Koran Sulindo – Indonesia adalah keajaiban. Ada lebih dari 17 ribu pulau di negara ini, dengan lebih 200 juta penduduknya, punya lebih dari 700 bahasa, dan warganya memiliki agama serta keyakinan yang beragam, namun Republik Indonesia ternyata masih berdiri utuh dengan bentuk negara kesatuan selama puluhan tahun.

Memang, bukan berarti perjalanannya mulus-mulus saja. Ada sejumlah konflik bernuansa suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) yang terjadi. Bahkan, menurut catatan sejarah, konflik bernuansa SARA di negeri ini sudah ada sebelum ada negara Indonesia. Juga tetap ada ketika Indonesia telah memasuki era reformasi pasca-ditumbangkannya rezim Orde Baru,yang berkuasa lebih dari 30 tahun.

Istilah atau singkatan SARA sendiri dipopulerkan oleh Orde Baru, yang pertama kali diucapkan oleh Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Laksamana Sudomo. Pada masa Orde Baru memang “diharamkan” yang berbau SARA. Cara ini dipakai Orde Baru terutama untuk menciptakan ilusi bahwa negara dapat dikendalikan dengan baik dan tidak akan pernah ada konflik bernuansa SARA, termasuk pemberitaannya di media massa.Juga untuk melumpuhkan siapa pun yang mencoba menggoyang kekuasaannya—mungkin “derajat” masalah SARA ini sedikit di bawah stigma Partai Komunis Indonesia (PKI) yang siap dilekatkan kapan saja kepada lawan-lawan politiknya.

Namun, sebenarnya, cara Orde Baru itu seperti sedang menanam angin. Terbukti, begitu rezim tersebut tumbang, Indonesia seakan mengalami panen raya badai. Berbagai konflik horizontal bernuansa SARA muncul di mana-mana, mulai dari Aceh sampai Papua. Ribuan nyawa pun melayang.

Konflik antar-suku yang sangat besar antara lain terjadi di Ambon, yakni antara sukubangsa Ambon dan para pendatang, yang umumnya dari Bugis-Buton-Makasar atau dulu dikenal dengan singkata BBM. Menurut sosiolog Parsudi Suparlan, pemicu konflik bernuasan SARA di Ambon adalah perbuatan para preman atau orang-orang yang berlaku seperti preman.

“Sebelum zaman Orde Baru, Kota Ambon adalahsebuah masyarakat yang dominan Ambon dan Kristen. Pada masa Orde Baru dan menjelang kerusuhan, yang nampak di Kota Ambon adalah dominan Islam dan Bugis-Buton-Makassar (BBM).Kekuasaan pada tingkat provinsi dan kabupaten didominasi oleh mereka yang beragama Islam danyang bersuku bangsa Bugis dan Makassar atau lainnya, dan kehidupan pasar serta tempat-tempat pelayanan didominasi oleh BBM yang Islam. Jadi orang Ambon di Kota Ambon yang sudah tidak lagi mempunyai akses terhadap politik pada tingkat provinsi dan kabupaten juga masih dipurukkan oleh perbuatan para preman dengan dukungan oknum-oknum yang juga BBM dan Islam. Puncak dari keterpurukan dan diperlakukan secara tidak adil di tanah atau wilayahnya sendiri adalah pada waktu seorang preman BBM menusuk seorang sopir kendaraan umum. Kebangkitan dari suatukekuatan massa anti BBM telah menyebabkan tergusurnya BBM dari Kota Ambon. Dalamkerusuhan massa seperti ini tidak lagi dibedakan mana yang preman dan mana yang bukan. Semua BBM digolongkan sebagai sama dengan preman. Karena itu, semua yang tergolong sebagai BBM harus dibersihkan dari wilayah kehidupan Kota Ambon dalam bentuk pembunuhan atau pengusiran,” demikian ditulis Parsudi Suparlan dalam makalahnya untuk lokakarya “Kesukubangsaan dan Perubahan Sosial” di Jakarta, tahun 1999 lampau.

Akibat konflik itu bukan hanya warga BBM yang terusir dari Ambon, melainkan juga sukubangsa-suku bangsa lain yang sudah bertahun-tahun tinggal di sana. Ada ribuan orang mengungsi ke berbagai pulau lain, seperti Pulau Jawa, Nusa Tenggara, dan Bali.

Konflik bernuansa suku yang juga sangat besar terjadi di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, antara etnis Dayak dan Madura serta Dayak dan Melayu. Menurut Gubernur Kalimantan Tengah pada tahun 2001 itu, Asnawi A. Gani, yang terjadi di daerahnya (Sampit) adalah konflik antara 10-15 subetnis Dayak dan masyarakat Madura di sana. Ia juga mengatakan konflik itu tidak melibatkan suku pendatang yang lain.

