Koran Sulindo – Pemberantasan PKI telah tuntas pada Desember 1965. Langkah berikutnya adalah membabat kekuasaan Soekarno sampai ke akar-akarnya.
International People’s Tribunal (IPT) 1965 memutuskan Indonesia harus bertanggungjawab terhadap 10 tindakan kejahatan HAM berat yang terjadi pada 1965 dan sesudahnya. Kejahatan genosida tahun-tahun itu tidak hanya dilakukan pada mereka yang menjadi anggota, pengikut dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI), tapi juga pada loyalis Presiden Sukarno dan anggota Partai Nasional Indonesia (PNI).
“Tindakan pembunuhan massal, dan semua tindak pidana tidak bermoral pada peristiwa 1965 dan sesudahnya, dan kegagalan untuk mencegahnya atau menindak pelakunya, berlangsung di bawah tanggung jawab sepenuhnya Negara Indonesia,” kata Ketua Hakim IPT 1965, Zak Yacoob, seperti dikutip dalam salinan putusan, Rabu, 20 Juli, seperti bisa diakses di www.tribunal1965.org.
Semua kejahatan terhadap kemanusiaan itu dilakukan kepada warga masyarakat Indonesia dengan sistematis, diam-diam, tapi meluas.
Yang sering dilupakan orang, tahun-tahun itu adalah upaya perebutan kekuasaan dari Sukarno, yang oleh banyak pengamat sering disebut dengan kudeta merangkak. Karena itu, korban utama yang ingin dihabisi, sejak awal, sebenarnya adalah Sukarno dan orang-orang yang dekatnya.
Kenyataan ini terlihat jelas pada penangkapan dan pembunuhan massal yang dilakukan pada 1968. Pada periode ini, ukuran penangkapan sangat tidak jelas, serba semrawut dan serba asal-asalan. Penangkapan ini dikenal sebagai penangkapan terhadap Soekarno Sentris atau dikenal sebagai SS.
Operasi penangkapan pada 1968 ini dilakukan teritorial di bawah Komandan Komando Distrik Militer setempat. Di Purwodadi, misalnya, Kodim 0717 Purwodadi dibantu Batalyon 404 dan 409 dari Kodam Diponegoro melakukan Operasi Kikis, dan menangkap anasir-anasir SS. Penangkapan dan pembunuhan massal pada tahun 1968 ini banyak menimbulkan korban. Banyak mereka yang tak mengetahui apapun tentang politik ditangkap bahkan dibunuh.
Menurut Max Lane dalam tulisannya di situs Historia, (Tragedi 1965?), siapa saja yang berusaha menyelidiki apa yang terjadi pada tahun 1965-1968, bisa dipastikan akan menemui ratusan, bahkan ribuan cerita tentang keganasan dan kebrutalan yang dilakukan oleh orang Indonesia terhadap bangsanya sendiri. Sekira 500 ribu orang tewas dalam tragedi itu, tapi ada juga estimasi bahwa yang tewas di atas dua juta orang. Belum lagi ratusan ribu yang ditahan tanpa proses dan sering disiksa.
Pembantaian terhadap pendukung Sukarno yang kemudian terjadi beberapa tahun setelah 1965 itu bukanlah bagian dari sebuah konflik atau perang saudara. Tidak ada niat atau kemampuan dari pihak pro-Sukarno untuk melawan balik. Pembantaian yang terjadi adalah pembantaian terencana yang dilakukan oleh militer di bawah pimpinan Suharto bersama-sama beberapa milisi partai anti-Sukarno dan anti-PKI yang dilatih dan dipersenjati oleh militer.
Motivasi upaya ini tak pernah dinyatakan. Namun ini dapat dipahami sebagai usaha untuk mengkikis kekuatan Orde Lama.
Di pusat kekuasaan, Soeharto sedang berupaya mengukuhkan kekuasaanya. Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu 1971), kekuatan anti Orde Baru tentu menjadi penghalang bagi kekuasaannya.
