Ilustrasi Munir (foto: merdeka.com)

Suluh Indonesia – Munir Said Thalib, yang kemudian lebih akrab dipanggil Cak Munir atau Munir, adalah seorang aktivis kemanusiaan dan pejuang hak azasi manusia. Ia juga merupakan pendiri Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), dan Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia, Imparsial.

Pria kelahiran Malang pada 8 Desember 1965 ini, adalah anak keenam dari tujuh bersaudara. Orang tuanya bernama Said Thalib dan Jamilah.

Pendidikan tinggi ditempuhnya di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Sebagai mahasiswa, ia sangat aktif berkegiatan. Selain menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), pada 1988 ia bergabung ke Forum Studi Mahasiswa untuk Pengembangan Berpikir Universitas Brawijaya, menjadi Sekretaris Dewan Perwakilan Mahasiswa Hukum Universitas Brawijaya, dan sebagai Sekretaris Al-Irsyad cabang Malang.

Masih di 1988 itu, Munir terpilih menjadi Ketua Senat Mahasiswa di fakultasnya. Lalu, pada 1989, ia menjadi Koordinator Wilayah IV Asosiasi Mahasiswa Hukum Indonesia.

Dalam perjalanannya hidupnya yang masih muda, Munir bertemu dengan Bambang Sugianto, seorang demonstran. Melalui diskusi dan perdebatan dengan tokoh itu, ditambah dengan berbagai buku dan bahan bacaan lainnya, Munir terbentuk menjadi sosok yang teguh dalam dunia hukum, hak asasi manusia, dan perburuhan. Keteguhannya itu yang membuatnya mendirikan Kontras pada 1996.

Bersama Kontras, Munir yang sangat berani dan tajam dalam mengkritik pemerintahan dan militer, semakin galak dalam membela hak asasi manusia. Ia antara lain berjuang untuk hak orang-orang hilang yang diculik pada masa orde baru. Dan, juga membela para aktivis yang menjadi korban penculikan Tim Mawar dari Kopassus. Di sisi lain, Munir juga membantu pemerintah dalam tim investigasi dan tim penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU).

Pada 2004 Munir berangkat ke Belanda dalam rangka melanjutkan studi di Universitas Ultrech. Setelah transit di Bandara Changi, Singapura, Munir sakit perut. Ia menduga bahwa penyakit maag-nya kambuh akibat jus jeruk yang tadi diminumnya. Karena itu, ia lalu meminta obat maag pada pramugari.

Obat yang diminta tidak tersedia di pesawat. Tapi, seorang dokter spesialis bedah toraks kardiovaskular yang sama-sama berada di penerbangan GA-974 tersebut, mempunyai beberapa jenis obat pribadi untuk masalah lambung dan perut.

Beberapa kali dokter tersebut memberi Munir obat yang berbeda-beda. Ketika diare dan muntah-muntah lelaki asal Malang tersebut makin menjadi-jadi, dokter tadi menyuntiknya, bahkan sampai dua kali, dengan jenis obat anti muntah yang berbeda. Semua itu hanya mampu membantu Munir untuk tidur selama 2-3 jam.

Kondisi sakit parahnya Munir yang duduk di kursi nomor 40G, dilaporkan oleh pramugara senior Najib kepada pilot Pantun Matondang, tiga jam setelah pesawat lepas landas dari Bandara Changi.

Dua jam sebelum jadwal pesawat mendarat di Schiphol pukul 08.10, seorang purser yang ditugaskan mengawasi kondisi Munir, menemukannya duduk tertidur dalam posisi miring. Fisiknya memperlihatkan tanda-tanda yang buruk.

Purser tersebut segera memanggil dokter yang tadi sempat merawat Munir. Yang lalu menyatakan bahwa, pada ketinggian empat puluh ribu kaki di atas tanah Rumania, 7 September 2004, Murni telah meninggal dunia.

Otopsi dilakukan oleh polisi Belanda. Pada 12 November 2004, mereka mengeluarkan pernyataan bahwa pada tubuh Munir ditemukan senyawa arsenik.

Tentang kapan arsenik tersebut masuk ke tubuh Munir, terdapat sejumlah dugaan. Kemungkinan ia diracun dalam perjalanan Jakarta-Singapura, tapi mungkin juga saat ia berada di Singapura.

Munir yang meninggalkan seorang istri bernama Suciwati dan dua orang anak ini, dimakamkan di Pemakaman Umum Kota Batu, Malang, Jawa Timur.

Bunga Dibakar

Seorang pelukis bernama Yayak Yatmaka membuat seri enam lukisan dengan judul Bunga Dibakar. Karya tersebut ia dedikasikan kepada para aktivis yang telah hilang.

Sedangkan film Bunga Dibakar yang berdurasi 46 menit, adalah film dokumenter tentang perjalanan hidup Munir. Dibuat untuk mengenang setahun meninggalnya aktivis pro-kemanusiaan tersebut.

Film ini merupakan produksi gabungan dari beberapa badan atau organisasi. Yaitu, Institut Studi Arus Informasi, Imparsial, dan Kontras; yang bekerja sama dengan Cinema Society, Cangkir Kopi Mediavisual, Offstream Production, serta Lembaga Pembebasan, Media dan Ilmu Sosial.

Pada judul pembuka film karya Ratrikala Bhre Aditya ini, terlihat sebuah lukisan. Karya Yayak Yatmaka yang berjudul Bunga Dibakar yang ketujuh. [NiM]

Baca juga