Ada kurang-lebih 50 ribu orang mengungsi akibat konflik di Sampit tersebut. “Dari data yang diperoleh Ditintel Polda Kalteng dari18 Februari sampai 6 Maret 2001, sebanyak 1.192 buah rumah dibakar, 749 dirusak, 16 buah roda empat, 43 roda dua, dan 114 buah becak dirusak massa. Korban meninggal sejumlah 371 orang dan 27 orang luka berat,” kata Asnawi pada tahun 2001, sebagaimana diberitakan banyak media.

Selain kedua konflik besar tersebut, banyak juga konflik dalam berskala “kecil” yang terjadi di antara sukubangsa yang ada di Indonesia setelah reformasi. Konflik itu antara lain Papua-Makasar di Papua; Madura-Banten di Pasar Kramat Jati, Jakarta; Madura-Betawi di Pasar Pramuka, Jakarta, dan; Batak-Sunda di Terminal Pulogadung dan Terminal Rambutan, Jakarta.

Yang paling banyak adalah konflik horizontal bernuansa agama. Menurut cendekiawan Kristen Th. Sumartana, sebagaimana dikutip oleh Sofian Munawar Asgart dalam bukunya (2003), masalah “kristenisasi” agaknya menjadi salah satu pemicu dari terjadinya kerusuhan bernuansa agama. Kegiatan “kristenisasi” ini antara lain dilakukan oleh komunitas agama atau gereja “fundamentalis”.

Diungkapkan Sumartana pula, fenomena ini terasa agak menonjol. karenadari berbagai pembakaran gereja bisa

ditemukan pola umum, yaitu sebagian besar korbannya adalah gereja fundamentalis, dengan mayoritas jemaat keturunan Cina. Menurut informasi yang terkumpul, tambahnya, gereja-gereja“evangelis” yang agresif dalam penyebaran agama memang memperoleh dukungan material dan finansial baik dari dalam maupun luar negeri. Golongan fundamentalis Kristen yang agresif dalam penyebaran agama tersebut umumnya bukan angota Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI).

Pada kelompok-kelompok Islam pun ditemukan fenomena hampir serupa. Kelompok-kelompok Islam yang terlibat dalam konflik agama di beberapa tempat hampir dipastikan bukan berasal dari “kelompok besar” seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.Yang terlibat konflik agama umumnya kelompok-kelompok “kecil” yang mengalami radikalisasi pada masa Orde Baru, karena merasa diperlakukan secara diskriminatif.

“Sekalipun konflik antar-agama di Indonesia memperlihatkan dimensi dan varian yang sangat beragam, konflik Islam-Kristen merupakan fenomena tersendiri yang cukup‘kolosal’ dan dahsyat. Kasus Ambon dan Poso merupakan dua contoh konflik Islam-Kristen yang telah begitu banyak menyita perhatian dan merenggut korban dengan kerugian yang amat besar,” tulis Sofian Munawar Asgart dalam bukunya.

Konflik yang juga muncul adalah yang bernuansa ras dan antar-golongan, yang peristiwa kelamnya paling mutakhir terjadi menjelang Orde Baru tumbang, yang dikenal sebagai Tragedi Mei 1998. Tim Gabungan Pencari Fakta dalam Laporan Akhir Peristiwa Kerusuhan Tanggal 13-15 Mei 1998 menyebutkan, Peristiwa Mei 1998 merupakan tragedi nasional, yang menunjukkan suatu dimensi sentimen anti-rasial terhadap etnis Tionghoa di Indonesia. Sentimen anti-rasial yang laten ini merupakan faktor penyebabdominan yang mudah dieksploitasi untuk menciptakan kerusuhan. Faktor lain penyebab penyerangan terhadap kelompok etnis Tionghoa adalah kurang harmonisnya relasi sosial antara etnis Tionghoa dengan etnis lain disekelilingnya, yang merupakan akibat pemitosan yang salah antara satu sama lain.

“Prototipe etnis Tionghoa yang ‘terlanjur’ digambarkan sebagai orang kaya, sombong, dan eksklusif seringkali tidak saja melahirkan persoalan rasial, namun juga konflik kelasdengan golongan penduduk lain di sekitarnya,” ungkap Sofian Munawar.

Dari sana dapat dilihat, masalah SARA memang dapat memicu konflik horizontal dan juga vertikal di negara ini. Namun, menafikan seolah tidak ada masalah atau soal SARA tidak akan memicu konflik justru sangat berbahaya.Karena,sikap seperti itu ibarat menyimpan bom waktu, sebagaimana dilakukan Orde Baru dulu. Ledakannya bisa membuat anak cucu-kita menjadi korban, bahkan bisa mengancam eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan kesadaran seperti itu, nilai-nilai yang ada dalam Pancasila pun menjadi menemukan relevansinya kembali untuk diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila menjadi semacam mercusuar, yang akan memandu “lalu-lintas” warga negara Indonesia di tengah lautan ke-bhinneka-an, agar tidak mengalami benturan satu sama lain. [Purwadi Sadim]