Pada perkembangan selanjutnya, orang-orang SS ini tak dibiarkan memasuki sebuah organisasi politik tertentu selama kurun waktu lima tahun menjelang Pemilihan Umum (Pemilu).
Kasus di Purwodadi, dan banyak daerah lain yang dilakukan Kodim sewaktu awal-awal Orde Baru dapat dikategorikan ke dalam tindakan Genosida. Genosida adalah suatu strategi berupa pembunuhan, bukan semata-mata karena benci atau dendam, terhadap sekelompok orang yang bersifat ras, suku, dan politik untuk meniadakan ancaman dari kelompok itu terhadap keabsahan kekuasaan para pembunuh.
Nasib Para Soekarnois
Pada buku “Nasib Para Soekarnois: Kisah Penculikan Gubernur Bali, Sutedja, 1966” yang ditulis wartawan Sinar Harapan, Aju, dinyatakan setidaknya ada 7 gubernur sukarnois yang menjadi korban dari TNI AD pada saat itu. “Gubernur Bali hilang dijemput empat pria berseragam TNI-AD dari kediamannya di Kompleks Senayan pada tanggal 29 Juli 1966,” kata Aju, dalam diskusi yang diad akan di kantor YLBHI, Jakarta, Oktober 2015.
Anak kandungSutedja, AAGAB Sutedja, mengakui saat pemerintahan beralih ke masa Orde Baru, simpatisan Soekarno di Bali hilang diculik dan dibunuh, termasuk ayahnya yang saat itu menjabat Gubernur Bali. Padahal kepemimpinan ayahnya saat itu tidak bermasalah apapun. Ia dihabisi karena seorang Soekarnois.
“Jika bersalah selama kepemimpinannya, maka seluruh rakyat Bali akan mendiskriminasikannya dan seluruh keluarganya. Justru sebaliknya, saat Gubernur Bali AAB Sutedja dinyatakan hilang, warga Bali berbondong-bondong mendatangi rumah kediaman untuk turut larut berduka,” katanya, dalam diskusi buku itu.
Selain Sutedja, nasib buruk itu juga diterima Gubernur Kalimantan Tengah Tjilik Riwut, Gubernur Kalimantan Barat Johanes Chrisostomus Oevaang Oeray, Gubernur Sumatera Utara Brigjen TNI Oeloeng Sitepu, Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Henk Ngantung, Gubernur Sumatera Selatan Pagar Alam, dan Gubernur Jawa Tengah Mochtar.
Tujuh Gubernur itu, kata Aju, memang pendukung setia Soekarno.
Proses pemberhentian para gubernur Soekarnois itu beraneka ragam. Dalam melakukan kriminalisasi terhadap Brigjen TNI Oeloeng Sitepu, misalnya, hampir tidak ada kelompok yang menaruh simpati. Gerakan massa begitu cepat bergerak, menciduk Oeloeng Sitepu dari kediamannya dan dijebloskan ke penjara.
“Proses selanjutnya, menjadi serba misteri, karena Oeloeng Sitepu, dinyatakan meninggal dunia dalam tahanan. Banyak spekulasi muncul, termasuk diantaranya dugaan penyiksaan dan penganiayaan selama dalam tahanan, sehingga Oloeng Sitepu, meninggal dunia,” kata Aju.
Satyagraha, redaktur pertama Suluh Indonesia, yang kelak menjadi wartawan istana dan mengikuti beberapa kunjungan kerja Presiden Sukarno keluar negeri mengatakan tak lama setelah peristiwa 30 September 1965 ia ditangkap militer.
“Saat itu, saya dan John Lumingkewas mau menjemput Karim DP di tempat persembunyiannya di Bandung. Begitu sampai di tempat itu, ternyata sejumlah tentara sudah ada di sana. Akibatnya, saya dan John juga ikut ditangkap.”
