Koran Sulindo – Masalah utama Indonesia sejak jatuhnya rezim fasis militer Soeharto pada 1998 sesungguhnya tidak banyak berubah. Sistem ekonomi dan politik Indonesia masih tetap dikuasai oleh segelintir orang.
Celakanya, segelintir orang itu juga berasal dari era yang sama ketika Soeharto masih berkuasa. Inilah yang disebut Airlangga Pribadi, pengamat politik Universitas Airlangga sebagai oligarki – kekuasaan yang dikendalikan sedikit orang – tapi berpengaruh besar dalam ekonomi dan politik.
“Ini kelemahan Presiden Joko Widodo, karena memilih berkompromi dengan oligarki. Jokowi tidak berani,” kata Airlangga ketika ditemui seusai diskusi bertajuk “Perubahan Sosial Ekonomi Indonesia 1998-2006” di Megawati Institute pada Selasa 25 Oktober 2016.
Airlangga menuturkan, kendati Jokowi berhasil mendulang suara terbanyak pada pemilihan presiden lalu, ia gagal mengorganisasi pendukungnya. Padahal, dukungan rakyat dan relawan itu bisa digunakan sebagai kekuatan melawan kekuasaan oligarki.
Karena itu, oligarki disebut Airlangga akan tetap membelenggu Indonesia. Berdasarkan ini pula, secara hakikat tidak ada perubahan mendasar atau struktural di bidang ekonomi dan politik sejak kekuasaan Orde Baru ditumbangkan.
Menurut lulusan doktor ekonomi politik Universitas Murdoch, Australia ini, program-program pemerintahan Jokowi seperti pembangunan desa, reforma agraria dan infrastrukur hanya bagus dalam tataran kebijakan. Pada praktiknya kebijakan tersebut akan membentur tembok oligarki.
Bukannya melawan, akan tetapi Jokowi, menurut Airlangga justru menghindari masalah tersebut. Ia lalu menyebutnya sebagai kebijakan teknokratik anti-politik. “Jokowi tidak berani mengintervensi masalah-masalah berkaitan dengan politik, semisal di balik penguasaan lahan,” kata Airlangga.
Apa yang dikatakan Airlangga itu sesuai dengan catatan Bank Dunia yang menyebutkan dalam 15 tahun terakhir, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang kuat. Capaian ini disebut mengurangi tingkat kemiskinan dan memperbesar jumlah kelas menengah.
Masalahnya, pertumbuhan tersebut hanya dinikmati sekitar 20 persen masyarakat kaya. Lalu, 80 persen masyarakat atau lebih dari 200 juta orang – rawan merasa tertinggal. Ketimpangan melebar. Segelintir orang kaya itu menguasai 50 persen kekayaan dari Sabang sampai Merauke.
Kemudian hasil riset Knight Frank, konsultan properti internasional pada Maret lalu juga mengatakan demikian. Pertumbuhan orang-orang konglomerat melonjak 349 persen dalam satu dekade terakhir. Mereka adalah orang-orang dengan investasi masing-masing sekitar US$ 30 juta. Orang-orang juga dikenal sebagai Ultra High Net Worth Individuals.
Jumlah para taipan yang super kaya itu setidaknya mencapai 1.096 orang dan diperkirakan akan mencapai 2.302 orang pada 2025. Investasinya bermacam-macam, mulai dari rumah mewah, uang, surat utang, koleksi benda seni hingga logam mulia.
Sedangkan, Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) pada September lalu menerbitkan laporan penguasaan tanah. Orgnisasi kaum tani menyebutkan setidaknya 37,57 juta hektare—dari total luas daratan Indonesia sekitar 170 juta hektare—lahan dikuasai korporasi, baik milik negara maupun swasta.
Sementara kaum tani sekitar 14 juta orang hanya menguasai lahan rata-rata 0,5 hektare. Mereka digusur dan kehilangan pekerjaan. AGRA lantas menyebutkan hal ini sebagai monopoli tanah. Ketidakadilan ini bukan tidak mungkin akan terus meningkat. Juga fakta ini menegaskan siapa sesungguhnya yang berkuasa di Indonesia. [KRG]