pohon.
Tiga tahun berikutnya, Speelman menyebutkan gambaran yang lebih jelas yang menyebut orang Kalang sebagai penebang dan pengangkut kayu, membuat gorab dan kapal perang, mempunyai sejumlah ketua –satu di antaranya bahkan bergelar Tumenggung-.
Tahun 1679 catatan tentang orang Kalang muncul lagi ketika tenaga mereka digunakan untuk mengangkut logistik oleh tentara Belanda ketika menyerang Trunajaya di Kediri.
Setelah penguasaan mutlak pesisir utara Jawa oleh Belanda tahun 1743, empat tahun kemudian Kompeni mengakui status khas orang kalang sebagai golongan tersendiri atau een apart volk dengan menunjuk ketua di antara mereka sendiri.
Di masa pemerintahan Daendels, mereka juga dibebaskan dari kewajiban membayar pajak sebagai orang asing yang disetor kepada raja. Daendels bahkan memberikan hak menebang pojon kepada orang kalang untuk membuat cikar dan pedati Jawa.
Adalah Thomas Stamford Raffles orang pertama yang memaparkan penelitian paling memadahi tentang orang Kalang.
Dalam bukunya History of Java ia menerangkan bahwa golongan masyarakat ini baru memulai hidup menetap setelah sebelumnya “terus menerus berpindah dari satu daerah ke daerah yang lain, naik pedati yang beroda penuh poros berputar, ditarik oleh dua pasang sapi atau lebih.”
Sifat Mengembara
Dari catatan-catatan itu dapat disimpulkan cerita utama tentang orang Kalang yakni sifat mengembara yang berangsur-angsur berhenti pada abad 17 dan 18, cikar dan pedati yang terus disebut dan muatan baik berupa barang dagangan atau bahkan tentara.
Ketiga hal itu menunjukkan bahwa orang Kalang adalah juru angkutan di Jawa pada masa kuno. Sifat mengembara muncul karena perjalanan panjang di atas pedati dan karena lamanya perjalanan membuat mereka tak memungkinkan untuk mempunyai tempat menetap.
Perjalanan membuat mereka akrab dengan lingkungan hutan karena melintasinya atau tinggal selama perjalanan, selain ditambah semacam monopoli yang mereka peroleh untuk menebang pohon dan membuat pedati yang membuat mereka ahli di bidang itu perkayuan.
Monopoli mereka atas sistem pengangkutan menjelaskan pilihan mereka untuk kawin-mawin dalam golongannya sendiri untuk mempertahankan keuntungan ekonomi mereka. Kehidupan mengembara di hutan itulah yang menjadi dasar sikap curiga golongan lain, sekaligus menjelaskan mengapa orang Kalang lambat menganut Islam dan menggarap tanah sebagai petani.
Guillot menunjukkan jika tempat-tempat yang menjadi pusat orang Kalang menetap itu dipetakan maka wilayah itu berada dalam dua garis.
Satu di utara membujur dari pesisir Pasuruhan di Jawa Timur hingga Tegal di Jawa Tengah sedangkan garis lain melintang dari Banyumas hingga Kediri di sisi selatan Jawa. Kedua garis itu menjadi penyambung imajiner yang melintasi Bengawan Solo dan Sungai Brantas yang menjadi lalu lintas utama Jawa di masa itu.[TGU]
Baca juga:
Orang Kalang Sejarah Golongan Profesional
Orang Kalang, ‘Sahabat’ Raja Raja Jawa