John Lumingkewas adalah Presidium GMNI, sedangkan Karim DP ketika itu menjabat Ketua PWI. Karim DP sempat buron karena namanya tercantum dalam Dewan Revolusi, yang diumumkan Letkol Untung—komandan G30S. Satyagraha masih di penjara saat Bung Karno meninggal dunia pada 21 Juni 1970, berita yang dia ketahui sehari setelahnya. Satyagraha mengenang hari itu: “Mendapat kabar itu, saya tak bisa menahan tangis. Bung Karno, tokoh yang saya kagumi dan hormati itu, telah wafat. Dan saya tak bisa ikut mengantar jenazah beliau ke tempat peristirahatan terakhir.”
Tapi ia tak pernah menyesali di penjara lima tahun tanpa pengadilan itu. “Saya tak pernah menyesali apa yang pernah terjadi dalam hidup saya,” kata Satyagraha.
Kontra Revolusi
Dalam buku The Contours of Mass Violence in Indonesia, 1965-68 (Douglas Kammen dan Katharine McGregor; 2012), disebut usaha-usaha untuk menyelidiki program menghabisi Orde Soekarno itu tidak mudah. Selama berkuasa, Orde Baru menutup semua celah untuk melakukan penelitian mendalam soal pembantaian ini. Ironisnya, setelah Orde Baru tumbang sekali pun, kesulitan-kesulitan untuk menyelidikinya tetap ada. Tantangan datang tidak saja dari negara – khususnya dari militer Indonesia – namun juga dari masyarakat sipil. Sebagian dari kelompok masyarakat sipil ini diperalat oleh militer dan negara.
Dua editor buku ini menulis pengantar yang membawa pemahaman baru terhadap pembantaian massal itu. Pertanyaan yang mereka ajukan mendasar: mengapa pembunuhan massal ini terjadi?
Kedua editor ini sepintas menyinggung beberapa teori yang menyebutkan mengapa pembantaian massal ini terjadi, misalnya perbedaan ideologi yang sangat ekstrem, kompetisi tajam antar partai politik, soal perebutan tanah di pedesaan, ekonomi yang memburuk karena hiper-inflasi, kekurangan pangan, dan lain sebagainya. Sekalipun penjelasan-penjelasan ini tampak meyakinkan, namun tidak seluruhnya benar. Mungkin satu sebab itu bisa menjelaskan satu keadaan khusus di tingkat lokal. Namun sulit untuk dipakai dalam menganalisa keseluruhan pembunuhan massal.
Banyak ahli yang memusatkan kajian pada korban menyebutkan bahwa pembantaian massal ini adalah sebuah usaha untuk mengeliminasi PKI dari panggung politik Indonesia. Editor buku ini mengkritik pandangan tersebut, dimana menurut keduanya terlalu oversimplikasi. Mereka berargumen bahwa usaha pemberantasan terhadap PKI sesungguhnya sedikit banyak telah dituntaskan pada bulan Desember 1965. Sejak saat itulah saingan politik utama TNI-Angkatan Darat sudah habis. Langkah Angkatan Darat berikutnya adalah membabat kekuasaan Soekarno yang pada ujungnya menjungkalkannya dari kekuasaan pada Maret 1966.
TNI-Angkatan Darat tidak berhenti sampai disana. Mereka mulai membersihkan tubuh tentara dan birokrasi dari orang-orang Kiri. Mereka kemudian juga membersihkan partai-partai politik.
Semua ini dilakukan oleh TNI-Angkatan Darat dengan kecepatan dan efisiensi yang sangat mengagumkan. Menurut kedua editor ini, pembantaian massal tahun 1965 tidak hanya berhenti pada penumpasan kekuatan politik Kiri dan pembantaian kaum Kiri. Namun adalah “sebuah reorganisasi segenap kekuatan sosial dan reintegrasi Indonesia ke dalam ekonomi dunia kapitalis”. Singkatnya, pembantaian massal ini adalah sebuah kontra-revolusi, dengan melakukan genosida terhadap orang-orang komunis dan nasionalis. [DAS]